Dua contoh kasus yang saya sebutkan di atas adalah secuil dari sekian banyak kasus sengketa merek dagang yang terjadi di dunia tak terkecuali di Indonesia.Â
Dalam banyak kasus, sebetulnya sengketa merek dagang itu dapat dihindari sepenuhnya dengan penelitian akan merek dagang yang lebih efektif.
Memang, tak diragukan kalau pencarian informasi terhadap merek dagang (termasuk hak cipta logo) membutuhkan banyak waktu dan juga biaya. Apalagi jika ternyata merek dagang yang akan kita gunakan sudah pernah dipakai oleh pengusaha di negara lain.Â
Namun, hal itu tergantung dari niat juga. Dalam kasus restoran ayam goreng dan sepatu olahraga, saya rasa ada kesengajaan dari mereka untuk mendompleng merek lain yang lebih dulu terkenal.
Rasanya kecil kemungkinan kalau pemilik restoran ayam goreng itu tidak pernah mendengar sebelumnya tentang perusahaan fashion besar yang terkenal itu. Jadi, kayaknya pengusaha ayam goreng ini semacam "test the water" yang sialnya berakhir dengan putusan pengadilan mereka.
Saya pribadi, saat dulu mendirikan CV (Commanditaire Vennotschap) untuk toko, lebih dulu saya memastikan jika nama CV yang saya pakai belum digunakan dan didaftarkan orang lain secara hukum. Ya, sederhananya sih saya googling, ya!
Selanjutnya, saya serahkan ke notaris untuk dibantu pendaftaran tempat usaha itu. Saya tidak tahu teknisnya bagaimana, saya rasa, di sistem pemerintah juga dapat dicek apakah nama CV yang saya pakai sudah terdaftar atau belum.
Jika belum pernah dipakai, tentu saya beruntung dapat menggunakannya. Jika sudah, ya saya harus berbesar hati untuk menggantinya.
Ini semua demi menghindari dari tuntutan hukum. Niatnya buka usaha kan untuk cari duit bukan untuk keluarin duit saat kalah di pengadilan.