Di pihak lain, koalisi pengusung Ahok akhirnya berhasil mencapai kesimpulan, yakni dengan memasangkan Ahok bersama Djarot sebagai salah satu upaya guna membantah dan meredam opini yang sedang dibangun, yakni apa yang sedang terjadi di Pilkada DKI adalah benturan peradaban.
Walaupun belum cukup, namun setidaknya bisa menjadi bantahan awal terhadap kelompok-kelompok yang bermaksud mengunci isu Pilkada DKI kali ini ke dalam ruang peradaban. Dan memang, bagi petahana, Â kali ini akan lebih menyulitkan dibanding pilkada tahun 2012, karena ketika itu yang menjadi cagub adalah Pak Jokowi. Moncong senapan dengan peluru yang diarahkan ke Ahok selalu gugur saat bersentuhan dengan baju rompinya Pak Jokowi, sehingga tidak bisa secara telak mengenai Ahok, karena harus menembus Pak Jokowi terlebih dahulu.
Sekarang situasinya berbeda. Ahok selaku petahana yang akan maju menjadi nomor satu, tidak lagi bisa berharap banyak seperti di 2012. Tidak ada lagi Pak Jokowi yang bisa melindunginya. Demikian juga dengan Djarot, cawagub yang akan mendampinginya, tidak bisa terlalu banyak diharapkan untuk mampu melindungi Ahok. Posisinya yang ada di samping, atau di belakang Ahok, tidak seperti Pak Jokowi yang berada di depan Ahok waktu itu.
Eskalasi isu benturan peradaban yang digunakan untuk menyerang Ahok sebenarnya sudah dimulai, jauh sebelum Ahok maju menjadi cagub. Bagaimana supaya Ahok tidak bisa tampil dalam kontestasi Pilgub 2017 melalui jerat hukum, namun akhirnya, semua upaya tersebut gagal.
Politisi yang frustrasi karena  tidak berhasil membendung Ahok melalui jalur formal dan legal,  akhirnya memasuki ruang peradaban. Forum RT RW DKI Jakarta yang mengkampanyekan agar tidak memilih Ahok dengan sentimen etnis-agama. Demikian juga Bamus Betawi yang ikut-ikutan bermain isu etnis. Hingga video mahasiswa Universitas Indonesia dan UNJ yang menyerukan tolak Ahok karena kafir.
Dan yang teranyar, seruan menolak petahana melalui Risalah Istiqlal. Bisa diprediksi, berbagai aksi lain  akan bermunculan untuk menggemakan urgensi kebersamaan guna melawan petahana yang hendak dipatenkan menjadi ancaman terhadap peradaban mayoritas warga.
Memang, tidak keseluruhan perlawanan terhadap Ahok dilakukan di jalur peradaban, ada juga banyak ruang untuk mengkritisi kinerja, kebijakan dan kepemimpinan Ahok selama ini. Namun, komparasi yang sangat jomplang terhadap kinerja pemimpin-pemimpin sebelumnya, menjadikan hal itu tidak terlalu menjanjikan, bila menjadi fokus utama untuk digugat dan dipertentangkan. Oleh karena itu, satu-satunya ruang yang memberi harapan besar untuk bisa meredam petahana adalah ruang peradaban.
Dan memang juga, terlalu sulit menyembunyikan dan mendustakan banyak hal yang sudah dilakukan oleh Ahok sejak menjadi Gubernur DKI. Walau sekalipun hal itu dilakukan dengan cara yang intelek, seperti yang baru-baru ini dicoba oleh Anies Baswedan dengan mencoba mengecilkan peran Ahok dan mengkreditkannya kepada Fauzi Bowo.
Publik segera bereaksi, dan memang juga system yang ada di mesin pencari google seakan mengkonfirmasi ketidakjujuran Anies Baswedan mengungkapkan hal ini kepada publik. Publik segera membaca motif terselubung Anies Baswedan, dikaitkan dengan posisinya yang saat ini menjadi pesaing Ahok.
Sebagai ibukota NKRI, Pilkada DKI menjadi krusial bagi semua kepentingan. Antara kelompok yang hendak membangun opini sebagai benturan peradaban, kontra masyarakat lintas peradaban yang rasional, dan  tetap berupaya meletakkannya sebagai event politik yang tidak ada kaitannya dengan peradaban, sehingga tidak relevan untuk dibenturkan.
Event ini bertambah seru, karena yang ikut serta bukan saja mereka yang berkepentingan secara langsung, yakni warga DKI. Bahkan event ini seakan sudah menjadi isu dan event nasional, yang membuat peristiwa yang sama di tempat lain dengan waktu bersamaan  kurang mendapat sorotan.