Misteri itu terjawab sudah. Siapa yang pada akhirnya akan diusung PDIP untuk menjadi cagub DKI di Pilkada 2019. Sampai pada detik-detik sebelum diumumkan kemarin malam (20/9/16), hal itu masih merupakan misteri. Walau hanya untuk posisi seorang gubernur, publik begitu antusias mengikuti dinamika yang terjadi, memperhatikan kepemimpinan Ahok sejak tampil di DKI yang memang tidak pernah sepi dari kontroversi.
Sebagai ibukota NKRI, Pilgub DKI menjadi sangat menarik bagi parpol dan politisi karena DKI memiliki anggaran yang sangat besar. Siapapun, tidak mau untuk tidak ikut ambil bagian,karena berharap ikut kecipratan, dan sekali kecipratan efeknya langsung berkelimpahan. Itulah juga yang terjadi Pada Amien Rais dan PAN, meski hanya punya dua kursi, manuver Amien Rais hampir-hampir berhasil menyundul langit. Amien berjibaku membuat DKI gonjang-ganjing, supaya ia dianggap penting.
Keputusan PDIP ini, walau sudah diduga sebelumnya, namun tidak kurang membuat banyak pihak gelisah dan kebingungan menerka apa yang ada di pikiran PDIP. Bahkan, beberapa pihak di koalisi kekeluargaan masih terus berharap, agar PDIP tidak mengusung Petahana akan tetapi ikut bergabung dan menjadi pemimpin koalisi besar guna melawan Ahok. Meskipun kadernya sempat ikut mendeklarasikan Koalisi Kekeluargaan sebelumnya, keputusan final PDIP tetap menggantung, sampai kemarin malam, akhirnya PDIP memberi kepastian kepada Ahok untuk maju bersama dengan Djarot.
Banyak pihak menduga bahwa PDIP, yang sengaja menggantung cagub yang akan diusungnya adalah merupakan bagian dari strategi PDIP guna mengecoh partai lain. Ada juga yang beranggapan bahwa PDIP ragu untuk mengusung petahana, dan masih terus memantau dinamika politik yang berkembang.
Lalu, apa yang membuat PDIP akhirnya memastikan pilihannya jatuh kepada Ahok?
Andai PDIP belum yakin dengan pilihannya, bisa saja mereka baru mendaftarkan pasangan pilihannya di last minute, namun kali ini sepertinya PDIP sangat yakin dengan keputusnnya mendukung petahana, dan langsung mendaftarkannya di hari pertama. Kenapa ?
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, ada beberapa pertimbangan yang diambil partainya dalam memutuskan mengusung Ahok-Djarot.
"Pertama, Ahok hingga saat ini adalah petahana Gubernur DKI Jakarta yang bertugas meneruskan tugas pasangan Jokowi-Ahok yang sebelumnya telah diusung PDI Perjuangan pada Pilkada tahun 2012 yang lalu," kata Hasto saat deklarasi, Selasa (20/9/2016) malam.
Kedua, langkah mengusung Ahok-Djarot dinilai sejalan dengan ideologi PDI-P, yaitu Pancasila 1 Juni 1945 dan Trisakti.
Hasto mengatakan, PDI-P memegang teguh dan berkomitmen meneguhkan nilai-nilai pluralisme dalam ideologi tersebut, serta selalu berupaya untuk konsisten dalam menjalankan program-program kebijakan Jokowi-Ahok pada waktu yang lalu.
"Ketiga, pasangan Ahok-Djarot dalam pandangan PDI-Pmempunyai komitmen yang teguh dalam melaksanakan ideologi partai serta mampu bersinergi dengan pemerintah pusat dalam mengejawantahkan praktik pemerintahan," kata dia.
Keempat, PDI Perjuangan menilai pasangan Ahok-Djarot mampu meneruskan dan mengimplementasikan visi dan misi Jakarta Baru yang sebelumnya diusung oleh pasangan Jokowi-Ahok pada Pilkada 2012 lalu.
Hal ini dibuktikan dengan hasil survei selama satu tahun terakhir yang konsisten menunjukkan tingkat kepuasan publik DKI Jakarta yang tinggi terhadap kinerja pasangan tersebut.
"Maka, dengan ini PDI-P menyatakan sebagai partai pengusung utama pasangan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017," ucap Hasto. Selengkapnya di sini
Boleh saja Hasto menyebut alasan formal demikian, namun benarkah PDIP ( baca: Megawati) memutuskan mengusung Ahok karena faktor di atas?
Jawabannya :Tentu tidak!
Lalu apa ?
Amien Rais.
Becanda kamu!
Tidak! Serius.
Sebagaimana kita ketahui, Amien Rais ini merupakan sosok langka. Ia bisa tiba-tiba muncul, ketika ada hajatan penting politik. Demikianlah sosok Amien Rais, yang selalu tidak mau ketinggalan begitu ada hajatan politik penting di tanah air. Sebut saja Pilpres 2014, ia muncul memproklamirkan perang badar politik.
Jika kita telusuri ke belakang, Sosok Amien Rais ini sebenarnya jauh dari kata berhasil dalam hajatan politik. Kita sebut saja Pemilu 1999, walaupun sudah memproklamirkan diri sebagai Bapak Reformasi, PAN yang dilahirkan Amien Rais hanya meraih 7,12 persen suara, jauh untuk bisa disandingkan dengan PDIP yang kala itu tampil sebagai jawara dengan raihan33,74 persen suara.
Meskipun hanya ada di urutan kelima, Amien Rais berupaya mati-matian untuk tampil sebagai penentu di masa awal reformasi perpolitikan nasional. Namun, hasrat Amien Rais ini tidak pernah kesampaian. Dan memang, semesta seakan tidak menghendakinya. Walaupun telah mencoba kelihaiannya dengan mengganjal Megawati, kepemimpinan tetap kembali kepada Bu Mega walaupun harus mampir sebentar di pangkuan Gus Dur.
Di Pemilu 2004, Amien kembali mencoba peruntungan di Pilpres, namun lagi-lagi Amien Rais harus mengubur hasratnya yang sedemikian besar. Amien Rais yang kala itu berpasangan dengan Siswono Yudo Husodo harus menerima kenyataan berada di urutan angka sial, yakni keempat dengan hanya meraih 14,66% suara.
Demikianlah akhirnya, di 2009 dan 2014 Amien yang sudah menyadari bahwa semesta tidak menghendaki dirinya untuk menjadi presiden, tidak lagi memaksakan diri ikut bertanding. Ia mencoba memposisikan dirinya untuk menjadi orang penting yang berpengaruh yang suaranya harus didengar, dan menghendaki agar dalam setiap hajatan politik penting ia tetap bisa menentukan.
Demikianlah yang kita lihat sampai hari ini, Amien selalu muncul setiap ada hajatan politik berskala penting. Bahkan di level Pilkada DKI, Amien merasa harus turun tangan dan terpaksa turun gunung dengan berjalan kaki dari Yogyakarta guna memprovokasi warga Jakarta untuk tidak memilih Ahok.
Sebelumnya, dalam pidatonya di depan Kongres V Barisan Muda Partai Amanat Nasional (BM PAN), Amien menyebut Ahok sebagai orang yang “beringas, bengis dan hampir-hampir seperti bandit, dan juga antek pemodal”. Entah apa yang ada di benak Amien Rais ketika menyampaikan pidato ini.
Selanjutnya, Amien Rais makin gencar melancarkan serangan politik terhadap Ahok. Saat menghadiri Rapat Akbar Forum RT RW "Memilih Pemimpin Santun dan Pro Rakyat" yang digelar di Jakarta Utara, Minggu (18/9/2016). Di hadapan ratusan masyarakat yang berkumpul, Amien Rais berkata, "Sangat berbahaya kalau kita sampai digubernuri (dipimpin) sama gubernur yang tidak peduli dengan rakyat kecil, dan sombongnya setinggi langit. Jadi insya Allah kita lawan satu 'Dajjal' itu karena dia akan menjual kepada kepentingan asing."
Sebelumnya, dalam khotbah Idhul Adha, Amien Rais juga menyerukan penolakannya terhadap Ahok. Kemudian, di acara Mudzakarah Ulama dan Tokoh Nasional di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Amien juga melontarkan sindiran tajam ke Ahok. "Kalau saya bicara di depan akademisi, ya pentingnya ilmu pengetahuan, jadi saya kira si Ahok itu memang sontoloyo, dia enggak tahu agama dia," kata Amien. Selengkapnya di sini
Lalu, apa hubungannya dengan keputusan PDIP ( baca: Megawati) mengusung Ahok?
Bu Megawati yang memiliki insting politik yang tajam, rupanya menunggu momen ini. Dalam berpolitik, ia tidak hanya berpatokan pada kalkulasi semata. Ia juga menggunakan intuisi dan ketajaman insting politiknya untuk memutuskan sesuatu hal yang penting dan berdampak besar.
Ketika Amien Rais menyebut Ahok sebagai antek pemodal, seperti bandit, beringas, ia belum sepenuhnya yakin untuk segera memutuskan dukungan PDIP terhadap Ahok. Demikian juga lontaran Amien saat khotbah Idul Adha dan sebutan Ahok sebagai sontoloyo belum mampu meyakinkan dirinya. Dan akhirnya, ketika Amien menyebut "dajjal", sontak Bu Mega teringat dengan 'perang badar' di 2014 yang juga dilontarkan orang yang sama.
Bu Mega segera melihat benang merah pernyatan Amien Rais kali ini dengan ajang Pilpres 2014. Bu Mega yakin seyakin-yakinnya dengan insting politiknya, bahwa kali ini ia pasti benar. Ia pun segera meminta Hasto Kristiyanto untuk mempersiapkan deklarasi dukungan untuk Ahok di Pilkada DKI.
Bu Mega ternyata memiliki keyakinan, setelah sedemikian lama mengamat-amati sepak terjang Amien Rais di belantara perpolitikan nasional, khususnya dalam setiap hajatan politik penting tanah air. Sebagaimana di Pilpres 2014 dengan segala macam akrobatnya, ternyata hasrat Amien Rais tetap tidak pernah kesampaian.
Ibu Mega segera menyimpulkan dengan pasti, dan ini menjadi rumus sederhana beliau. Lihat ke mana Amien Rais, ambil posisi berlawanan! Pasti menang, sebab hasrat Amien Rais memang tidak pernah kesampaian. Inilah konfirmasi untuk Bu Mega, sepak terjang Amien Rais di hajatan Pilkada DKI, sehingga ia pun dengan mantap memutuskan dukungannya kepada Ahok.
Dengan konfirmasi ini, Bu Mega akhirnya mendeklarasikan dukungan PDIP untuk Ahok. Dan ini didapatkannya bukan dari siapa-siapa, justru dari Amien Rais. Seorang tokoh yang pernah merasa penting dan selalu ingin dianggap penting dengan berlaku seakan-akan situasi begitu genting. Padahal, ia sangat tahu bahwa perannya sudah tidak lagi penting.
Entahlah, bila masih ada banyak orang yang masih mengaggap peran Amien Rais dalam perpolitikan nasional masih penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H