Pembukaan
Seorang kawan guru bertanya kepada Omjay. Apakah boleh Guru marah kepada muridnya? Tentu saja boleh, asalkan ada penyebabnya yang membuat guru menjadi marah. Kemarahan guru harus dilihat sebagai bentuk kasih sayang agar muridnya tahu kesalahannya, dan memperbaiki kesalahannya dengan sepenuh hati. Dengan begitu murid akan berprestasi seperti foto Omjay di atas. Mereka mendapatkan penghargaan karena sudah membawa nama baik sekolah.
Pertanyaan yang sederhana ini sangat menggelitik Omjay. Apakah seorang guru boleh marah. Kita bicara disini dalam konteks guru dalam menjalankan perannya, dalam proses belajar dan pembelajaran. Apakah dibenarkan seorang guru memarahi muridnya? Menurut Omjay boleh saja. Tentu dengan batasan dan cara yang baik. Semua dalam rangka proses mendidik.
Sebagai manusia biasa Guru boleh marah.
Sebagai manusia, semua orang punya hak untuk marah, namun bukan berarti, segala sesuatu diselesaikan dengan cara marah. Guru harus tetap ramah kepada semua muridnya. Marah adalah jalan terakhir yang diambil guru sebagai seorang pendidik.
Hal ini merupakan kaidah dasar yang harus kita letakkan didepan. Begitulah hasil diskusi Omjay dengan teman kuliah S2 di pascasarjana UNJ waktu itu sekitar tahun 2008. Namanya Muhammad Suja'i Anhar. Namun sayang, karena kesibukannya bekerja, sampai saat ini beliau belum lulus magister pendidikan di pascasarjana UNJ Rawamangun, Jakarta Timur.Â
Beliau berkata, "boleh saja seorang guru itu marah, tapi tidak selalu diselasaikan dengan marah. Hal ini juga menjadi patokan nantinya, bahwa marah merupakan alternatif yang paling akhir, bukan di awal."Â
Ditambah lagi dengan persoalan lain, yakni bagaimana layaknya seorang guru memarahi muridnya, apakah ada rambu-rambu, atau aturan yang kita sepakati bersama.
Lalu, timbul pertanyaan, bagaimana marahnya seorang guru? Sehingga tidak terjadi lagi, kekerasan dalam pendidikan, tidak terdengar lagi berita, seorang guru menganiaya seorang murid, karena hal-hal yang sepele. Seperti kasus di salah satu sekolah yang ada d Madura. Muridnya memukul guru, dan akhirnya gurunya tewas di tangan muridnya sendiri.
Guru adalah Profesi yang sangat mulia.
Guru adalah profesi yang sangat mulia. Selain mulia, profesi guru juga amat rumit dan sangat komplek. Saat ini, ditengah kita mengharapkan perubahan dari sisi para murid atau siswa, kita juga dituntut untuk selalu paham akan perubahan yang terjadi dan melihat keadaan sekitar.Â
Seperti, perubahan norma, perubahan teknologi terkini, yang secara tidak langsung, mempunyai dampak terhadap pola pendidikan di masa yang akan datang. Sebagai guru kita harus sudah siap dengan berbagai peubahan yang akan terjadi.
Marah adalah perbuatan memberi peringatan, menegur dengan keras, baik secara lisan maupun perbuatan kepada seseorang terhadap sesuatu yang dia lakukan.Â
Terlepas dari apa yang diperbuat oleh orang lain tersebut, murid telah melanggar norma atau hanya sekedar lalai dari sesuatu yang harus murid kerjakan. Guru marah, karena muridnya telah melanggar aturan yang sudah ditetapkan.
Definisi ini kita sederhanakan terlebih dahulu, untuk tidak melebar kemana-mana.
Seperti yang sering terjadi di sekolah, ketika seorang guru mendapati seorang murid tidak melakukan tugasnya, seperti tidak mengerjakan pekerjaan rumah atau PR, atau malah melakukan sesuatu yang melanggar, seperti memukul siswa lain, maka seorang guru berusaha untuk menegur siswa tersebut. Kemudian guru memberikan peringatan untuk tidak mengulangi lagi.Â
Namun, seringkali kita dapati, siswa yang melakukan kesalahan, cenderung untuk mengulangi lagi. Sehingga guru, seperti halnya orang lain, akan memberikan label kepada anak tersebut, nakal, bandel, tidak patuh, sering membuat ulah, yang pada akhirnya, segala sesuatu yang menyangkut anak ini, akan terlihat negatif.
