Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

[Cerpen] Pahlawan Renta

1 Juni 2019   03:23 Diperbarui: 1 Juni 2019   03:32 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source image: shutterstock.com

Angin malam kini telah meninggalkan pagi, menyisakan sedikit embun yang masih menyejukan relung jiwaku. Lihatlah matahari menoleh malu-malu menandakan sebentar lagi mulai menyinari seisi dunia. Keluarga ayampun telah lama bangun dari tidurnya dan langsung mengais rejeki. Sebenarnya sang jantan sedari fajar telah mengajak seisi rumah ini untuk meninggalkan tidur lelap mereka, namun hanya sedikit saja yang mau mengindahkan kokokannya. Hanya aku, anak laki-lakiku dan istrinya yang mau mengikuti tahtah itu. Sedangkan ketiga cucuku masih tertidur lelap.

Hari minggu seperti ini memang dijadikan alasan bagi mereka untuk berleha dan bermalas. Telah berberapa kali aku mencoba menegur mereka secara baik-baik. Mereka memang masih tergolong anak-anak, namun aku paling tidak suka generasi seperti mereka hanya menyiapkan hari-hari mereka hanya untuk bersantai. Aku sangat menyayangkan akan disiplin yang kuajarkan kepada anak laki-lakiku dulu tidak diajarkan kepada anak-anak mereka.

Berberapa kali aku mengajak anak laki-lakiku berbicara mengenai cucu-cucuku, namun aku tetap saja kalah suara.

"Bagus, coba kau ajarkan anak-anakmu itu untuk tidak bermalas-malas," ujarku tajam. Namun jawaban yang kudapat sempat mebuat kecewa hatiku.

"Bapak, biarkan saja mereka sekali-kali beristirahat, toh seminggu ini mereka melakukan aktivitas cukup padat, tak ada salahnya membiarkan mereka untuk bangun tidur lebih telat dari pada biasanya," bela Bagus pada anak-anaknya.

"Iya tapi kan...."

Belum sempat aku bebicara lagi Bagus telah memotong pembicaraanku.

"Ya udah bapak istirahat saja, toh bapak juga membutuhkan banyak istirahatkan? biar bapak tidak gampang sakit," potong Bagus kepadaku sambil meninggalkanku. Aku hanya bisa mendesah melihat semua ini.

*  *  * 

Pernah berbarapa kali aku mengajak ketiga cucuku untuk berbincang, sekedar bercerita mendangarkan kisah-kisahku sewaktu muda dulu. Seperti hari ini, kupanggil mereka bertiga dan kuajak mereka duduk diteras belakang, aku berharap suasana sejuk bisa membuat mereka sedikit lebih semangat untuk mendengar cerita-ceritaku.

Kupanggil mereka satu-persatu. Kudengar desahan enggan mereka saat ku panggil. Dito cucu tertuaku kini berusia sekitar 17 tahun, dan sekarang masih duduk di bangku SMU sedangkan Dika usianya baru 12 tahun dan sekarang masih duduk dikelas 2 SMP, sedangkan sibungsu Dini baru berusia 8 tahun dan masih menempati kursi kelas 3 sebuah sekolah dasar.

Sekali lagi kulihat keengganan mereka mengampiriku. Hanya si bungsu Dini yang terlihat lebih ceria, sedangkan Dito dan Dika bermuka masam ketika mengampiriku. Kutaksir Dito saat kupanggil tadi sedang asyik bermain di studio pribadi miliknya sedangkan Dika sedang asyik bermain Play Station dikamarnya, wajar saja kalau kini mereka terlihat kesal, namun aku tidak terlalu menghiraukannya.

Aku langsung saja mengajak mereka bercerita, menanyakan kegiatan mereka saat ini. Aku juga bercerita tentang kehiduanku sewaktu muda dulu, sewaktu ikut bersatu denganpara pejuang lain saat menghadapi penjajah, walaupun usiaku masih tergolong anak-anak pada saat itu.

