"Butuh waktu yang lama untuk saya membangun tempat usaha di sini," ujar beliau. "Saya harus mendapatkan izin dulu dari leluhur asli Minahasa sebab di tempat ini ada dua situs budaya yang harus dijaga," lanjut beliau lagi.
Bang Reinhard lantas menunjuk sebuah bukit kecil di sisi kiri tak jauh dari area parkir.
"Nah di atas sana ada Situs Watu Marengke," infonya.
Situs Watu Marengke dipercaya sebagai tempat penghormatan kepada leluhur penghulu perang, Empung Totakal. Saat diajak untuk melihat situs itu, tampaklah beberapa batu yang dipagari oleh batang bambu.
Untuk melihat situs ini, kami diwajibkan untuk melepas alas kaki dan menjaga perilaku. Nah, dari papan informasi yang ada di sana saya baru tahu bahwa Kimuwu (berasal dari kata Kuwu) itu berarti puncak bukit atau gunung.
Di zaman dulu, oleh leluhur Minahasa, tempat ini adalah pusat pelaksanaan foso yang ditandai dengan adanya situs Watu Marengke dan Watu Siow Kurur. Di sini juga, para leluhur biasa melakukan ritual melihat bulan untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk bertani.
Istilah "Marengke" sendiri diambil dari gerakan tari perayaan kemenangan perang. Yang merujuk pada kaki yang digerakkan naik turun diikuti oleh tubuh yang membentuk satu gerakan khusus. Lagi-lagi ini dimaksudkan sebagai penghormatan kepada Empung Totokai sebagai penghulu perang dan penentu satu keputusan/hukum.
Di zaman tasikela atau era Spanyol/Portugis, sebelum dan sesudah perang, para leluhur Minahasa berkumpul di tempat ini dan melakukan sembahyang/semempung kepada Empung Wailan Wangko.