Peringatan pertama akan dilakukan dengan tutur kata yang halus, peringatan kedua sedikit lebih keras, maka pada saat terjadi peringatan ketiga, kata sedikit keras berubah, menjadi peringatan keras, dengan sedikit penekanan disana-sini.Â
Suara sedikit dikeraskan, mata sedikit lebih lebar, muka tampak sedikit merah, bahkan dengan perlakuan fisik. Marah namanya. Ini adalah pilihan terakhir untuk peringatan yang terbilang masih sedikit. Guru mewajarkan perbuatannya, karena proses kesadaran anak terasa berjalan lambat untuk mengarah kepada kebaikan.
Mengapa guru di Indonesia sering mendapat sorotan negatif dari sisi emosi yang kurang baik ini?Â
Memang banyak unsur atau penyebab yang mempengaruhi, mulai dari sosok guru, lingkungan sekolah, kondisi murid dan tradisi yang berlaku di sekolah. Mungkin juga faktor tekanan disana-sini yang dibebankan kepada guru.Â
Kehidupan ekonomi, keluarga, lingkungan, beban pelajaran yang harus disampaikan, perilaku murid, juga interaksi kepada masyarakat. Tapi ini semua bukan berarti membuka pintu selebar-lebarnya atas tindakan keras seorang guru kepada muridnya. Oleh karena itu, rambu-rambu itu harus segera dibuat dan ditaati bersama.
Kesabaran kita terasa sangat berat, ketika berhadapan pada proses yang menurut logika kita mudah, hanya mengikuti, mengulangi, melakukan tugas, dan tidak melakukan perbuatan yang melanggar.Â
Jalan menuju perbaikan kita pangkas, menjadi sederhana, do it, or you will be punish!Â
Proses rekonstruksi pemahaman siswa, kita batasi dengan waktu yang singkat. Kita letakkan ke dalam frame yang sangat sempit, menutup kemungkinan berbedanya cara pandang siswa dengan guru.Â
Akhirnya, jalan pintas ini kita tempuh, menegur keras semua siswa yang tidak menurut, lambat dalam proses, tidak sesuai standar yang telah ditetapkan. Mengedepankan hukuman, dibandingkan motivasi, mendahulukan lontaran kata yang keras, dibandingkan tepukan halus dipunggung.
Kita pahami, guru juga manusia, namun predikat guru adalah seorang yang kita anggap telah mumpuni secara ilmu dan emosi, sudah menguasai psikologi anak, psikologi perkembangan, dan juga memahami bahasa tubuh setiap siswa.
Kita berikan anak kita ke sekolah untuk dididik, dengan sepenuh hati, karena kita yakin sekolah menjadi tempat yang paling mulia untuk memacu potensi anak.Â
Konsekuensi dari peraturan sekolah yang ada, juga kami siap terima, termasuk ketika guru memberikan teguran keras kepada anak kami. Namun, kami harapkan, teguran ini seperti halnya seorang pemilik tanaman, meluruskan tumbuhnya sebuah dahan, namun tidak mematahkannya, menghilangkan sifat-sifat buruk dari anak kami, seperti halnya benalu ditanaman, tapi tidak membunuh pohonnya, tidak membunuh motivasi dan rasa ingin tahunya.
Ituylah mengapa kita perku mempersakan guru di masa depan yang tak mudah marah. Videonya sudah Omjay tayangkan di channel youtube https://youtu.be/GhX7FxxaXqc.
Penutup dan kesimpulan.
Banyak kita lihat di masyarakat, orang yang sudah selesai dari sekolah, hidup dengan keputus-asaan, karena gairah hidupnya telah mati. Motivasi hidupnya telah patah, akibat pola asuh yang terlalu keras. Mengejar nilai dan hasil yang sesaat.
Mungkin harus ada forum tersendiri untuk membahas, menanggulangi kekerasan dalam pendidikan, dan memberikan peningkatan kualitas individu seorang guru, dalam bentuk pelatihan, pengembangan mental, dan lain-lain.
Demikianlah kisah Omjay kali ini tentang apakah boleh guru marah sama muridnya? Tentu saja boleh, asalkan guru tetap ramah dan memahami perannya sebagai seorang pendidik. Mendidik itu tidak bisa mendadak, dan sebagai seorang guru, kita harus mampu menjadi manusia yang bijaksana. Setiap anak pasti ada kelebihan dan kekurangan. Jadikan mereka juara dengan minat dan bakatnya masing-masing. Guru boleh marah dengan murid yang nakal atau bandel. Namun tetap ramah kepada semua muridnya seperyi halnya anak kandung sendiri.
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
Blog https://wijayalabs.com/about
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H