Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sekelumit Janji di Tengah Keindahan Danau Toba

25 September 2021   17:00 Diperbarui: 25 September 2021   17:04 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keindahan Bukit Sibea-bea. Foto dari instagram FolkIndonesia

Kaldera Toba tertutup batuan beku yang kemudian cair dan membentuk danau. Nggak kebayang ya sedahsyat apa saat itu ledakan yang terjadi 75 ribu tahun lalu itu. Diyakini, 2800 km3 materi vulkanik dimuntahkan. Sampai-sampai, 60% populasi manusia di bumi menyusut diikuti terganggunya rantai makanan saat itu.

Tak heran jika danau sepanjang 100 km dan lebar 30 km ini menjadi danau vulkanik terbesar di dunia. Tahu gedung Taipei 101 yang terkenal itu? Dengan tinggi 508 meter, kita dapat membayangkan betapa dalamnya Danau Toba dengan melihat gedung itu sebab Danau Toba diyakini memiliki kedalaman hingga 505 meter.

Butet Merindukan Amang Kembali ke Huta 

Salah satu tante saya menikah dengan orang Batak dari suku Rambe. Anak tertua mereka --sepupu saya, dipanggil dengan sebutan "Butet" yang berarti "Anak Perempuan" dalam bahasa Batak. Dulu, saya sering mendengar om saya menyanyikan lagu Butet untuknya.

Butet, di pangungsian do amangmu ale butet // Butet, di pengungsiannya ayahmu, oh butet

Da margurilla da mardarurat ale butet // Mengikuti perang gerilya, oh butet

Sempat mengira itu lagu gembira, setelah resapi, rupanya itu lagu sedih. Tentang kerinduan amang/ayah terhadap anak perempuannya saat harus pergi ke medan perang. Dari lagu Butet ini, secara tidak langsung menjelaskan khasanah kehidupan bermasyarakat yang ada di sana. Setidaknya, ada 7 kelompok etnis di sekitaran Danau Toba. Yakni Simalungun, Karo, Toba, Pak-pak, Dairi, Angkola dan Mandailing.

Air terjun Sipiso-piso di Desa Tongging yang
Air terjun Sipiso-piso di Desa Tongging yang "menempel" dengan Danau Toba. Sumber gambar haloindonesia.co.id

Sebagian masyarakat Batak masih menjadi penghayat sistem religius Batak Asli yakni "Ugamo Malim" atau "Parmalim" yang lebih dulu dianut masyarakat Batak jauh sebelum masuknya agama Islam, Katolik atau Protestan. Dengan fakta ini, tentu saja menjadikan keberagaman masyarakat di Danau Toba semakin membentuk ke-Bhinneka Tunggal Ika, bukan?

Masyarakat ini mendiami huta atau kampung/desa yang bersisian dengan bentangan Danau Toba. Huta tak sebatas tempat tinggal, namun ini adalah tempat masyarakat mempertahankan dan mengembangkan Heritage of Toba, yakni budaya leluhur dari generasi ke generasi. Sebagian dari desa itu berubah wujud menjadi desa wisata. Seperti Desa Tongging, Desa Tomok dan Desa Jangga Dolok.


Jika ingin melihat rumah tradisional khas Batak, paling tepat berkunjung ke Desa Jangga Dolok sebab perkampungan berusia lebih dari 250 ini memiliki rumah panggung asli adat Batak yang masih berdiri kokoh di mana mayoritas terbuat dari kayu poki yang "dirangkai" tanpa paku serta atapnya terbuat dari ijuk. Yang bikin istimewa lagi ialah keberadaan gorga/ukiran khas batak yang coraknya mengandung makna tertentu.

Salah satu gorga atau ragam hias yang memiliki makna khusus. Sumber gambar medanbisnisdaily.com
Salah satu gorga atau ragam hias yang memiliki makna khusus. Sumber gambar medanbisnisdaily.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun