"Nanti kapan-kapan ibu ajak ke Danau Toba."
Katakanlah itu sebuah janji. Walau, jika diresapi lagi, kalimat itu tak lebih dari upaya ibu untuk menenangkan saya yang merengek minta diajak ke Medan, sekian puluh tahun yang lalu. Saat itu, ibu dan ayah harus ke Medan untuk keperluan pekerjaan. Dan, karena memang tidak dalam rangka berlibur, jadilah saya ditinggal sebab harus tetap bersekolah.
Saya hanya dapat menatap sirik kepada dua adik yang diajak ikut. Ingin rasanya membolos. Sayangnya, orang tua termasuk ketat dalam soal pendidikan. Sebab itu, demi mengurangi deretan kata protes yang keluar dari mulut, ibu berkata, suatu saat nanti giliran saya yang akan diajak ke Danau Toba. "Janji" yang hingga sekarang belum juga terlaksana....
Janji Toba Kepada Istrinya
Dalam sebuah kisah legenda, Danau Toba pun terbentuk dari sebuah janji yang tak dapat ditepati. Janji terhadap istrinya yang merupakan jelmaan ikan emas.Â
"Kau bisa menikahiku, tapi kau harus berjanji jangan pernah mengumbar asal usulku," begitu mungkin janji yang dimintakan istri terhadap Toba, jauh sebelum mereka menikah.
Toba mengiyakan. Wanita cantik itu berhasil ia jadikan istri. Tak lama, lahir pula seorang putra yang mereka beri nama Samosir.
Sayangnya, dikarenakan bekal makanan berkurang, Toba marah terhadap putranya dan ia melanggar janji itu. Sang anak tersedu-sedu mengadu kepada sang ibu demi mencari tahu apakah benar ibunya adalah seekor ikan sebagaimana yang dikatakan ayahnya. Seketika, air bah membanjiri lembah yang kian lama semakin banyak sehingga terbentuk Danau Toba yang kita kenal sekarang ini. Ironis, dalam legenda, keindahan Toba rupanya terbentuk dari sebuah kisah tragis sebuah janji.
Namanya saja sebuah legenda, itu kisah turun temurun yang diceritakan oleh orang lama kepada kita, generasi setelahnya. Faktanya, Danau Toba terbentuk oleh sebuah ledakan yang sangat dahsyat. Dalam buku The Geology of Indonesia (1939), sang penulis --Van Bemmelen, seorang geolog asal Belanda mengungkapkan proses vulkanik dan tektonik pada letusan Gunung Api Purba Toba-lah yang menyebabkan amblesnya bagian tengah gunung sehingga membentuk cekungan memanjang ke arah barat laut hingga tenggara.
Kaldera Toba tertutup batuan beku yang kemudian cair dan membentuk danau. Nggak kebayang ya sedahsyat apa saat itu ledakan yang terjadi 75 ribu tahun lalu itu. Diyakini, 2800 km3 materi vulkanik dimuntahkan. Sampai-sampai, 60% populasi manusia di bumi menyusut diikuti terganggunya rantai makanan saat itu.
Tak heran jika danau sepanjang 100 km dan lebar 30 km ini menjadi danau vulkanik terbesar di dunia. Tahu gedung Taipei 101 yang terkenal itu? Dengan tinggi 508 meter, kita dapat membayangkan betapa dalamnya Danau Toba dengan melihat gedung itu sebab Danau Toba diyakini memiliki kedalaman hingga 505 meter.
Butet Merindukan Amang Kembali ke HutaÂ
Salah satu tante saya menikah dengan orang Batak dari suku Rambe. Anak tertua mereka --sepupu saya, dipanggil dengan sebutan "Butet" yang berarti "Anak Perempuan" dalam bahasa Batak. Dulu, saya sering mendengar om saya menyanyikan lagu Butet untuknya.
Butet, di pangungsian do amangmu ale butet // Butet, di pengungsiannya ayahmu, oh butet
Da margurilla da mardarurat ale butet // Mengikuti perang gerilya, oh butet
Sempat mengira itu lagu gembira, setelah resapi, rupanya itu lagu sedih. Tentang kerinduan amang/ayah terhadap anak perempuannya saat harus pergi ke medan perang. Dari lagu Butet ini, secara tidak langsung menjelaskan khasanah kehidupan bermasyarakat yang ada di sana. Setidaknya, ada 7 kelompok etnis di sekitaran Danau Toba. Yakni Simalungun, Karo, Toba, Pak-pak, Dairi, Angkola dan Mandailing.
Sebagian masyarakat Batak masih menjadi penghayat sistem religius Batak Asli yakni "Ugamo Malim" atau "Parmalim" yang lebih dulu dianut masyarakat Batak jauh sebelum masuknya agama Islam, Katolik atau Protestan. Dengan fakta ini, tentu saja menjadikan keberagaman masyarakat di Danau Toba semakin membentuk ke-Bhinneka Tunggal Ika, bukan?
Masyarakat ini mendiami huta atau kampung/desa yang bersisian dengan bentangan Danau Toba. Huta tak sebatas tempat tinggal, namun ini adalah tempat masyarakat mempertahankan dan mengembangkan Heritage of Toba, yakni budaya leluhur dari generasi ke generasi. Sebagian dari desa itu berubah wujud menjadi desa wisata. Seperti Desa Tongging, Desa Tomok dan Desa Jangga Dolok.