"Dulu kakek adalah pejuang yang turut melawan penjajah. Kakek dulu ikut abah kakek yang juga sebagai pejuang. Walapun masih kecil namun kakek adalah anak yang pemberani. Pernah dulu kakek mencoba melampari tentara belanda dengan batu, dan mengenai kepala salah satu tentara pebjajah itu hingga mengeluarkan darah, waktu itu sang tentara kompeni sangat berang dan mencari-cari kakek, namun kakek langsung saja pergi, untung saja kakek banyak mengetahui jalan tikus di hutan pada saat itu jadi kakek lolos deh hahaha. "

Aku menunggu reaksi dari mereka bertiga, aku pikir mereka akan tertarik mendengar ceritaku, namun yang ada hanya sikap acuh-tak acuh dari mereka. Hanya Dini yang terlihat sedikit bereaksi.

"Wah kakek hebat dong... trus setelah itu bagaimana kek?"

Aku sedikit lega mendengar celotehan cucu bungsuku itu, walaupun hal ini tidak kudapatkan dari Dito dan Dika, mereka asyik bergumam sendiri. Terlihat Dito sedang asyik menyanyikan lagu band favoritnya walaupun dengan suara yang nyaris tak terdengar, sedangkan Dika sedang asyik melihat pemandangan taman.

Ingin rasanya bagiku untuk memarahi mereka, namun jujur saja untuk menghadapai anak-anak jaman sekarang aku yang telah berusia 72 tahun ini perlu kembali 40 tahun lebih muda untuk memarahi mereka. Anak-anak jaman sekarang itu sangat cepat perkembangnya. Kita berada di hari esok mereka telah berada di hari ini, kita berada di hari ini mereka telah jauh berada di hari berikutnya. Aku yang telah tua ini tidak sanggup memarahinya. Aku sendiri begitu heran mengapa hal ini bisa terjadi kepadaku , padahal disiplinku terhadap Bagus dulu sangatlah tinggi, tak heran ia kini menjadi orang yang sukses.

Tak ingin mengecewakan hati cucu bungsuku, dan tak ingin pula aku terus membiarkan Dito dan Dika digandrungi rasa bosan, aku berinisistif untuk menyelasaikan ceritaku lebih awal dan berjanji kepada Dini akan bercerita lain waktu.

Terlihat segurat senyum di bibir Dito dan Dika. Kini  tinggal aku yang merasa bingung, bahwa sekarang aku haru sedih atau bahagia.

Source image: shutterstock.com
Source image: shutterstock.com
*  *  * 

"Pa beliin Dito Motor dong pa," suara Dito terdengar cukup jelas dari beranda samping tempat aku sekarang membaca koran pagi ini.

"Pa... beliin dong pa... kan malu, kalau setiap hari hanya di antar-jemput oleh mang Giman,"  Pintanya memelas sekali lagi. Namun Bagus anakku tetap diam.

"Paaa.... " Dito mengulangi ucapannya sekali lagi.

Kulihat Bagus hanya menatap anak sulungnya itu, dan kembali melanjutkan aktifitas sarapannya pagi itu. Melihat hal itu aku berinifiatif turut angkat bicara seraya mengampiri bagus dan Dito di meja makan.

Melihat kedatanganku, kulihat Dito menunjukkan reaksi tidak sukanya.

"Ada apa Gus? " tanyaku kepada Bagus

"Ini loh pak, Dito merengek untuk minta dibeliin motor," kata Bagus kepadaku.

Tak ingin suasana ini menjadi tidak enak, lalu aku menanyakan permintaan Dito secara langsung.

"Dito..." Sebisa mungkin aku mengatur intonasi suaraku agar tidak menyinggung cucu sulungku itu. "Benar Dito mau minta dibelikan motor sama papa?"

Dito hanya diam saat ku tanya seperti itu. Kuulangi lagi pertanyaanku dengan pertanyaan yang sama. Namun kali ini Dito menjawabnya walaupun dengan hanya anggukan kepala.

Aku kembali bertanya kepadanya.

"Memangnya alasan apa yang membuat Dito berpikiran untuk dibelikan motor "

Kali ini Dito menjawab pertanyaaku dengan suaranya.

