Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Tragedi Kecelakaan Pesawat dan Mengupas Bobroknya Perusahaan Boeing dalam Film Dokumenter "Downfall: The Case Against Boeing"

21 Februari 2022   10:36 Diperbarui: 21 Februari 2022   15:19 2400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya masih lekat di ingatan kita tragedi jatuhnya pesawat Lion Air JT610 yang menewaskan 189 orang di mana 181 diantaranya adalah penumpang. Pesawat dengan rute Jakarta ke Pangkal Pinang itu jatuh di sekitaran Tanjung Pakis, Karawang setelah kurang lebih 11 menit mengudara.

Ada apa?

Mulanya, kesalahan pilot dianggap sebagai penyebab utama tragedi itu. Apalagi mengingat cuaca di Senin, 29 Oktober 2018 itu cerah. Pesawat Boeng 737-8 (MAX) yang mengangkut seluruh penumpang dan awak kapal pun tergolong muda. Baru 5 bulan beroprasi.

Film ini dibuka dengan wawancara tim produksi film dengan Garima Sethi, istri dari Bhavye Suneja, pilot pesawat naas tersebut. Saat media berspekulasi jika kemungkinann kecelakaan besar itu disebabkan kelalaian pilot, jelas Garmia tidak menerimanya.

Gerima Sethi memberikan keterangan | Sumber Gambar: tangkap layar trailer di Youtube Netflix
Gerima Sethi memberikan keterangan | Sumber Gambar: tangkap layar trailer di Youtube Netflix

"Suamiku adalah pilot yang berpengalaman dan selalu mengutamakan keselamatan."

Saat Flight Data Recorder (FDR) ditemukan pada 1 November 2018, dan Cockpit Voice Recorder (CVR) ditemukan pada 14 Januari 2019. Hampir setahun berselang, tepatnya di tanggal 25 Oktober 2019, KNKT merilis temuan mereka mengenai delapan kemungkinan penyebab terjadinya kecelakaan. Salah satunya respon pilot terhadap MCAS, sistem baru di pesawat Boeing 737-8 (MAX).

SISTEM BARU YANG TAK PERNAH DIINFORMASIKAN 

Untuk dapat bersaing dengan perusahaan Airbus, Boeing (niatnya) menyempurnakan seri 737 dengan efisiensi bahan bakar yang lebih bagus. Secara sederhana, mesin pesawat dibuat lebih besar dan posisinya dibuat lebih tinggi dari tipe Boeing 737 lainnya. Seri baru yang disebut MAX inilah yang dipakai oleh Lion Air JT610.

Nah, dengan posisi mesin yang baru ini, diciptakanlah sistem MCAS ini di mana, jika posisi pesawat terlalu condong ke belakang, maka secara otomatis sensor MCAS ini akan membuat hidung pesawat turun sendiri. Nah, sistem MCAS di JT610 mengalami kerusakan sehingga menimbulkan "alarm palsu" yang mengindikasikan bahaya jika posisi ekor terlalu ke bawah sehingga secara otomatis MCAS akan "mengambil alih" pesawat dan membuat hidung pilot menuju ke arah bawah.

Poster film Downfall: The Case Against Boeing | Sumber Gambar IMDB
Poster film Downfall: The Case Against Boeing | Sumber Gambar IMDB

Inilah yang dialami oleh Lion Air JT610 di mana dari olahan kotak hitam terlihat pilot berusaha terus menaikkan hidung pesawat yang sebentar-sebentar mengarah ke bawah.

Yang mengerikan lagi, Boeing memutuskan untuk tidak menginformasikan sistem baru ini dengan alasan, "agar pilot tidak terlalu banyak dijejali informasi yang tidak penting."

Padahal, jauh sebelum ini perusahaan Lion Air bahkan mempertanyakan, "bukankah sebaiknya pilot diberikan pelatihan khusus dengan ditambahkannya sistem baru ini?"

Boeing berusaha untuk mengkambing hitamkan pilot | Sumber Gambar: tangkap layar trailer di Youtube Netflix
Boeing berusaha untuk mengkambing hitamkan pilot | Sumber Gambar: tangkap layar trailer di Youtube Netflix

Menanggapi surat dari Lion Air itu, yang ada pihak Boeing malah mencemooh dan menganggap pilot-pilot (Lion Air) bodoh. Sebab saat kemudian  permasalahan seputar MCAS ini mencuat, pihak Boeing beranggapan, "kecelakaan itu tidak akan terjadi jika pilot Amerika yang membawa pesawat."

Namun, asosiasi atau persatuan pilot kemudian mendesak. Pihak Boeing kemudian mengeluarkan panduan apa yang harus dilakukan pilot jika menemukan kerusakan sistem MCAS. Sayangnya, panduan itu pun ternyata membawa petaka.

KECELAKAAN KEDUA TERJADI

Berselang 5 bulan dari kecelakaan JT610, musibah serupa dialami pesawat Ethiopian Airlines dengan nomor penerbangan ET302 yang melayani rute dari Addis Ababa, Ethiopia menuju Nairobi, Kenya. Kecelakaan ini menewaskan 157 penumpang di mana 8 diantaranya adalah awak kapal.

