Baru di proses penerbitan 2 buku solo saya Jungkir Balik Dunia Bankir (2017) dan Modal Ngeblog Bisa Sampai Yurop (2020), saya baru ngeh jika karya saya ini wajib "disetorkan" ke Perpustakaan Nasional saat melihat isi kontraknya. Namun, saya tidak ambil pusing sebab kedua buku saya tersebut diterbitkan oleh penerbit mayor --Laksana (Diva Group), dengan sistem royalti.
Jadi, ibaratnya sih, saya nggak perlu repot (baca: nggak ada ruginya juga). Toh yang nantinya akan mengirimkan bukti serah simpan karya cetak itu adalah pihak penerbit. Dan, saya sebagai penulis hanya butuh fokus ke pemasaran dan memikirkan karya lain yang akan dihasilkan.
Nah, baru saat proses penerbitan buku ketiga saya --Yatra & Madhyaantar (2021), yang diterbitkan secara indie lewat Penerbit Ellunar, dari 5 buku yang saya biayai di proses awal, 2 eksemplar harus diserahan ke Perpustakaan Nasional sebagai syarat mendapatkan ISBN (International Standar Book Number), dan tentu saja sebagai pemenuhan syarat dari UU No.13 Tahun 2018 yang sebelumnya saya singgung.
Bagi yang belum familiar apa beda penerbit mayor dan indie, dapat saya jelaskan secara singkat jika penerbit mayor itu artinya sebagai penulis saya hanya perlu menyerahkan naskah untuk kemudian dinilai oleh tim penerbit apakah laik atau tidak untuk diterbitkan.
Perolehan penghasilannya akan dipilih dalam 2 cara yakni sistem beli putus (dibayarkan secara penuh di awal seharga tertentu) atau royalti (bagi hasil selama buku tersebut terjual).
Untuk penerbitan secara indie/independen beda lagi. Semua ongkos produksi harus ditanggung secara mandiri oleh penulis yang bersangkutan. Walaupun ada tim yang akan melakukan penyuntingan, pembuatan sampul buku, pendaftaran ISBN dsb, semua itu ada ongkosnya dan dibayarkan langsung oleh penulis di awal.
Baik menerbitkan buku lewat penerbit mayor atau indie semua ada plus dan minusnya. Dan, saya termasuk beruntung sudah merasakan dua proses penerbitan tersebut sehingga saya mendapatkan gambaran utuh dan membandingkan langsung satu sama lain.
Oke, kembali lagi soal penyerahan bukti cetak ke Perpustakaan Nasional. Di sisi penulis, ya udahlah ya, memang sudah ketentuannya seperti itu. Ada pula undang-undangnya. Jadi, sebagai penulis saya manut saja.
Lalu kemudian, apa jadinya jika Perpustakaan Daerah pun memberlakukan syarat yang sama? Apakah penulis wajib serah simpan karya cetak ke Perpustakaan Daerah?