"Dito malu kek sama teman-teman, mereka semua sudah mempunyai kendaraan sendiri, malah sudah ada yang membawa mobil. Lagipula Dito kan malu sudah besar kok masih di antar-jemput seperti anak TK,"
sahutnya panjang lebar.

Kulihat belum ada tanda-tanda Bagus untuk menjawab permasalahan ini. Aku lantas berinisiatif menanyakan langsung apakah Bagus mau membelikan Dito motor, namun ternyata Bagus belum bersedia membelikannya dalam waktu dekat ini karena pikirnya Dito belum terlalu membutuhkannya untuk saat ini, apalagi Bagus bilang hal itu hanya akan menyebabkan pemborosan saja.

Terlihat gurat kecewa di wajah Dito mendengar hal itu. Namun aku harus memberikan pengertian yang lebih baik kepada Dito.

"Memang benar apa kata papamu itu nak, selain alasan yang diutarakan papamu itu baik, mengunakan motor juga sangat berbahaya. Apalagi di kota besar semacam Jakarta ini. Lagipula apabila Dito membutuhkan kendaraan untuk berpergian, kan Dito bisa menyuruh mang Diman untuk mengantar."

Belum selesai aku bicara dengannya, Dito malah langsung pergi meninggalkan meja makan dengan muka yang cemberut. Kembali aku hanya bisa bersabar.

*  *  *

Aku memang tidak berdaya di rumah ini. Aku memang seonggok daging lapuk yang tidak diharapkan kehadirannya dirumah ini. Aku memang telah terbiasa mendapatkan prilaku buruk dari cucu-cucuku, namun yang kudapatkan malam ini sungguh membuat hatiku teriris-iris.

Jujur dari hatiku yang paling dalam, sama sekali tak ingin aku mengganggu keluarga harmonis ini. Menjadikan setiap cucuku merasakan ketidaknyamanan akan kehadiranku. Telah lama aku ingin hidup berpisah dari rumah ini, bukan sama sekali karena kau tidak mencintai mereka, lebih dari itu aku sangat menyayangi mereka semua. Karena merekalah hartaku yang paling berharga. Mutiaraku telah lama meninggalkanku, hampir 10 tahun yang lalu. Aku masih menyisakan kenangan-kenanga manisku itu di rumah kami yang dulu, yakni di kampung di Pulau Sumatera.

Telah lama pula aku ingin kembali kerumah itu, mengingat kenangan-kenangan kejayaanku dulu, serta menghabiskan waktu tuaku bersama bayang-bayang istriku yang kucinta, namun keinginanku itu ditentang oleh Bagus dan Suci istrinya. Karena mereka khawatir tidak ada yang akan mengurusku disana.

Tetapi tekatku telah bulat. Akhir pekan ini aku akan pulang ke Sumatera. Aku ingin melihat semua cucuku bahagia tanpa kehadianku, karena aku tahu hal ini lah yang selama ini mereka tunggu. Memang pada awalnya Suci dan Bagus menentang keinginanku, namun kali ini aku harus bersihkeras dengan mengatakan akan kembali lagi ke Jakarta secepatnya. Akhirnya mereka berdua menyerah dan mengizinkanku pulang ke kampungku.

*  *  *

Hari ini aku akan berangkat. Sebelum berangkat kusempatkan untuk berpamitan kepada anak dan cucu-cucuku. Sungguh dalam hati aku berat meninggalkan mereka, namun aku harus kembali memantapkan hatiku, demi kebahagian mereka aku harus pergi.

Terlihat wajah kekhawatiran dari anak dan mantuku, sebaliknya aku melihat wajah kebahagian yang terpancar dari cucuku terutama Dito. Aku hanya bisa tersenyum kepada mereka semua. Secara bergiliran mereka menyalamiku satu-persatu hingga akhirnya Bagus memberiku tanda aku harus segera berangkat apabila tidak ingin ketinggalan pesawat.

Bagus memang mengharuskan aku menggunakan pesawat kali ini walaupun dengan menggunakan travelpun aku mau. Kulambaikan tanganku kepada mereka semua hingga mereka semua hilang dari pandanganku.

Dalam hati aku berfikir, sepertinya aku akan kembali bertemu dengan mutiaraku, mutiara abadiku, yakni lastri istriku tercinta.

Aku telah berada didalam pesawat sekarang, kembali aku teringat kejadian malam itu, kejadian yang tidak sengaja aku dengar dari kamar anakku, kejadian yang sempat membuat tekat bulat keputusanku, kejadian amarah Dito terhadapku.

"Dito tahu, kenapa papa nggak mau memberikan Dito motor." Sahut Dito dengan napas terenggah, menahan emosi.

"Apa? Apa yang membuat papa tidak mau memberi Dito motor? " sahut Bagus.

"Pasti kakek...!!! Pasti kakek yang melarang papa membelikan Dito motor. Memang kakek dari dulu tidak senang melihat Dito senang! " sahutnya lagi

"Dari dulu Dito tidak senang dengan  kehadiran kakek dirumah ini, kakek hanya bisa mengomel, mengomel dan mengomel. Dito tak ingin kakek tetap berada dirumah ini lagi, Dito ingin kakek pergi!"

Masih dengan emosi, Dito berterriak, "terserah mau pergi kemana. Atau Dito tahu tempat yang cukup baik untuk kakek, yakni panti jompo! Di sana kakek bisa bercerita dengan puas akan keberhasilannya menjadi pahlawan sewaktu muda dulu. Uh, dasar pahlawan reot!"

Hanya air mataku yang berbicara malam itu, kini aku sadar bahwa aku ini memang manusia reot yang tak pantas berbicara kepada cucu-cucuku, aku hanya manusia tua yang hidup menumpang yang tidak tahu malu. Entah apa lagi yang Dito bicarakan tentangku malam itu, yang terdengar kemudian adalah suara tamparan Bagus kepada Dito. Dengan perbuatan Bagus kepada Dito malam itu, aku tahu bahwa ia akan semakin membenciku.

Kuhapus semua bayangan memilukan itu, ketika pesawat telah lepas landas. Tak lama kemudian ketika pesawat telah mencapai ketinggian tertentu, ketika akan memejamkan mata untuk beristirahat, aku sedikit terkejut sewaktu kulihat bayangan istriku tampak nyata dihadapanku. Sungguh... bayangan itu tampak sangat nyata. Ia berbicara kepadaku dan mengajakku mengikutinya terbang menaiki awan putih yang sedari tadi dinaikinya....

Aku tidak tahu apa-apa lagi setelah itu, yang kurasakan kini hanya kebahagian bersama istriku. Mutiaraku yang sangat kucintai.... Kini suasana menjadi hening.

*  *  *

Di kediaman Bagus, daerah selatan Jakarta.

Pukul 19.15 WIB

Ketika Bagus sekeluarga menonton televisi.

Berita Di sebuah Televisi

 

Permirsa. Sebuah kecelakaan pesawat terjadi petang hari tadi pada pukul 16.30 WIBB di Pagaralam, sebuah daerah perbukitan di Sumatera Selatan. Kecelakan pesawat berjenis Boeing 737-580 dengan nomor penerbangan WY 502 dijadwalkan bertolak dari Jakarta ke Medan pada pukul 14.00 WIB itu sebelumnya dilaporkan sempat meminta berganti rute karena cuaca yang buruk. Namun penyebab pasti kecelakaan ini belum bisa dipastikan karena masih menunggu pihak-pihak penyeledik untuk mengungkap fakta penyebab terjadi kecelakaan ini. 

Dalam kecelakaan pesawat yang mengangkut 114 penumpang dan 12 awak ini diperkirakan  semua penumpang sekaligus awak meninggal dunia.....

Tak ada suara yang keluar dari Bagus, Suci dan ketiga anaknya. Yang ada hanya air mata yang berlinang, suara isak tangis yang tertahan. Rasa penyesalan yang dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun