"Hilal telah nampak, bu!"
Teriak Pak Manto membahana ke seisi rumah. Bu Ijah, istrinya mendengar itu dengan debar hebat. "Mati aku," batinnya. Tatapannya nanar menatap baskom-baskom adonan kue yang berserakan di dapur. Beberapa tetangganya, Nyak Mumun, Leha dan Entik melihat Bu Ijah dengan tatapan sama gusarnya. Ada apakah gerangan?
Beberapa waktu sebelumnya....
"Hayo yang mau pesan kue sama saya bisa, loh!" tawar Bu Hajah Ijah saat melayani pembeli di warung sembakonya. Pak Manto yang berada tak jauh dari sana menyimak. Dalam hati ia khawatir, namun ia hanya diam dan menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakannya.
"Mau apa aja saya bisa bikin, Kom. Mau bolu bisa. Kue lapis biasa atau lapis nanas juga hayo. Cuma yang laris sih black forrest ya. Karena banyak cokelatnya anak-anak pasti doyan, deh."
"Berapaan harganya, bu?"
Bu Ijah lantas menyebutkan harganya. Untuk ukuran penduduk Kampung Naga Pesolek, sih harganya tergolong lumayan. Beberapa pembeli lain bahkan rela patungan beli kue ini. Nah ide yang menarik, juga, ya! Jadi, dengan dana terbatas, mereka bisa mendapatkan setidaknya lebih dari satu jenis kue.
Di hari-hari setelahnya, pesanan kue ternyata cukup banyak. "Alhamdulillah, lumayan juga ini yang pesen kue, Pak," celoteh Bu Ijah ke suaminya yang asyik mainin burung. Ya, Pak Manto memiliki banyak burung yang senantiasa berkicau setiap pagi.
"Apa bisa kegawean kalau pesanannya sebanyak itu, bu?" tanya Pak Manto khawatir. "Aha, ini dia saat yang tepat untuk mengutarakan kekhawatiran itu," batinnya.
"Tenang aja Pak. Nanti saya ajak Nyak Mumun. Dia kan jago banget bikin kue. Biasanya Nyak Mumun akan ngajak beberapa anak buah, cincailah itu, Pak."