Tidak hanya di kalangan pegawai pemerintah atau birokrat, hal ini juga tidak sulit dijumpai di sektor swasta. Mulai dari pegawai rendahan sampai pimpinan. Tidak sedikit yang mengejar apa yang disebut uang masuk, tip, fee, atau penghasilan “sampingan” lainnya. Sering kita dengar kalimat, ” kalau hanya mengandalkan gaji, mana bisa hidup?“ Akhirnya kita terlatih untuk menjadi pintar. Harus pintar-pintarlah! Begitulah katanya, karena tanpa adanya sampingan, maka pekerjaan atau posisi itu tidak "termakan” .
JIka penghasilan tambahan diperoleh dari usaha yang sah atau tambahan kerja dan skill yang sesuai, bukan dengan trik yang dibuat-buat, alasan yang diada-adakan, mempersulit proses, memeras dan menekan, mempermainkan waktu, tipu-tipu dan menciptakan kondisi yang serta merta memaksa orang lain mengeluarkan biaya tambahan, maka hal tersebut tentu lain ceritanya. Namun modus di atas menjadi wajib supaya bisa melakukan pungli.
Dalam beberapa hal, ada juga aturan yang didamaikan atau negosiasi di tempat dengan pelanggar hukum atau aturan. Biaya atau konsekuensi sebagai akibat dari pelanggaran tersebut tidak perlu dibayarkan secara penuh dengan menyelesaikannya secara langsung di tempat. Sudah tentu biayanya masuk ke saku si pemungli. Pengaturan atau jalan tengah ini memang bisa lebih praktis, sehingga si pelanggar tidak usah repot dan juga tidak perlu membayar penuh ke instansi atau negara, tetapi cukup membayar sejumlah tertentu kepada petugas yang sekaligus pemungli.
Dan ini menjadi sumber penghasilan sampingan, dan praktek ini terjadi berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Dan sudah pasti menjadi berat jika kemudian sampingan ini hilang dan tidak didapatkan lagi, sebagaimana keinginan Presiden Jokowi yang bertekad akan menyapu bersih pungli di seluruh instansi pemerintahan dan kementerian.
Tidak ketinggalan di wilayah agama atau kerohanian, hal semacam ini juga ada. Mungkin saja kita tidak akan pernah menemukan istilah pungli di sana, karena sangat bisa sifatnya merupakan pemberian tanpa paksaan. Apalagi dibungkus dengan aroma mistis, atau rohani mungkin lebih pas guna menggerakkan jemaah untuk memberi.
Jika diberikan dengan kesadaran dan pemahaman bahwa lembaga keagamaan atau tokoh dimaksud memerlukannya untuk kepentingan pelayanan sosial, tentu tidak masalah, namun menjadi pungli ketika itu dipakai dan ditujukan untuk kepentingan diri semata.
Bahkan, rohaniwan yang sudah terbiasa mengharapkan amplop atau pemberian umat bisa melakukannya. Ucapan syukur dan terimakasih dari umat kepada Tuhan dalam bentuk uang atau pemberian lainnya masuk ke saku rohaniwan, dan tidak pernah sampai ke tangan "Tuhan" atau orang-orang yang mewakilinya. Padahal, bisa saja maksud utama pemberian itu adalah bagaimana supaya si rohaniwan mau merayu Tuhan untuk kemudian berkenan mengembalikan kepada si pemberi berlipat kali melalui jasa si rohaniwan, dan ia tahu akan hal itu, namun membiarkannya sekalipun hal tersebut keliru.
Ada kalanya sampingan ini pada awalnya hanya bentuk spontanitas. Namun lama-kelamaan menjadi kebiasaan, hingga mendarah daging. Misalnya petugas parkir dan keamanan yang diberi tip, pekerja yang diberi ucapan terima kasih. Karena keseringan lalu menjadi kebiasaan, sehingga jika tidak diberikan kemudian diminta. jika tidak didapatkan, lalu kemudian mulai berulah dan melakukan upaya, bagaimana supaya sampingan ini terus didapat.
Kita mungkin sekali pernah mendengar istilah efek samping? Efek samping secara umum diartikan sebagai suatu dampak atau pengaruh yang merugikan dan tidak diinginkan, yang timbul sebagai hasil dari suatu pengobatan atau tindakan medis. Suatu pengaruh atau dampak negatif disebut sebagai efek samping ketika hal itu timbul sebagai efek sekunder dari efek terapi utama yang dituju atau hendak dicapai.
Namun efek samping di sini diartikan sebagai penghasilan yang tidak sah, dan tidak ada dasarnya, yang diperoleh dengan cara dipaksakan dan diluar kepatutan. Bahkan, seringkali merupakan suatu tindakan melawan hukum, yang diterima oleh seseorang sesuai kapasitas yang melekat padanya. Sampingan ini kemudian dipakai guna membentuk atau menopang gaya hidup yang melebihi kemampuan yang seharusnya.
Adanya sampingan telah menimbulkan efek samping yang sedemikian mewarnai kehidupan masyarakat. Dengan adanya sampingan ini, penampilan dan gaya hidup pun disesuaikan menurut besarnya sampingan yang di dapat. Ini kemudian menjadi budaya yang hidup di masyarakat. Bahkan menjadi semacam rahasia umum, yakni praktek pungli itu sendiri dan gaya hidup yang ditampilkan oleh orang-orang yang berkecimpung di bidang pungli.