Tak jauh berbeda dengan Lion Air JT610, pesawat Ethiopia ini pun jatuh tak lama setelah lepas landas. Bahkan, pesawat ini jatuh setelah 6 menit terbang dan satu kesamaan antara kedua tragedi ini yakni pesawat yang dipakai adalah Boeing 737 MAX 8.

Jelas hal ini menggemparkan. Para pengamat dunia penerbangan mengatakan jika kejadian ini sungguh di luar nalar. Cuaca bagus, pesawat baru, pilot andal. Apalagi yang kurang?

Korban ET 302 | Sumber Gambar: tangkap layar trailer di Youtube Netflix
Korban ET 302 | Sumber Gambar: tangkap layar trailer di Youtube Netflix

"Sudah sepatutnya di zaman modern seperti sekarang, kecelakaan beruntun dalam waktu berdekatan tidak terjadi," ujar salah satu tokoh yang diwawancari.

Dan setelah melakukan penyelidikan, diketahui penyebabnya sama yakni kerusakan pada MCAS. Bedanya, jika yang menimpa Lion Air adalah pilot tidak mengetahui bagaimana cara menghadapi situasi saat MCAS rusak, di kejadian Ethiopia Airlines, pilot sudah dilengkapi pengetahuan bagaimana caranya untuk mengatasi MCAS yang eror.

Penyelidikan pun didapat jika pilot Ethiopian Airlines sudah melakukan petunjuk demi petunjuk yang sudah diinformasikan. Namun, kenapa kecelakaan masih saja terjadi?

10 DETIK YANG MENENTUKAN

Dari tayangan film ini pun digambarkan, bahwa jika alarm berbunyi, pilot hanya punya waktu 10 detik untuk melakukan prosedur penyelamatan. Jika lewat dari sana, maka fatal akibatnya. Nah, pesawat Ethiopian Airlines seharusnya tidak perlu jatuh sebab diketahui pilot sudah melakukan prosedur dengan benar.

Jika kemudian tragedi itu tetap terjadi, jelas pihak Boeinglah yang semestinya sadar diri bahwa kesalahan ada pada mereka.

Sutradara Rory Kennedy membawa kita sejenak kembali ke belakang dengan menyoroti bagaimana awalnya perusahaan Boeing berdiri dan meraih kejayaan seperti sekarang. Termasuk, di tahun 1997 saat Boeing memutuskan untuk merger dengan McDonnell Douglas.

Pesawat Boeing 737 MAX | Sumber Gambar: tangkap layar trailer di Youtube Netflix
Pesawat Boeing 737 MAX | Sumber Gambar: tangkap layar trailer di Youtube Netflix

Sayangnya, sejak itu Boeing mulai kehilangan orientasi menciptakan produk dengan tingkat keselamatan tinggi. Banyak hal dipangkas untuk menekan biaya. Misalnya saja menghilangkan pengawasan di bagian tertentu yang semulanya dari 15 orang menjadi 1 orang saja.

Atau, dalam perakitan pesawat, demi memenuhi target permintaan, kadang ditemukan bagian-bagian kecil yang tidak ikut dirakit ke pesawat itu. Narasi-narasi ini disampaikan langsung oleh orang-orang yang pernah bekerja untuk Boeing.

Tujuan utama Boeing memang sudah beralih ke Wall Street. Intinya perusahaan ini menjadi serakah, ingin mengeruk keuntungan besar namun dengan cara mengenyampingkan faktor-faktor penting keselamatan.


Dalam kasus Boeing MAX misalnya, semua pilot seharusnya diberikan pelatihan untuk menjalankan sistem MCAS yang baru itu. Namun, biaya training pilot sangat besar. Dan, mereka sengaja tidak memberikan pelatihan (bahkan pada awalnya tidak menginformasikan sama sekali keberadaan sistem baru itu) dengan alasan efisiensi.

Akibatnya, 346 orang harus tewas dalam tragedi dua kecelekaan besar yang sayangnya salah satunya terjadi di Indonesia.

Downfall: The Case Against Boeing dapat disaksikan di Netflix dan akan lebih banyak lagi fakta mengejutkan seputar kejadian ini. Termasuk, apa yang terjadi dengan CEO Boeing Dennis Muilenburg, yang walaupun sudah bertanggung jawab dengan apa yang terjadi namun menurut saya tetap aja dia masih "menang banyak".

Sepanjang nonton perasaan saya berkecamuk. Saya yang nggak ada hubungan dengan salah satu korban saja ikut merasakan kesediha yang luar biasa. Nggak kebayang dengan para keluarga korban saat menyaksikan film berdurasi 1,5 jam ini. Walau banyak sekali istilah teknis yang disampaikan, namun sebagai orang awam saya cukup mengerti dengan apa yang disampaikan.

Terakhir, semoga kecelakaan serupa dan kepongahan perusahaan raksasa semacam Boeing tak pernah terulang kembali. 

Skor 9/10

Penulis bagian dari KOMPAL
Penulis bagian dari KOMPAL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun