Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Pilunya Para Perantau di Lebaran Tahun Ini

16 Mei 2020   14:57 Diperbarui: 16 Mei 2020   21:10 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pekerja seperti ini kebanyakan berasal dari kota kecil. Mereka nggak bisa mudik. Sumber kompas.com

Sebagai tukang jalan-jalan, saya pribadi nggak pernah melakukannya di saat libur lebaran. Selain karena ini momen yang saya tunggu setiap tahunnya, perjalanan di saat Ramadan biasanya lebih banyak menguras budget ketimbang di hari-hari lain. Untungnya, dengan pekerjaan seperti sekarang, waktu yang saya punya relatif bebas.

Nah, bagi beberapa teman yang kerja kantoran dengan cuti terbatas, cuti bersama hari raya Idul Fitri biasanya mereka manfaatkan untuk berlibur. Tentu ada plus-minusnya. Tapi, karena saya nggak tahu keadaan masing-masing keluarga mereka, jadi ya silakan saja. Kasarnya nih ya, nggak perlu dijulidin. Toh, dengan liburan saat lebaran, saya ikutan kecipratan cerita mereka saat merayakan lebaran di tempat yang jauh.

Pengalaman mereka tentu saja seru. Dari yang mesti cari masjid buat salat Ied, sampai sengaja mampir ke KBRI demi mendapatkan kudapan khas lebaran. Begitu pulang pun mereka siap bekerja lagi dengan baik karena sudah melakukan recharges saat berlibur.

Nasib Pekerja Perantauan

Kalau bicarakan para pekerja di perantauan, beda lagi ceritanya tentu. Beda dengan mereka yang sengaja nggak pulang ke rumah, atau meninggalkan rumah sementara waktu demi liburan, maka bagi pekerja perantauan, momen lebaran adalah saat yang mereka tunggu untuk kembali berkumpul di rumah.

Namun, keadaan memaksa mereka untuk tetap tinggal di kota perantauan saat ini. Selain memang akses yang tertutup, pertimbangan mereka untuk tidak membahayakan keluarga di rumah adalah prioritas utama.

Nggak hanya teman, beberapa kerabat saya mengalami langsung dampak ini. Om saya sendiri, yang bekerja di Jakarta, harus rela berlebaran jauh dari keluarga karena pelarangan mudik lebaran. Banyak orang yang berkorban dalam hal ini. Namun sayang, sebagian lagi masih abai sehingga mencari celah untuk bisa mudik dan pulang ke rumah.

Pekerja seperti ini kebanyakan berasal dari kota kecil. Mereka nggak bisa mudik. Sumber kompas.com
Pekerja seperti ini kebanyakan berasal dari kota kecil. Mereka nggak bisa mudik. Sumber kompas.com
Namanya juga warga +62 ya! Aksinya kadang di luar nalar misalnya saja dengan bersembunyi di truk dengan bak terbuka yang hanya ditutupin terpal, atau bahkan ada yang sengaja sembunyi di truk molen. Gak kebayang ya usaha mereka saat melakukannya yang untung saja dapat digagalkan pihak kepolisian.

Prilaku curang lainnya yang bikin gemas saat ada oknum tertentu yang memperdagangkan surat keterangan negatif covid-19 agar dapat digunakan melintasi perbatasan. Padahal, nggak ada yang menjamin mereka bersih dari bahaya corona.

Mudik Daring Menjadi Satu-satunya Solusi

Beruntung kita hidup di zaman teknologi sudah menopang kehidupan kita sedemikian baiknya. Jika zaman dulu komunikasi hanya dapat dilakukan melalui telegram, surat atau hanya pesawat telepon, sekarang dengan banyaknya aplikasi video call, para perantau dapat melihat langsung keadaan keluarga tercinta melalui tayangan video.

Silaturahminya dilakukan secara online. Sumber tomsguide.com.
Silaturahminya dilakukan secara online. Sumber tomsguide.com.
Yang harus dipersiapkan juga menurut saya nggak terlalu banyak. Cukup perangkat yang dapat mengakomodir sambungan video call dan tentu saja ketersediaan jaringan internet yang "jalan" komunikasi itu sendiri.

Mudik daring seperti ini bukan berarti tanpa kendala. Jaringan lemot adalah salah satu problem utamanya. Namun, yang menurut saya lebih berat itu persiapan mental sih. Apalagi ya, bagi orang-orang yang hatinya gampang melow dan ini jadi kali pertama mereka melewati lebaran tanpa keluarga. Wah pasti menguras emosi.

Tapi ya nggak apa-apa. Luapkan saja emosi itu bahkan dengan air mata sembari terus berdoa semoga keadaan akan membaik dan nanti bisa bertemu lagi dengan keluarga secara langsung. Mudik daring seperti ini memang mengubah wajah kebiasaan masyarakat Indonesia pada umumnya.

SS dari twitter @ganjarpranowo
SS dari twitter @ganjarpranowo
Nggak akan ada lagi tuh nemu pemudik dengan karton bertuliskan kata-kata lucu di belakang motor. Atau, yang saya harapkan, angka kecelakaan pemudik akan menurun drastis tahun ini.

Di sisi lain, semoga juga dengan tertundanya mudik, menjadikan pengeluaran berkurang karena menurut tetangga saya yang mudik tiap tahun, "mudik itu gak cukup hanya dengan ongkos. Mesti banyak yang disiapkan. Apalagi kalau bekerja, kalau gak bawa duit nanti dianggap gagal di perantauan."

Nah, bener juga, ya! Intinya, semoga apa yang terjadi sekarang ada hikmahnya dan kita semua dapat melewati hari lebaran dengan segenap suka cita, ya!

Dok. Kompal
Dok. Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun