* Â * Â *
Hari ini aku akan berangkat. Sebelum berangkat kusempatkan untuk berpamitan kepada anak dan cucu-cucuku. Sungguh dalam hati aku berat meninggalkan mereka, namun aku harus kembali memantapkan hatiku, demi kebahagian mereka aku harus pergi.
Terlihat wajah kekhawatiran dari anak dan mantuku, sebaliknya aku melihat wajah kebahagian yang terpancar dari cucuku terutama Dito. Aku hanya bisa tersenyum kepada mereka semua. Secara bergiliran mereka menyalamiku satu-persatu hingga akhirnya Bagus memberiku tanda aku harus segera berangkat apabila tidak ingin ketinggalan pesawat.
Bagus memang mengharuskan aku menggunakan pesawat kali ini walaupun dengan menggunakan travelpun aku mau. Kulambaikan tanganku kepada mereka semua hingga mereka semua hilang dari pandanganku.
Dalam hati aku berfikir, sepertinya aku akan kembali bertemu dengan mutiaraku, mutiara abadiku, yakni lastri istriku tercinta.
Aku telah berada didalam pesawat sekarang, kembali aku teringat kejadian malam itu, kejadian yang tidak sengaja aku dengar dari kamar anakku, kejadian yang sempat membuat tekat bulat keputusanku, kejadian amarah Dito terhadapku.
"Dito tahu, kenapa papa nggak mau memberikan Dito motor." Sahut Dito dengan napas terenggah, menahan emosi.
"Apa? Apa yang membuat papa tidak mau memberi Dito motor? " sahut Bagus.
"Pasti kakek...!!! Pasti kakek yang melarang papa membelikan Dito motor. Memang kakek dari dulu tidak senang melihat Dito senang! " sahutnya lagi
"Dari dulu Dito tidak senang dengan  kehadiran kakek dirumah ini, kakek hanya bisa mengomel, mengomel dan mengomel. Dito tak ingin kakek tetap berada dirumah ini lagi, Dito ingin kakek pergi!"
Masih dengan emosi, Dito berterriak, "terserah mau pergi kemana. Atau Dito tahu tempat yang cukup baik untuk kakek, yakni panti jompo! Di sana kakek bisa bercerita dengan puas akan keberhasilannya menjadi pahlawan sewaktu muda dulu. Uh, dasar pahlawan reot!"