Khaled Hosseini, seorang penulis ternama pernah berkata, "like a compass needle that points north, a man's accusing finger always finds a woman. Always."
Kutipan itu terasa begitu romantis ketika saya baca. Betapa, kisah dua insan manusia selalu menarik untuk diceritakan, terlebih jika terjadi di tempat yang sedemikian indah laiknya yang dialami oleh Wine dan Nuah.
Siapa mereka?
Berdasakan cerita versi Portugis, mereka berdualah yang mula-mula mendiami Semenanjung Minahasa Utara sekitar tahun 1550 lalu. Tepatnya, di kampung Winenuah (atau Winawanua yang berarti Kampung Tua) yang dinamakan menggunakan nama keduanya.
Saat daerah-daerah di ujung timur laut Sulawesi ini kemudian "disatukan" dengan Bahasa Tonsea (bahasa Melayu-Polinesia yang masuk dalam rumpun bahasa Minahasa), nama Winawanua diubah kembali menjadi Linekepan di tahun 1600-an.
Hingga sekarang dikenal menjadi Likupang atas usul Portugis kepada Dotu Rottie, daerah pesisir seluas 200 hektare yang namanya diambil dari dua daerah yakni Li dari kata Linekepan (berarti "Kampung Paling Ujung") dan Kupang yang merujuk pada orang-orang Kupang yang datang untuk berdagang.
Lantas, kenapa Wine dan Nuah dulu rela mendiami tempat yang berada di ujung semenanjung North Sulawesi itu ya?
MENYEMAI CINTA LEWAT PANDANGAN MATA
Wine dan Nuah jelas sudah tiada sehingga saya tidak bisa mengkonfirmasi langsung jawaban dari pertanyaan tersebut.
Namun, terlepas dari sederet alasan kepindahan mereka, saya yakin salah satunya dikarenakan lanskap alam yang menawan.