Mohon tunggu...
Omri L Toruan
Omri L Toruan Mohon Tunggu... Freelancer - Tak Bisa ke Lain Hati

@omri_toruan|berpihak kepada kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Benturan Peradaban, Solusi untuk Jakarta Baru

4 Oktober 2016   14:19 Diperbarui: 4 Oktober 2016   18:37 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : youtube.com pemrov dki

Lalu seperti apa solusinya?

Benturan tentu tidak harus selalu dihindari, sebab ada kalanya melalui benturanlah suatu hal akan bisa diluruskan atau diletakkan pada tempatnya. Dan juga, benturan tidak harus selalu dimaknai dengan kekerasan secara fisik, yang sudah barang tentu harus ditolak dan dihindarkan. Perbedaan yang terjadi kali ini tidak mesti melahirkan konflik berdarah-darah, karena konflik juga bukan berarti selalu identik dengan kekerasan.

Inilah juga yang menjadi PR masyarakat, dan sudah barang tentu masyarakat memerlukan seni untuk mengelola benturan kali ini, sehingga pada akhirnya benturan ini tidak berujung pada permusuhan dan kekerasan, tetapi bangkitnya kesadaran dengan penggunakan nalar yang sehat dan rasional atas dasar kesetaraan, dan itulah yang pada akhirnya menang.

Diperlukan upaya kontra yang rasional dan edukatif  dalam bentuk dialog, eksposisi, narasi guna menyadarkan publik bahwa ajakan kelompok-kelompok yang hendak memaksakan ruang peradaban sebagai arena untuk mewujudkan kepentingan mereka adalah upaya mengelabui, dan oleh karenanya harus ditolak.

Tidak ada manfaat, terlebih untuk jangka panjang, yang akan didapat dari ajakan kelompok  mereka, justru hal itu merupakan langkah mundur, bahkan sangat mundur. Ketika kita yang sudah berada di abad 21 hendak dibawa mundur ke peradaban puluhan abad silam, dengan cara mengubah perspektif kita yang sekarang untuk bisa terjadinya benturan peradaban.

Ada upaya menafikan nilai-nilai luhur budaya kita, yakni budaya dalam manifestasi yang lebih luas, menjadi suatu unsur yang membentuk pola kohesi, disintegrasi dan konflik melalui kontestasi Pilkada DKI.

Dalam jangka pendek, sudah pasti kelompok pembentur itu  memiliki obsesi untuk mempertahankan atau merebut  supremasi melalui benturan ini. Apabila mereka berhasil meyakinkan publik, maka hal ini akan sangat merugikan kita sebagai suatu bangsa, dengan anjuran sikap konfrontatif mereka terhadap peradaban yang berbeda dengan kelompoknya.

Namun sebaliknya, hal ini bisa menjadi positif ketika massa yang kontra berhasil meyakinkan publik mayoritas, bahwa apa yang mereka anjurkan adalah bentuk fallacy, berupa tipuan belaka, guna berhasil mewujudkan apa yang menjadi hasrat mereka. Jika ini yang terjadi, maka akan ada kebangkitan peradaban dengan lahirnya atau menguatnya kesadaran, bahwa perbedaan tidak lagi menjadi sesuatu obyek yang bisa dibenturkan ketika ada kepentingan.

Perbedaan peradaban, terutama yang menyangkut masalah agama, tidak harus  menimbulkan benturan, apalagi ketika hal itu sengaja ditarik untuk dibenturkan, padahal ruang benturnya yang sesungguhnya adalah proses politik yang berkeadilan untuk semua kelompok. Bukan melalui cara-cara pengecut, dengan menariknya ke ruang peradaban dan menguncinya di sana, hanya karena melihat peluang yang lebih besar untuk memperoleh keuntungan terletak dan hanya ada di sana.

Sesungguhnya, pada masing-masing etnis dan agama yang berbeda, tentulah  terdapat unsur-unsur universal yang dapat menyatukan perbedaan sekaligus yang memampukannya bertahan dari gangguan atau ancaman internal maupun eksternal kelompoknya.

Interaksi yang sebelumnya terjadi antar individu atau antar kelompok yang beda peradaban, sudah seharusnya tidak dinafikan dan menjadi nihil, ketika berhadapan dengan kepentingan yang berbeda. Apalagi, kepentingan itu sebenarnya bukanlah kepentingan publik melainkan kepentingan parsial kelompok-kelompok yang selama ini merasa terganggu, dan terancam sumber-sumber ekonominya, dan ketika supremasi mereka terhadap yang lain tidak bisa lagi dipertahankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun