Mohon tunggu...
Omri L Toruan
Omri L Toruan Mohon Tunggu... Freelancer - Tak Bisa ke Lain Hati

@omri_toruan|berpihak kepada kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tugas Berat Presiden: Saber Pungli = Memberantas Budaya

16 Oktober 2016   19:13 Diperbarui: 16 Oktober 2016   19:35 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : okezonenews.com

Bagi pegiat Pungli, masa depan mendadak suram. Hal ini dikarenakan turun tangannya Presiden Jokowi secara langsung untuk memberantas pungli. Tidak tanggung-tanggung, jumlah Rp10.000 pun akan diurusi oleh Presiden. Seakan tidak cukup dengan membentuk SABER PUNGLI ( Sapu Bersih Pungutan Liar), hari ini di Solo,  Presiden Jokowi menegaskan ulang komitmennya untuk memberantas praktek pungli yang sudah membudaya di masyarakat kita. 

Presiden  berjanji akan menindaklanjuti semua aduan masyarakat terkait dengan pungli. "Pungli bukan hanya masalah nominal," kata Jokowi dalam acara penyerahan sertifikat tanah Program Strategis Nasional 2016 di Lapangan Kottabarat, Solo, Minggu, 16 Oktober 2016. Menurut dia, praktek pungli sangat meresahkan meski terkadang nominalnya tidak terlalu besar. Selengkapnya di sini.

Bagi pemungli ( praktisi pungli), pungli merupakan budaya, dan karenanya wajib dilestarikan. Menurut Kamus, budaya itu bisa diartikan sebagai sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah; membudaya/mem·bu·da·ya/ v menjadi kebudayaan atau menjadi kebiasaan yang dianggap wajar; mendarah daging.

Pungli sudah mendarah daging. Pernyataan ini bisa diartikan bahwa praktek pungli itu sudah menjadi suatu keharusan dan wajib. Bagaimanapun caranya akan diupayakan supaya bisa terus melakukan pungli. Dan hasil pungli ini juga sudah menjadi darah dan daging, menyatu dalam hidup pemungli dan sanak keluarganya yang disuapi dengan sesuatu yang berasal dari pungli. Sehingga, sangat wajar jika pungli itu mendarah daging, karena sudah menyatu dengan kehidupan si pemungli. Tanpa pungli, entahlah akan seperti apa jadinya.

Oleh karenanya, tindakan Presiden yang akan menyapu bersih pungli bukan merupakan persoalan kecil dan sepele. Ini menyangkut budaya, budaya pungli yang sudah lama dilestarikan. Dengan demikian, memberantas pungli sama saja dengan memberantas budaya, budaya memungli dan juga budaya hidup dari hasil pungli yang hidup di masyarakat.

Tentu ini tidak mudah, baik bagi presiden dan aparat yang ditugaskan untuk itu karena  pegiat pungli yang selama ini sudah terbiasa hidup dari pungli dan hidupnya dibangun dari pungli adalah juga sebagian dari mereka yang ditugaskan untuk memberantasnya, yakni aparat kepolisian dan kejaksaan. 

Sangat bisa akan ada penolakan, atau ketidakseriusan untuk sungguh-sungguh memberantasnya. Belum lagi upaya dari pemungli untuk selalu berupaya menemukan metode pungli yang sulit terdeteksi dan sifatnya abu-abu, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai pungli. Bisa saja dibuat layaknya simbiosis mutualisma, saling membutuhkan, sehingga tidak ada yang merasa keberatan dan dirugikan, karena kedua pihak memang sama sama berkepentingan supaya praktek itu terjadi.

Pungli ini, dari segi bahasa dan adat Ketimuran sebenarnya kurang santun, sehingga bahasanya perlu disesuaikan dengan adat masyarakat kita yang santun dan agamis. Maka kemudian pungli ini pun beradaptasi dengan istilah yang bisa diterima oleh masyarakat seperti:  ucapan terimakasih, uang rokok, salam tempel, angpao, tehaer,  hingga kick back. Lain lagi jika urusannya politik, bisa dinamakan mahar, sumbangan, baik yang sifatnya wajib maupun sukarela, bahkan pernah diberi nama Apel Malang hingga apel Washington.

