Atap Niang disusun menggunakan daun lontar, mirip rumah adat Honai di Papua. Struktur Niang ini cukup tinggi dan ditopang oleh kayu worok dan bambu. Uniknya lagi, mereka membangun Niang tanpa menggunakan paku, tapi hanya menggunakan tali rotan yang mengikat keseluruhan konstruksi bangunan.
Dari luar Niang nampak kecil, tapi hebatnya satu niang dapat dihuni antata 6 hingga 8 keluarga, loh! Waduh, gimana pas mau ena-ena, ya? Wakakak.
Saat ke sana, saya sempat melihat aktifitas penghuni rumah. Mamak-mamak di sana sebagian besar berprofesi sebagai pengrajin. Ada sebuah gubuk kecil di Niang utama tempat mereka memamerkan dan menjajakan hasil tenunan mereka. Harganya juga bervariasi, nggak terlalu mahal. Sayangnya saat itu saya memutuskan untuk tidak membeli. Keputusan yang saya sesali begitu meninggalkan Todo.
Oh ya, di tengah-tengah area Niang terdapat juga sebuah makam keramat. Tak jauh dari kediapan Bapak Titus bahkan ada komplek pemakaman tuanya. Kalau siang ke sana sih ya gak serem ya. Tapi saya gak janji kalau malam seperti apa hahaha.
Perjalanan saya dan rombongan hari itu berakhir setelah santap siang di kediaman Bapak Titus. Menunya sederhana, namun terasa nikmat karena dimakan beramai-ramai, ditambah lagi ditutup dengan kenikmatan kopi Manggarai yang aduhai. Nikmat!