Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3580) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4914), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan. Â Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Demikian bunyi Pasal 11 dan 12,  PP No. 34 tahun 2016, yang ditetapkan di  di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 2016 oleh Presiden Republik Indonesia, dan telah diundangkan di Jakarta pada hari yang sama oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Yasonna H. Laoly dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 168.
Demikian juga dalam penjelasan kedua pasal tersebut dinyatakan keduanya cukup jelas, sehingga kecil kemungkinan bila pasal tersebut perlu penafsiran lain atau khusus. Lalu kenapa daerah ( Pemda & Pemko) belum melaksanakannya?
Sangat bisa dipahami bahwa Pemko & Pemda  sangat berkeberatan dengan peraturan ini, khususnya Pasal 2  ayat 1 huruf a yang berbunyi :
Besarnya Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a adalah sebesar:
a. 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan
Angka 2.5% berarti hanya setengah dari jumlah  sebelumnya, yakni 5% atas nilai transaksi yang harus  dibayarkan oleh pihak-pihak yang melakukan pengalihan hak , serta pengikatan jual beli atas tanah dan bangunan . Dan tentu, jumlah pendapatan Pemkab dan Pemko yang berkurang dari aktivitas ini  sangat besar, khususnya di wilayah perkotaan dan daerah industri dimana harga tanah dan bangunan cukup tinggi.
Sepertinya, ada keengganan Pemda & Pemko untuk segera merevisi Perda yang menjadi dasar pemungutan BPHTB ini, walaupun dasar hukum Perda tersebut sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sebagaimana bunyi pasal 11 Peraturan Pemerintah ini. Menimbang APBD masing masing Kota/Kabupaten sebelumnya sudah ditetapkan, implementasi PP 34 ini tentu akan menyebabkan perubahan yang sangat signifikan terhadap PAD Pemkab/Pemko, karena pendapatan yang sebelumnya sudah ditargetkan  didalam APBD nilainya akan terkoreksi dengan signifikan.
Lantas, bisakah Peraturan Pemerintah  yang nota bene merupakan sumber hukum yang lebih tinggi dari Perda batal diberlakukan karena Perda tidak direvisi?
Apa  tindakan pemerintah Pusat bila ternyata implementasi Peraturan pemerintah ini tidak bisa terlaksana karena pemerintah kota dan kabupaten tidak merevisi Perda?Â
Sudah semestinya Pemerintah pusat segera mengingatkan Pemko dan Pemkab sehingga ada kepastian hukum bagi masyarakat, dan juga PP yang sudah dikeluarkan tidak hanya sekedar menghiasi Lembaran Negara saja, tetapi untuk dilaksanakan. Demikian juga dengan Pemda dan Pemko, agar  tidak melanggar hukum karena terus dan masih memungut BPHTB berdasarkan Peraturan Pemerintah yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Sumber :
http://eodb.ekon.go.id/download/peraturan/pp/PP_34_2016.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H