Markonah menyambut suaminya dengan sumringah, "sudah pulang, Kak? Banyak tarikan penumpang hari ini?" tanya Markonah dengan senyum manis. Lipstik merah khas kepunyaannya sungguh cetar hari itu.
"Emang mau kemana kamu, di rumah kok pake lipstik? Jangan genit, ya. Awas saja kalau kamu terima lelaki lain di rumah. Kukuliti nanti."
"Ih kakak ini, istrik cantik salah. Giliran aku dekil sedikit aja kakak protes. Serba salah jadinya aku. Kemarin aja habis mandi, badan masih wangi sabun GIP, tapi belum sempat pake bedak, kakak udah ngomel. Bilang mukaku hitem jelek. Bilangin aku nggak bisa dandan," ujar Markonah ngambek manja.
"Ya udah, hidangin makanan, ya. Laper banget aku. Masak apa hari ini?"
Masih dengan muka ngambekan manjah, Markonah menjawab, "pindang kepala ikan gabus, kak. Ada sambal embam dan lalap kemangi. Adik siapkan dulu, ya."
Bergegas Markonah masuk ke dapur. Mengambil taplak dan mulai membentangkan di lantai depan TV. Maklum, Markonah dan Ujuk masih menyewa di kontrakan. Jadi belum ada meja makan di dapur. Jadi, kalau mau makan, semua lauk ditempatkan di tempat TV yang tak terlalu besar. Cuma lumayan, untuk hidup berdua seperti mereka.
Ketika sudah dihidangkan, Ujuk langsung makan di mangkuk kobokan. Markonah bergegas menuangkan nasi ke piring. Ujuk langsung mengambil dua potong tahu, sesendol sambal embam dan mulai makan sambil menghirup kuah pindang.
"Kenapa kakak pulang-pulang kok ngomel?" tanya Markonah sambil ikut menemani suaminya makan.
"Maman tuh, sialan banget. Rasanya ingin aku tenggelamkan ke Sungai Air dia. Sekadar kasih aku pempek pistel 2 biji saat makan di warung Nyai Romlah, seantero kawasan 7 Ulu tahu semua kalau dia pernah belikan aku pempek 2 biji."
"Ah mungkin bercanda aja dia, kak. Janganlah kakak marah hanya gegara itu."
"Bukannya gitu, dek, malu aku nih. Dia tuh ngomong sangat ngerendahin banget. Ingin rasanya aku lempar duit 2 ribu untuk mengganti pempek pistel itu."