Mencuatnya kasus dugaan penistaan agama oleh calon petahana Basuki Tjahaja Purnama disinyalir sangat erat kaitannya dengan kepentingan politik di Pilkada DKI 2017. Aromanya semakin terasa usai SBY melakukan konferensi pers pada 2 November lalu di Cikeas. Publik segera bereaksi menyikapi pidato politik SBY yang dianggap sebagai provokasi, dengan tujuan terselubung untuk "melenyapkan" Ahok dari arena Pilkada yang akan digelar Februari 2017.
Tentu siapapun tahu, bahwa Ahok bukanlah lawan sepadan untuk Agus Yudhoyono, yang masih berada di entry level atau coba-coba. Jangankan Agus Yudhoyono, bahkan Anies Baswedan yang sebelumnya sempat menjabat Mendikbud sekalipun, kemampuannya masih sangat diragukan untuk bisa menyamai Ahok.
Harus diakui, Ahok sudah membuktikan kemampuan dan kecakapannya dalam mengatur dan menata ibukota. Sulitnya mengendalikan birokrasi tidak berlaku bagi Ahok. Demikian juga dengan kelihaiannya dalam berurusan dengan DPRD, sudah terbukti. Kesemuanya itu menjadi jaminan bahwa ia tidak memiliki beban masa lalu, dan juga kepentingan terselubung yang membuatnya tidak bisa disandera.
Inilah juga yang membuatnya berani dan bebas dalam mengambil kebijakan. Selain tidak memiliki hutang masa lalu, Â ia juga tidak merasa perlu tunduk dan wajib mengakomodir kepentingan orang-orang di partai pengusungnya, bila itu dianggap menyimpang dari sumpah jabatannya.
Ia pun harus diacungi jempol dalam hal  kecepatannya dalam melayani dan meresponi keluhan masyarakat. Inilah yang menjadi kelebihan Ahok, dan sangat mungkin tidak akan didapat dari kontestan lain, yang sejak dari awal sudah sarat dengan janji-janji. Dan memang, hanya itulah yang mereka punya, tidak lebih.
Hal ini tentu sangat disadari oleh SBY sebelum memutuskan mengusung Agus untuk bertarung dengan Ahok. Berbekal pengalaman politiknya, dan juga telah dua periode menjadi presiden, SBY dengan mudah berhasil menggaet PPP, PKB, PAN untuk berada di gerbongnya di menit-menit akhir.
Namun, SBY menyadari bahwa dengan modal dukungan tiga partai tersebut, sangat jauh dari cukup untuk bisa mengungguli Ahok, yang sudah terlanjur dicintai oleh mayoritas warga DKI. Warga DKI yang umumnya sudah lebih cerdas soal politik, tentu tidak lagi bisa dikelabui dengan janji dan pencitraan.Mereka sangat bisa menilai berdasarkan fakta dan analisa.
Perlu strategi khusus supaya "perjudiannya" dengan mengorbankan karir Agus di TNI tidak berakhir dengan sia-sia. Ia juga sangat paham,  hanya dengan mengandalkan pencitraan untuk Agus adalah jauh dari memadai. Apalagi event ini ada di DKI, yang mana mayoritas warganya sangat paham mana pemimpin kualitas Ori dan yang mana KW.
Pencitraan Agus harus dibarengi dengan penggembosan Ahok. Hanya dengan strategi ini, maka peluang untuk Agus menjadi terbuka. Dalam kalkulasi SBY, Anies-Sandiaga bukanlah lawan yang perlu ditakutkannya, yang ia cemaskan hanya Ahok. Oleh karenanya, dalam kontestasi kali ini sangat kelihatan bahwa Agus hanya terima bersih, SBYlah yang sesungguhnya bertarung.
***
Upaya penggembosan, atau lebih tepat "pelenyapan" Ahok, entah secara kebetulan akhirnya menemukan momentum dengan peristiwa di Pulau Seribu. Publik heran dengan  begitu hebatnya ekploitasi atas kasus ini yang sampai menciderai akal sehat. Ketersinggungan dibesar-besarkan sedemikian rupa dengan tuntutan yang sangat kental nuansa politiknya.
