Sebagai tukang jalan-jalan, saya pribadi nggak pernah melakukannya di saat libur lebaran. Selain karena ini momen yang saya tunggu setiap tahunnya, perjalanan di saat Ramadan biasanya lebih banyak menguras budget ketimbang di hari-hari lain. Untungnya, dengan pekerjaan seperti sekarang, waktu yang saya punya relatif bebas.
Nah, bagi beberapa teman yang kerja kantoran dengan cuti terbatas, cuti bersama hari raya Idul Fitri biasanya mereka manfaatkan untuk berlibur. Tentu ada plus-minusnya. Tapi, karena saya nggak tahu keadaan masing-masing keluarga mereka, jadi ya silakan saja. Kasarnya nih ya, nggak perlu dijulidin. Toh, dengan liburan saat lebaran, saya ikutan kecipratan cerita mereka saat merayakan lebaran di tempat yang jauh.
Pengalaman mereka tentu saja seru. Dari yang mesti cari masjid buat salat Ied, sampai sengaja mampir ke KBRI demi mendapatkan kudapan khas lebaran. Begitu pulang pun mereka siap bekerja lagi dengan baik karena sudah melakukan recharges saat berlibur.
Nasib Pekerja Perantauan
Kalau bicarakan para pekerja di perantauan, beda lagi ceritanya tentu. Beda dengan mereka yang sengaja nggak pulang ke rumah, atau meninggalkan rumah sementara waktu demi liburan, maka bagi pekerja perantauan, momen lebaran adalah saat yang mereka tunggu untuk kembali berkumpul di rumah.
Namun, keadaan memaksa mereka untuk tetap tinggal di kota perantauan saat ini. Selain memang akses yang tertutup, pertimbangan mereka untuk tidak membahayakan keluarga di rumah adalah prioritas utama.
Nggak hanya teman, beberapa kerabat saya mengalami langsung dampak ini. Om saya sendiri, yang bekerja di Jakarta, harus rela berlebaran jauh dari keluarga karena pelarangan mudik lebaran. Banyak orang yang berkorban dalam hal ini. Namun sayang, sebagian lagi masih abai sehingga mencari celah untuk bisa mudik dan pulang ke rumah.
Prilaku curang lainnya yang bikin gemas saat ada oknum tertentu yang memperdagangkan surat keterangan negatif covid-19 agar dapat digunakan melintasi perbatasan. Padahal, nggak ada yang menjamin mereka bersih dari bahaya corona.
Mudik Daring Menjadi Satu-satunya Solusi
Beruntung kita hidup di zaman teknologi sudah menopang kehidupan kita sedemikian baiknya. Jika zaman dulu komunikasi hanya dapat dilakukan melalui telegram, surat atau hanya pesawat telepon, sekarang dengan banyaknya aplikasi video call, para perantau dapat melihat langsung keadaan keluarga tercinta melalui tayangan video.
Mudik daring seperti ini bukan berarti tanpa kendala. Jaringan lemot adalah salah satu problem utamanya. Namun, yang menurut saya lebih berat itu persiapan mental sih. Apalagi ya, bagi orang-orang yang hatinya gampang melow dan ini jadi kali pertama mereka melewati lebaran tanpa keluarga. Wah pasti menguras emosi.
Tapi ya nggak apa-apa. Luapkan saja emosi itu bahkan dengan air mata sembari terus berdoa semoga keadaan akan membaik dan nanti bisa bertemu lagi dengan keluarga secara langsung. Mudik daring seperti ini memang mengubah wajah kebiasaan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Di sisi lain, semoga juga dengan tertundanya mudik, menjadikan pengeluaran berkurang karena menurut tetangga saya yang mudik tiap tahun, "mudik itu gak cukup hanya dengan ongkos. Mesti banyak yang disiapkan. Apalagi kalau bekerja, kalau gak bawa duit nanti dianggap gagal di perantauan."
Nah, bener juga, ya! Intinya, semoga apa yang terjadi sekarang ada hikmahnya dan kita semua dapat melewati hari lebaran dengan segenap suka cita, ya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H