Adalah realita di masyarakat kita, ada begitu banyak orang yang dengan terang-terangan menampilkan gaya hidup yang sangat jauh  melampaui  apa yang dapat ditopang oleh penghasilan yang didapatnya sesuai dengan profil  yang sebenarnya. Misalnya, seorang pegawai yang mempunyai gaji sekian juta per bulan namun mampu memiliki rumah mewah, dengan aneka perabotan dan berbagai peralatan modern dan mahal , mobil yang tidak murah. Menyekolahkan anak di sekolah favorit dan  mahal, ditambah lagi dengan  setiap anggota keluarga bisa memiliki gadget keluaran terbaru. 

Mengadakan acara-acara atau pesta yang mengeluarkan uang yang tidak sedikit.  Secara logika, sulit diterima akal bagaimana  penghasilan sebagai pegawai dengan struktur gaji yang sudah terbaca publik  mampu menopang gaya hidup sedemikian. Dan ironisnya, justru  ada kesan  bangga dan terhormat. Jika seseorang bisa memamerkan apa yang dimilikinya, tak peduli sumbernya dari mana. 

Demikianlah akhirnya, banyak orang berebut dan mengincar lahan atau kedudukan yang dianggap “basah”, atau dalam istilah salah satu etnis di Sumatera disebut “ Baba ni Hepeng”. Dan untuk mendapatkan posisi ini, banyak orang yang bersedia membayar atau rela berkorban. Tentu dengan perhitungan bahwa apa yang  mereka berikan sekarang tidaklah seberapa  dibandingkan dengan  jumlah  yang akan mereka dapatkan kemudian. Mungkin setahun, dua tahun sudah balik modal, begitu katanya.

Tidak hanya di kalangan pegawai pemerintah atau birokrat, hal ini juga tidak sulit dijumpai di sektor swasta. Mulai dari pegawai rendahan sampai pimpinan. Tidak sedikit yang mengejar apa yang disebut uang masuk, tip, fee, atau penghasilan “sampingan” lainnya. Sering kita dengar kalimat, ” kalau hanya mengandalkan gaji, mana bisa hidup?“ Akhirnya kita terlatih untuk menjadi pintar. Harus pintar-pintarlah! Begitulah katanya, karena tanpa adanya sampingan, maka pekerjaan atau posisi itu tidak "termakan” . 

JIka penghasilan tambahan diperoleh dari usaha yang sah atau tambahan kerja dan skill yang sesuai, bukan dengan trik yang dibuat-buat, alasan yang diada-adakan, mempersulit proses, memeras dan menekan, mempermainkan waktu, tipu-tipu dan menciptakan kondisi yang serta merta memaksa orang lain mengeluarkan biaya tambahan, maka hal tersebut tentu lain ceritanya.  Namun modus di atas menjadi wajib supaya bisa melakukan pungli.

Dalam beberapa hal, ada juga  aturan yang didamaikan atau negosiasi di tempat dengan pelanggar hukum atau aturan. Biaya atau konsekuensi sebagai akibat dari pelanggaran tersebut tidak perlu dibayarkan secara penuh dengan menyelesaikannya secara langsung di tempat. Sudah tentu biayanya masuk ke saku si pemungli.  Pengaturan atau jalan tengah ini memang bisa lebih praktis, sehingga si pelanggar tidak usah repot dan juga tidak perlu membayar penuh ke instansi atau negara, tetapi cukup membayar sejumlah tertentu kepada petugas yang sekaligus pemungli.  

Dan ini menjadi sumber penghasilan sampingan, dan praktek ini terjadi berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Dan sudah pasti menjadi  berat jika kemudian sampingan ini hilang dan  tidak didapatkan lagi, sebagaimana keinginan Presiden Jokowi yang bertekad akan menyapu bersih pungli di seluruh instansi pemerintahan dan kementerian.

Tidak ketinggalan di wilayah agama atau kerohanian, hal semacam ini juga ada. Mungkin saja kita tidak akan pernah menemukan istilah pungli di sana, karena sangat bisa sifatnya merupakan pemberian tanpa paksaan. Apalagi dibungkus dengan aroma mistis, atau rohani mungkin lebih pas guna menggerakkan jemaah untuk memberi. 

Jika diberikan dengan kesadaran dan pemahaman bahwa lembaga keagamaan atau tokoh dimaksud memerlukannya untuk kepentingan pelayanan sosial, tentu tidak masalah, namun menjadi pungli ketika itu dipakai  dan ditujukan untuk kepentingan diri semata.

Bahkan, rohaniwan yang sudah terbiasa mengharapkan amplop atau pemberian umat bisa melakukannya. Ucapan syukur dan terimakasih dari umat kepada Tuhan dalam bentuk uang atau pemberian lainnya masuk ke saku rohaniwan, dan tidak pernah sampai ke tangan "Tuhan" atau orang-orang yang mewakilinya. Padahal, bisa saja maksud utama pemberian itu adalah bagaimana supaya si rohaniwan mau merayu Tuhan untuk kemudian berkenan mengembalikan kepada si pemberi berlipat kali melalui jasa si rohaniwan, dan ia tahu akan hal itu, namun membiarkannya sekalipun hal tersebut keliru.

Ada kalanya sampingan ini pada awalnya hanya bentuk spontanitas. Namun lama-kelamaan menjadi kebiasaan, hingga mendarah daging. Misalnya petugas parkir dan keamanan yang diberi tip, pekerja yang diberi ucapan terima kasih. Karena keseringan lalu menjadi kebiasaan, sehingga jika tidak diberikan kemudian diminta.  jika tidak didapatkan, lalu kemudian mulai berulah dan melakukan upaya, bagaimana supaya sampingan ini terus didapat.  

Kita mungkin sekali pernah mendengar istilah efek samping?  Efek samping secara umum diartikan sebagai suatu dampak atau pengaruh yang merugikan dan tidak diinginkan, yang timbul sebagai hasil dari suatu pengobatan atau tindakan medis. Suatu pengaruh atau dampak negatif disebut sebagai efek samping ketika hal itu timbul sebagai efek sekunder dari  efek terapi utama yang dituju atau hendak dicapai. 

Namun efek samping di sini diartikan sebagai penghasilan yang tidak sah, dan tidak ada dasarnya, yang diperoleh dengan cara dipaksakan dan diluar kepatutan. Bahkan, seringkali merupakan suatu tindakan melawan hukum, yang diterima oleh seseorang sesuai kapasitas yang melekat padanya. Sampingan ini kemudian dipakai guna membentuk atau menopang gaya hidup yang melebihi kemampuan yang seharusnya.  

Adanya sampingan telah menimbulkan efek samping yang sedemikian mewarnai kehidupan masyarakat. Dengan adanya sampingan ini, penampilan dan gaya hidup pun disesuaikan menurut besarnya sampingan yang di dapat. Ini kemudian menjadi budaya yang hidup di masyarakat. Bahkan menjadi semacam rahasia umum, yakni praktek pungli itu sendiri dan gaya hidup yang ditampilkan oleh orang-orang yang berkecimpung di bidang pungli.

Tindakan Presiden Jokowi ini tentu bisa dipandang sebelah mata oleh banyak pihak, karena  dianggap sebagai tindakan yang sia-sia, dan sifatnya panas-panas tahi ayam semata. Tidak begitu lama akan hilang dengan sendirinya, karena tidak didukung oleh masyarakat, terutama mereka yang tidak mau jika pungli ini disapu bersih.

Memberantas pungli  memang tidak semudah yang diucapkan. Pungli sudah mendarah daging, dan hasilnya sudah menjadi darah dan daging di tubuh kita dan membentuk kita seperti sekarang ini. Adalah tidak berlebihan bila kita menyebutnya sebagai budaya, sehingga gerakan Saber Pungli yamg digemakan Presiden Jokowi sama saja dengan memberantas suatu budaya, budaya pungli, yang sudah memasyarakat sekian lama.

Namun, tentu kita tidak boleh pesimis, apalagi yang mendeklarasikannya adalah Presiden Jokowi sendiri. Dan inilah kelebihan Presiden kita yang jarang didapati dari seorang pemimpin, ia selalu ada di depan memberi teladan. Ia memberi contoh terlebih dahulu dengan gaya hidupnya, keluarganya yang bisa disaksikan semua orang, jadi bukan hanya basa- basi.

Berbeda jika yang menyuarakannya adalah seorang pemimpin munafik,  lain di bibir lain di hati. Boleh saja dengan lantang menyuarakan katakan tidak,  pada (hal) korupsi.

Kita pasti bisa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun