Marni tak tahu kapan tepatnya ia lahir. "Simbok hanya berkata aku lahir waktu zaman perang. Saat semua orang menggunakan baju goni dan ramai-ramai berburu tikus sawah untuk digoreng." Hal.15. Hidupnya sangat miskin. Untuk makan saja susah.
Makanya, saat sepupunya --Tinah, memakai sesuatu di dadanya sehingga payudaranya tidak nglawer-nglawer, muncul rasa iri di diri marni. Dia ingin juga memiliki entrok/kutang, sama seperti yang Tinah punya.
"Mbok, aku mau punya entrok."
"Entrok itu apa, Nduk?"
"Itu lho, Mbok, kain buat nutup susuku, biar kenceng. Seperti punya Tinah." Hal.17.
Mendengar itu Simbok hanya tertawa. Sebagai buruh pengupas singkong di pasar yang hanya diupah singkong juga, bukan uang. Jelas permintaan Marni itu dianggap berlebihan. Dan ya, ibaratnya bekerja sehari hanya untuk mengupayakan makan hari itu juga. Jika pun Simbok punya rezeki lebih, jelas membeli kutang atau entrok bukanlah prioritasnya.
Tak habis akal, Marni kemudian menemui Nyai Dimah, juragan singkong. Dia mulai bekerja mengupas singkong sama seperti Simbok. Harapannya, Marni akan mendapatkan upah uang yang dapat ia tabung untung membeli entrok. Sayangnya, Nyai Dimah tidak mau.
Marni mencari jalan lain. Saat berkenalan dengan seorang kuli pasar bernama Teja, Marni kepikiran untuk bekerja sebagai kuli juga sebab kuli pasar diupah dengan uang. Simbok awalnya keberatan dengan ide itu.
"Nduk, semua itu sudah ada jatahnya. Orang kayak kita bagiannya ngoncek telo. Nguli itu berat. Sudah jatah orang lain." Hal.34. Tak hanya Simbok, Teja pun berpendapat yang sama. "Ni, kamu ada-ada saja. Nggak ada perempuan nguli. Nggak akan kuat. Sudah, perempuan itu kerja yang ringan-ringan aja."
Namun Marni kemudian mampu menjawab keraguan dari Simbok dan Teja. Klien pertamanya adalah Nyai Wedana, seorang priyayi yang butuh jasa Marni untuk mengambil barang-barang belanjaan di los pedagang.
"Mungkin karena kasihan, melihat ada perempuan nguli. Rasa kasihan juga sering kuterima dari pengunjung pasar lainnya." Hal.39.
Uang yang ia terima disimpan ke sebuah bumbung. Setelah beberapa waktu, diambilnya beberapa keping untuk dibelikan entrok. Betapa bahagianya Marni saat benda impian itu akhirnya berhasil ia miliki.
"Begitu sampai di rumah, segera kulepas bajuku. Kupasang entrok pada dua gunungku. Rasanya pas dan kencang. Aku meloncat dan berlarian. Dadaku seperti terikat kencang, tidak nglawer-nglawer lagi."Hal.40.
Rupanya, tabungannya masih tersisa banyak walau sudah dibelanjakan entrok. Marni kemudian kepikiran untuk berjualan juga, menjadi tengkulak. Dengan modal yang ada, ia belanjakan berbagai macam kebutuhan harian warga. Ia menjajakan dagangannya mengelilingi kampung, bukan di pasar.
Berkat kerja kerasnya dan doa yang ia berikan kepada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa usaha Marni kian maju. Ya, sebagaimana Simbok, Marni meyakini leluhur sebagai Sang Pencipta. Untuk berdoa, biasanya di tengah malam Marni akan menyediakan sesajen dan meletakkannya seraya berdoa di pohon besar yang ada di perkarangannya.
Hidup terus berlanjut. Teja, pria yang kemudian berjodoh dengannya pun memilih pensiun dini menjadi kuli. Kini, Teja fokus membantu Marni menjalankan usahanya.
Marni yang miskin perlahan dikenal sebagai orang berada. Dari menjual barang secara tunai, Marni kemudian memberikan keringan warga untuk membeli dengan cara mencicil. Panci, kuali, pakaian atau apa saja bisa dibeli dengan cara mencicil.
Hidup Marni kembali berubah saat salah seorang tetangganya minta bantuan meminjam uang. Awalnya Marni menolak sebab dia hanya menjual barang. "Sama saja toh, anggap saja saya membeli panci dari kamu. Saya bayar cicil dengan bunga," ujar tetangga itu.