Jika ingin melihat rumah tradisional khas Batak, paling tepat berkunjung ke Desa Jangga Dolok sebab perkampungan berusia lebih dari 250 ini memiliki rumah panggung asli adat Batak yang masih berdiri kokoh di mana mayoritas terbuat dari kayu poki yang "dirangkai" tanpa paku serta atapnya terbuat dari ijuk. Yang bikin istimewa lagi ialah keberadaan gorga/ukiran khas batak yang coraknya mengandung makna tertentu.
Desa kedua yakni Desa Tongging terletak di Kecamatan Merek dan memiliki topografi alam berupa lereng terjal dengan relief bergunung. Dengan keadaan ini, tak heran pemandangan Danau Toba dari desa ini terlihat menawan. Ini sesuai dengan asal usul nama desanya yang diambil dari kata "Tonggi" yang berarti "Manis".
Baru-baru ini saya menemukan sebuah foto di instagram yang memperlihatkan keindahan Bukit Sibea-bea yang ternyata terletak di Harian Boho, Kabupaten Samosir. Ini adalah kawasan bukit yang menggabungkan panorama alam namun ditata modern dengan hadirnya jalan aspal yang meliuk sehingga terlihat semakin menarik. Keindahan yang membuat siapa saya orang melihatnya melongo dan bergumam betapa cantiknya negeri ini: Wonderful Indonesia.
Daya tarik utama bukit yang terletak 1.021 meter di atas permukaan laut ini ialah cikal bakal keberadaan patung Yesus di puncaknya. Rencananya, patung itu akan memiliki tinggi 61 meter sehingga kelak akan menjadikannya sebagai patung Yesus tertinggi yang ada di dunia.
Masih di kabupaten yang sama yakni Samosir, terdapat juga Desa Tomok yang terkenal dengan pertunjukan Sigale-gale yang konon bermuatan mistis. Sigale-gale sendiri adalah nama sebuah patung kayu yang digunakan dalam pertunjukan tari saat ritual penguburan mayat suku Batak di Pulau Samosir. Kini, pertunjukan patung menari dengan iringan musik dan tarian Tor-tor oleh mereka yang memakai kain Ulos ini menjadi salah satu daya tarik wisatawan yang berkunjung ke Samosir.
Masih di Pulau Samosir, ada juga makam kuno dan beberapa artefak megalitik, misalnya saja Kompleks Makam Raja Sidabutar di mana Raja Sidabutar --diyakini sebagai orang pertama di Pulau Samosir, dimakamkan di sana.
Janji Kita dan Pengakuan Dunia Atas TobaÂ
Keagungan Danau Toba tak hanya sebagai tempat wisata namun juga sebagai sumber kehidupan terutama masyarakat sekitar sudah lama diakui oleh dunia. Jauh sebelum Danau Toba ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark pada tahun 2019 lalu, saya sudah mendapati pengakuan itu lewat Jackum Brown dan David Brown yang dikenal sebagai pembuat buku seri "501 Must Visit" di mana di salah satu edisi bukunya yakni "501 Must Visit Destinations" mereka memasukkan Danau Toba sebagai salah satu tempat yang wajib dikunjungi dari sederet tempat wisata di seluruh dunia.
Bersama Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo dan Likupang, kini Danau Toba juga sudah ditetapkan sebagai Destinasi Wisata Super Prioritas/Destination Super Priority atau DSP Toba yang diinstruksikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo.Â
Tentu, selain untuk menarik minat wisatawan lebih besar, diharapkan dengan dicanangkannya hal itu, dapat meningkatkan ekosistem ekonomi kreatif yang melibatkan warga setempat.
Berbagai fasilitas telah tersedia di Danau Toba. Fasilitas wisata sambil berolahraga sepeda, kano, kayak atau trekking dan hiking mudah ditemukan. Hotel berbagai kelas dan deretan rumah makan yang menghidangkan kuliner khas seperti ikan arsik atau makanan dengan andaliman (bumbu khas makanan Batak) juga banyak.Â
Bahkan, fasilitas ini sudah sering digunakan untuk keperluan MICE (Meetings, Incentives, Conferences & Exhibitions) sehingga seharusnya perhetalan dunia dapat memanfaatkan fasilitas MICE di Indonesia Aja.
Di sekitaran Danau Toba banyak kekayaan flora dan fauna. Sebagai hutan tropis beriklim sejuk, hutan di sekitaran Danau Toba kaya akan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat atau kuliner.
 Tumbuhan langka seperti Edelweis (Anaphalis javanica), Kantung Semar (Nepenthes) atau Angrek putih masih mudah ditemukan. Binatang endemis seperti Harimau Sumatra juga masih ada walaupun butuh janji dan komitmen kita semua untuk menjaga kelestarian mereka agar apa yang tersaji oleh semesta tak luruh dan hanya menjadi cerita di kemudian hari.
* * *
Ada banyak cara untuk terus menggaungkan keberadaan Danau Toba. Kemudahan penyebaran informasi berlandaskan teknologi tentu dapat dimaksimalkan. Namun, rasanya tidak ada cerita yang lebih mengena selain cerita perjalanan yang dilakukan sendiri, langsung ke sana.
Bak menunaikan sebuah janji yang dilontarkan sejak lama, saya menunggu kesempatan untuk memaksimalkan panca indra terhadap Danau Toba. Ingin melihat keindahannya secara langsung lewat kedua bola mata. Menyecap nikmatnya kuliner khas Toba sambil mendengar suara gemercik airnya, membaui aroma kehidupan yang terus berjalan dan menyentuh setiap ruh yang berkelindan dan berpusat di sana.
Seraya membatin, "...biar ibu. Ini kesempatan saya mewujudkan sendiri janji itu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H