Sangat jelas terlihat bahwa yang mereka tuntut sebenarnya bukanlah proses, tetapi agenda yang memang  sejak awal sudah menjadi  target, dan harus terwujud. Dengan kombinasi  kepentingan politik, sentimen agama, dan juga resistensi terhadap Ahok yang terkolaborasi dengan begitu sempurna di kasus Ahok, tekanan pun diarahkan ke Istana untuk mau merelakan atau mengorbankan Ahok.
Istana kerepotan, namun tidak kehilangan akal sehat. Dengan gerak cepat, Presiden dan pembantunya berhasil mengidentifikasi masalah. Â Kepentingan yang membaur berhasil diurai, dengan demikian satu persatu bisa diberikan terapi yang tepat.
Dengan konsolisasi ke berbagai pihak, Presiden mampu memberi rasa aman kepada masyarakat, sekaligus menarik garis yang jelas antara mereka dengan pemilik kepentingan di kasus ini. Demikian juga dengan peningkatan status Ahok ke tahap penyidikan, berhasil dengan gemilang memisahkan atau mengurai  kepentingan yang membaur di kisruh Ahok, dan membuatnya teridentifikasi dengan sangat jelas.
Setelah garis pemisah berhasil ditarik dan juga kepentingan berhasil diidentifikasi, situasi pun kini terkendali. Istana dan aparatnya mulai bertindak. Â Kepentingan di balik demo, yang tadinya membaur kini sudah terurai. Dengan demikian, bila ada aksi lanjutan, maka motifnya dengan mudah bisa terdeteksi.
Kepentingan politik SBY, yang tadinya dengan lihai bisa menumpang pada sensitivitas keagaman dan resistensi terhadap Ahok, kini tidak lagi bisa bersembunyi. Sensitivitas agama sudah menyingkir dengan peningkatan status hukum Ahok. Demikian juga dengan faktor resistensi terhadap Ahok, kini sedang diterapi oleh polisi dengan rencana pemanggilan terhadap pihak-pihak yang dianggap perlu.
Belum lagi dengan safari politik Presiden dan juga konsolidasi lanjutan yang terus diupayakannya, sangat berhasil menutup pintu bagi mereka yang berupaya masuk dan menekan Istana melalui kisruh Ahok. Keputusan Golkar mengembalikan Setya Novanto  sebagai ketua DPR, dan juga putusan PTUN mengenai kepengurusan PPP ( meskipun secara teoritis berada di luar jangkauan Presiden) semakin menegaskan bahwa Presiden terlalu kuat untuk bisa ditekan, apalagi digoyang.
Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa upaya pelenyapan Ahok positif gagal. Then, what's next?
Kecil kemungkinan bila SBY tidak akan mencari upaya lain untuk Agus Yudhoyono. Karena memang, tidak mudah untuk bisa mengalahkan Ahok dengan cara biasa. Apalagi dengan gagalnya upaya menggembosi Ahok melalui kasus ini. Bukannya turun, popularitas Ahok  semakin melambung dengan semakin banyaknya warga yang akhirnya mengerti apa sebenarnya yang terjadi, lalu kemudian bersimpati.Â
Berharap pada pencitraan dan penggiringan opini lewat survey ala LSIÂ nya Denny JA juga semakin mengkhawatirkan. Publik justru semakin antipati dan muak. Apalagi dilakukan dengan metode katrol, yang tidak lebih dari sampah dan harus dibuang pada tempatnya, karena merupakan penistaan terhadap kecerdasan dan juga statistik.
Publik sedang menunggu strategi berikut dari Cikeas untuk Agus Yudhoyono. Namun, memperhatikan kegagalan dengan menumpang di kasus ini, publik sangat pesimis dengan strategi lain yang bisa efektif untuk mengangkat pasangan Agus-Sylvi.
Andai tadinya SBY tidak gegabah menanggapi laporan intelijen error, dan juga konferensi persnya di Cikeas tidak kebablasan, tentu ceritanya akan berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H