Rupanya hal itu tersiar dari mulut ke mulut. Marni yang mulanya menjual barang kini hanya fokus meminjamkan uang. Dia beralih profesi dengan menjadi rentenir. Dia semakin kaya. Rumahnya gedongan. Ketika di kampungnya baru pejabat desa yang mampu membeli TV, dia juga bisa mengimbangi.
Sayangnya, seiring dengan kesuksesan secara ekonomi, cobaan demi cobaan terus menghadang. Tentara menagih uang keamanan tiap 2 minggu. Tiap kali ada kegiatan kampung terlebih acara partai, dia dipaksa untuk menyumbang dalam jumlah tertentu.
Dia tercekik, tiap kali protes, Teja yang ambil alih dengan meminta maaf kepada para pejabat desa dan petinggi tentara dan Teja pula yang memaksa Marni mengeluarkan uang seperti yang mereka minta. Di sisi lain, Teja pun mulai berulah. Dia memelihara gundik, suka mabuk dan mulai jarang menemani ia ke pasar.
Namun, di antara kesemuanya, tak ada yang bikin ia lebih sedih selain saat Rahayu, anak semata wayangnya mulai membencinya. Rahayu malu tiap kali guru agamanya menyindir di kelas kalau ibunya seorang lintah darat yang memeras warga (ironisnya si guru agama sendiri memaksa meminjam uang dan tak mau membayar).
Selain jadi rentenir, Marni juga diisukan memelihara tuyul dan kekayaannya didapatkan dengan cara mengorbankan tumbal. Terlebih salah satu tetangganya tewas kecelakaan saat membawa mobil Marni yang digunakan untuk arak-arak kampanye.
Bukan sekali-dua-kali Rahayu meminta ibunya untuk berhenti menyembah pohon.
"Aku berdoa lima kali sehari. Itu cara yang benar, bukan dengan cara yang dosa."
"Aku nyuwun pada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa sejak lahir. Aku tidak mengganggu orang lain. Dosa apa yang kulakukan?"
"Yang kuasa itu Gusti Allah, Bu. Bukan Mbah Ibu Bumi," ujar Rahayu. Hal.59.
Saat kemudian Rahayu memutuskan untuk berkuliah di Yogyakarta, hubungan antar orang tua ini nyaris putus. Rahayu benar-benar menghilang dari hidup ibunya. Bahkan, ketika keduanya menghadapi berbagai macam masalah masing-masing, tidak ada yang saling tahu dan dapat menguatkan.
ANIMISME DAN POLITIK
Setelah sebelumnya Okky mengangkat tentang Ahmadiyah di novel Maryam, di Entrok, Okky masih setia mengangkat hal-hal yang masih dianggap tabu oleh kebanyakan orang di Indonesia dan kali ini dia mengupas tentang animisme yakni orang-orang yang meletakkan kepercayaan kepada makhluk halus dan menganggap setiap benda di Bumi (gua, pohon, batu besar, dsb) mesti dihormati agar roh tersebut tidak mengganggu manusia.
Di Indonesia sendiri hal ini pernah belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Namun, setidaknya pemerintah udah berusha mengupayakan bagi WNI Pemeluk Aliran Kepercayaan dapat mengisi kolom agama di KTP sebagaimana mestinya.
Ditulis dengan alur maju mundur dan mengangkat kehidupan Marni dan Rahayu dari tahun 1950 hingga 1994 ini juga menyenggol banyak tentang keadaan politik zaman itu. Terutama zaman orde baru di mana partai kuning begitu berkuasa dan menekan banyak pihak agar mau memilih saat pemilu. Dan, orang-orang seperti Marni ini lebih banyak lagi tekanan yang diterima.
Jujur, saat baca Entrok saya begitu emosional dan membenci para aparat yang berlaku semena-mena. Menekan berbagai pihak demi kepentingan pribadi walaupun di sisi lain usaha yang dijalankan Marni sebagai lintah darat juga nggak sepenuhnya benar.
Isu soal PKI dan upaya "pembersihan" juga diangkat di novel setebal 281 halaman ini. Lewat tokoh bos toko elektronik yang diam-diam memberi donasi kegiatan ibadah di kelenteng di mana, saat itu beribadah di kelenteng masih dilarang.
Entrok sebuah novel yang bagus. Saya cocok dengan gaya kepenulisan Okky Madasari yang sederhana dan nggak njlimet sehingga mudah diikuti dan disimak dari awal hingga akhir.
Skor 8,7/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H