Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pembicaraan Lirih Orangtuaku

2 Februari 2020   10:17 Diperbarui: 2 Februari 2020   17:10 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat aku masih duduk di bangku Sekolah dasar, tak kuingat tentang apa saja yang dilakukan bapak ibu. Setiap subuh bapak menggoyang-goyang tubuhku supaya segera bangun tidur. Begitu pula ketika sholat subuh, aku hanya mengingat saat itu terasa kantuk yang sangat berat. Kata ibu aku disuruh melihat yang hijau-hijau, misalnya daun-daun di pohon. "Mana bisa bu, ini kan masih gelap?" protesku saat itu. Makanya ibu selalu membasuh mukaku berulangkali, tapi tetap saja, mataku masih mengantuk dan akhirnya aku tertidur lagi di kamar.

Tingkah laku bapak dan ibu baru kuingat ketika untuk pertama kalinya aku minta uang SPP Sekolah. Saat itu sekitar tahun 1990-an, besarnya sekitar Rp 10.000. Memang aku tidak langsung minta kepada bapak, aku selalu minta uang SPP kepada ibu. Kata orang anak lelaki cenderung lebih dekat dengan ibunya. Apalagi ibuku juga selalu ada waktu lebih jika dibanding bapak yang baru pulang kerja sore jam 3.

Tiap pagi bapak berangkat kerja bersamaan denganku. Hanya bedanya bapak ke arah utara, karena kantornya memang ada di pinggiran kota. Sedangkan aku ke arah selatan, sebuah sekolah SMP favorit yang membanggakan. Bisa sekolah di negeri dan sekolah favorit adalah keuntungan besar kala itu. Selain biayanya murah, teman-temanku memiliki kemampuan rata-rata yang lebih bagus. Hal inilah yang membuatku menjadi terbiasa belajar dan berpikir cerdas. Pada masa itu kalau sekolah di swasta berarti konotasinya adalah kurang pandai dan tentu biaya lebih mahal.

Masih kuingat saat pertama kali aku masuk SMP dan membawa kartu SPP sekolah. Saat itu aku hanya memahami apa yang disampaikan guru kelas bahwa SPP ini nanti harus dibayar setiap bulan, sebelum tanggal 10 setiap bulannya. Gunanya SPP itu untuk apa aku tak begitu memahaminya, sebab saat duduk di bangku sekolah dasar aku tak menjumpainya. Mungkin saja saat sekolah dasar ada semacam SPP yang nilainya kecil dan sudah diurus oleh bapak saat pembagian raport.

Saat kusodori kartu SPP ibu hanya membaca sekilas dan mengecilkan kedua matanya. Lalu berbalik badan dan menyerahkan kepada bapak. Aku tak paham apa yang dilakukan kedua orang tuaku saat itu. Mereka berbicara, tapi sangat lirih, hanya terdengar desas-desus kalimat tertentu. Selanjutnya sunyi kembali mendiami ruang tamu tempat aku bersantai maupun belajar di malam hari.

Sebuah rumah kecil yang hanya dihuni tiga orang saja. Sehingga kemana-mana mudah bertemu dan mudah mengenali perubahan. "Kenapa harus bicara lirih? apa yang mereka bisik-bisikkan itu ya?" seperti itulah aku mengamati orang tuaku.

Pernah suatu awal bulan, ibu kusodori kartu SPP sekolah dan surat edaran dari sekolah, intinya setiap siswa diharapkan menyumbang uang untuk latihan berkurban, yaitu membeli sejumlah kambing yang akan disembelih saat hari raya Idul Adha. Mendadak raut wajah ibu seperti gusar, lalu dengan nada lirih ibu memintaku untuk segera pergi ke ruang tamu, tempat favorit di rumahku.

Sebab di ruang tamu sempit itu hanya tersedia dua kursi tamu kecil serta satu kursi besar sebagai tuan rumah. Aku biasa menghabiskan waktuku di kursi besar itu. Orang menyebutnya sofa, tapi menurutku itu hanya kursi tamu biasa saja, sebab selain model lama, warna kovernya juga sudah kusam. Jika dibuat tiduran selain bau keringatku juga sudah tidak empuk. Selain itu di ruang tamu juga ada televisi yang teronggok diatas buffet kecil dengan rak di kanan dan kiri. Pada rak itulah buku sekolahku tersimpan.

Sekali lagi aku penasaran mendengar percakapan tentang uang kurban, semakin lama, semakin mengecil dan kembali sunyi. "Anton, coba sini sebentar, bapak mau bicara," tiba-tiba ibu memanggilku, kupikir kenapa tidak bapak saja yang harus memanggil? mengapa harus melalui ibu?. Ah, sudahlah, aku segera menjawab panggilan ibu toh aku juga selalu ke ibu kalau ada perlu dengan bapak. "Ya bu sebentar" balasku seraya mendekati kamar bapak ibuku yang pintunya terbuka.

Terlihat bapak sudah duduk di pinggir ranjang bersama ibu. Perlahan aku memasuki sebuah kamar yang sedikit gelap, sebab hanya ada satu jendela menghadap ke teras. Aku pun mengambil posisi duduk berhadapan dengan mereka. "Ton, coba besok tanyakan ke gurumu ya, apakah boleh membayar uang kurban setelah tanggal 15 Mei." Aku tak mengerti mengapa bapak berbicara seperti itu, yang penting aku besok ke guru kelas, dan menyampaikan maksud bapak. "Ya pak" jawabku singkat sambil menganggukkan kepala.

 Keesokan hari, saat guruku mendengar apa yang kusampaikan permintaan bapak terlihat wajah dengan senyum masam. Aku tahu betul guruku ini jika tersenyum selalu enak dipandang. Melegakan sekaligus menggugah semangat. Tapi, kali ini ada suatu yang lain, senyum yang tak pernah kulihat padanya. "Sampaikan pada orang tuamu ya Ton, sebisa mungkin tanggal 15 Mei sudah lunas, sebab segera kita belanjakan kambing di pinggiran kota." Aku hanya mengiyakan saja, dan seperti biasanya kusampaikan pesan guru melalui ibu, tidak langsung ke bapak. Entahlah, mengapa demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun