Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

[Cerpen Anak] Dinda Menanti Fitri

23 Mei 2019   11:53 Diperbarui: 23 Mei 2019   11:56 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu Dinda suka sebal jika di sekolah Dudung mengoloknya, "Dinda, kok nama bapakmu Fitri, seperti nama perempuan?" Biasanya, setelah ngomong seperti itu Dudung akan tertawa terbahak-bahak hingga tak jarang Dinda menangis dibuatnya.

"Kenapa sih nama Bapak itu Fitri?" tanya Dinda suatu kali.

"Loh memangnya kenapa?" Bapak yang mendengar pertanyaan Dinda itu malah bertanya balik.

"Soalnya kan Fitri itu nama perempuan, Pak."

Mendengar celotehan anaknya yang masih duduk di bangku kelas 4 SD itu dia tertawa. "Loh, kan nama Fitri artinya bagus, nak. Banyak loh laki-laki yang bernama Fitri. Lagian, nama bapak kan kepanjangannya Fitriansyah, itu nama yang diberikan oleh kakek dan nenek."

"Lantas kenapa kakek dan nenek kasih nama itu?"

"Hmm, bapak kurang tahu. Tapi, kayaknya nama itu diberikan kepada bapak, karena bapak lahir di hari Idul Fitri."

"Hah, jadi bapak lahir saat lebaran?"

"Iya, menurut cerita orang, saat warga bersiap salat Ied, eh perut ibu mules dan akan melahirkan. Jadilah, alih-alih ke masjid, kakek malah membawa nenek ke rumah sakit. Tak lama setelah salat Ied selesai, bapak lahir."

Mendapati kisah di balik nama bapaknya, kini Dinda tak pusing lagi jika Dudung mengoloknya di sekolah. Dudung juga lama-lama bosan mengganggu Dinda karena Dinda acuh dengan keisengannya. Sejak itu, Dinda tidak pernah malu lagi dengan nama bapaknya.

* * *

Ramadan sudah berjalan selama 2 minggu, dan sebentar lagi lebaran. Tapi Dinda sedih karena ia dan ibunya tidak tahu apakah bapak akan berlebaran di rumah atau tidak.

"Kenapa sih bapak harus kerjanya jauh banget," ujar Dinda.

"Bapak harus menjaga perbatasan Indonesia, sayang," ujar ibu.

Saat bertanya itu sebetulnya Dinda sudah tahu akan jawabannya. Tapi memang kalau sedang rindu, Dinda suka kesal kenapa bapak kerjanya jauh. "Bapak itu tentara, dan harus menjaga Indonesia. Pekerjaan bapak itu sangat mulia, loh," ujar ibu dulu.

Bapak ditugaskan di Meulaboh, Aceh. Lumayan jauh dari kota Palembang. Biasanya bapak pulang 3 bulan sekali. Dan, lebaran ini mestinya bapak pulang, tapi, setiap kali menelepon, bapak selalu bilang belum ada tanggal pasti kapan bisa ke Palembang.

"Semoga bapak bisa pulang nanti saat lebaran," ujar Dinda.

* * *

Sayangnya, hingga hari terakhir Ramadan, bapak tak juga pulang. Dinda sedih sekali. Ibu juga sedih, tapi berusaha menenangkan.

"Kata bapak, jika sudah mendapatkan izin, bapak pasti segera pulang."

Dinda tak dapat lagi menutupi kesedihannya. Ia menangis. Bayang-bayang bisa berlebaran dan merayakan ulang tahun bapak pupus sudah. Dinda terlelap karena capek diantara sahutan takbir yang menggema di kampungnya.

Dinda terbangun ketika azan subuh sayup-sayup terdengar. Dia membuka mata dengan malas-malasan. "Apa enaknya berlebaran tanpa bapak?" batinnya lagi. Sambil berusaha menahan rasa sedih, Dinda keluar dari kamar. Sepertinya ibu sudah bangun dan bersiap di dapur. Tak lama, Dinda mencium satu aroma yang sangat khas. Aroma yang hanya ada jika bapaknya ada di rumah. Harum kopi!

Bergegas Dinda lari ke dapur. Sayang, di dapur tidak ada bapak. Hanya ada ibu yang tengah mengaduk kopi di gelas. "Ibu buat kopi untuk siapa?"

"Untuk bapaklah."

Suara bapak terdengar dari belakang. Dinda cepat menoleh dan... benar saja, bapak berada di rumah. Luar biasa senangnya Dinda mendapati bapak ada di rumah. Dia berlari dan memeluk bapak. Bapak juga berulang kali menciumi pipinya yang masih bau hehe.

"Bapak kapan pulang?"

"Tadi malam, bapak tiba di rumah hampir tengah malam."

"Kok bapak nggak ngebangunin Dinda?" tanya Dinda sebal tapi senang. "Ibu juga tidak bilang kalau bapak akan pulang," rajuk Dinda.

"Ya kalau bilang kan nggak jadi kejutan lagi," jawab bapak.

Tak henti senyum terkembang dari bibirnya. "Oh ya, selamat ulang tahun ya, Pak," ujar Dinda lagi. "Loh, bapak kan ulang tahunnya masih lama?"

"Biarin, tapi kan ini 1 Syawal. Kan bapak lahirnya 1 Syawal, jadi sama saja dong."

"Hahaha begitu ya."

"Iya, dan karena bapak ulang tahun, artinya bapak harus mentraktir Dinda dan ibu."

"Oh ya boleh saja, tapi yang ditraktir juga harus menyiapkan kado, ya!"

Mendengar itu mereka tertawa bersama. Alhamdulillah, tahun ini Dinda dapat berlebaran dengan bapak dan ibunya. Dinda tak perlu lagi menanti Fitri, bapaknya, karena bapaknya sudah ada di tengah-tengah mereka.

Kompal (Kompasianer Palembang)
Kompal (Kompasianer Palembang)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun