Mohon tunggu...
omnibuslaw watch
omnibuslaw watch Mohon Tunggu... Editor - Informasi Mengenai OmnibusLaw

Informasi Mengenai OmnibusLaw Websites : http://www.omnibuslaw-watch.id/

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RUU OmnibusLaw Dorong Perbaikan Kurangi Kegaduhan

4 Maret 2020   13:10 Diperbarui: 4 Maret 2020   15:01 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang kurang gaduh di negeri ini? Begitu seringnya beragam isu diperdebatkan secara liar, masyarakat semakin terbiasa 'hidup' dalam kesesatan informasi dan kehilangan arah dalam memahami substansi. Kita sudah terlalu sering menghabiskan waktu dan energi untuk berputar-putar di ''pinggiran'' dalam perdebatan mengenai sebuah isu. 

Padahal modal interaksi sesama penuh harmoni, dan bernegara dengan visi yang maju, membutuhkan akal sehat. Perbincangan harusnya merujuk pada inti. Masyarakat harus diajak untuk perlahan, bahkan jika perlu lebih cepat, membiasakan diri melek persoalan. Syukur-syukur mampu berpikir dan mengajukan pemikiran dengan argumen jelas, substansial, tidak parsial dan kategoris. 

Apa sih berpikir kategoris itu? Sederhananya, ketika kita melihat dan marespons sesuatu hanya berdasarkan kategori, termasuk misalnya, dari siapa itu lahir. Respons kita tidak tidak didasarkan pada substansi sesuatu, mengujinya secara mendalam, tapi lebih pada misalnya, kecurigaan pada 'siapa' di balik sebuah produk ide. 

Apakah curiga, atau waspada pada 'siapa' pencetus ide salah? Tidak juga. Tapi sikap ini bisa menjadi persoalan ketika kita terjebak dalam kecenderungan berlebihan dan lupa untuk melakukan sejumlah langkah yang memungkinkan hadirnya pencerahan. 

Itulah yang kita lihat dalam kontroversi RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) akhir-akhir ini. RUU Omnibus Cipta Kerja merupakan terobosan tepat dan strategis untuk percepatan pembangunan nasional: perluasan industrualisasi, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan taraf kemakmuran nasional. 

Jika disetujui dan dilaksanakan, RUU ini akan mampu mendorong Indonesia keluar dari "jebakan negara pendapatan menengah" (middle income trap) dalam waktu cepat. 

Setidaknya ini yang bisa kita tangkap dari pemerintah ketika mengagas dan menyusun RUU yang merupakan gabungan sejumlah undang-undang ini. Tetapi, RUU Omnibus Law Cipta kerja yang baru disampaikan ke DPR RI, dan bahkan belum dibahas, sudah memantik kontroversi dan reaksi penolakan dari berbagai pihak. 

Tidak semua reaksi negatif dan kontroversi tersebut memiliki dasar yang kuat, akurat dan bertanggungjawab. Sebagian pihak bahkan bereaksi akibat kesalahpahaman dengan merujuk pada informasi yang sama sekali berbeda dengan materi RUU Cipta kerja.   

Alih-alih ada upaya bersama dari kalangan terkait, baik pemerintah maupun DPR untuk memberi penjelasan, sosialisasi dan memahamkan masyarakat secara akurat dan obyektif, banyak pihak di level elite saat ini justru sibuk dalam perdebatan mengenai sebagian dari draft RUU ini. 

Perdebatannya panas. Bahkan kemudian memicu aksi massa di tingkat bawah. Kecemasan seolah menebar, atau sengaja ditebar oleh sejumlah pihak (?) atas sesuatu yang masih dalam proses. 

Ingat, ini RUU, Rancangan undang-undang. Sebuah rancangan dihadirkan memang untuk dibahas dan dikoreksi. Draft-nya belum lama dirilis dan diserahkan kepada DPR. Masih proses. Kelemahan di sejumlah tempat, sudah selayaknya dikritisi dan didiskusikan. 

Tapi berdebat di beberapa isu saja hingga kemudian menimbulkan kegaduhan dan memicu kecemasan dari kalangan pekerja, misalnya, sama sekali tidak produktif. Jika dilanjutkan, ini akan menjauhkan diskusi mengenai RUU yang dianggap penting untuk kemajuan dunia usaha di Tanah Air ini, menjauh dari substansi.

Di sinilah pentingnya kita mengembangkan kebiasaan untuk menanggapi sesuatu secara rasional. Langkah-langkah penting seperti mengklarifikasi konsep, mengkritisinya, menjadi penting. 

Kita perjelas konsepnya sampai detil, perdebatkan sesuai dengan keahlian masing-masing tergantung sisi mana yang mau dilihat. Baik para pengritik, atau penolak, maupun pemerintah mutlak harus melakukan ini. Lakukan dengan cara dialogis, jernih dan berorientasi pada kebaikan bersama, kebaikan negeri ini. 

Hanya dengan cara ini pula publik akan dengan mudah mendapatkan informasi yang argumentatif dan bermanfaat. Akan tersedia dari sana, ruang pendidikan agar masyarakat memiliki panduan jelas untuk setuju atau tidak setuju secara sadar dan karena proses pencerahan. Kita, rakyat, jadi lebih mengerti sejauh mana relevansi produk ini bagi kehidupan bersama, dan mana yang memang harus diperbaiki. 

Kritik sama sekali tidak perlu dibungkam, dihalangi dan diharamkan. Tanpa kritik dan koreksi, produk hukum yang jelas menyangkut hidup orang banyak ini tentu saja akan berbahaya. Tapi penting sejak dini semua pihak memikirkan proporsionalitas kritiknya, memihak pada perdebatan substansial baik dari sisi formal hukum, maupun kontennya.

Jika Omnibus Law merupakan salah satu cara kita mewujudkan Visi Indonesia 2045 yang ingin menjadikan Tanah Air sebagai salah satu negara kekuatan besar ekonomi dunia,  kita kawal bersama, perbaiki yang dianggap kurang hingga kemudian disahkan. Selepas itu, kita kembali kepada kehidupan sehari-ahri seraya tetap peka dan melihat sejauh mana Undang-undang ini kelas dijalankan. Karena berdasarkan pengalaman, persoalan krusial di negeri ini sebenarnya soal implementasi, bukan apa yang secara normatif didiamkan dalam aturan-aturan bersama. Tuhan akan bersama kita, bangsa yang ingin maju bersama dalam kesatuan senantiasa.

artikel ini tayang juga di webiste resminya:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun