Mohon tunggu...
Ombrill
Ombrill Mohon Tunggu... Jurnalis - Videografer - Content Creator - Book Writer

Book Writer - Video Blogger - Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Net TV, "Besar Pasak daripada Tiang"?

13 Agustus 2019   20:38 Diperbarui: 15 Agustus 2019   13:02 7091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Santer isu kebangkrutan dan PHK di Net TV terjawab sudah. Selaku Komisaris Utama PT Net Mediatama Televisi, Wisnutama telah memberikan klarifikasi. Bahwa tagar #NetTV yang sempat menjadi viral dan trending topics di media sosial gara-gara isu bangkrut dan juga PHK, ternyata hoaks. Net TV tidak bangkrut dan mem-PHK karyawannya, melainkan cuma melakukan restrategi atau membuat strategi-strategi baru untuk menghadapi kompetisi di dunia televisi yang semakin berat.

Restrategi memang wajib dilakukan oleh manajemen Net TV. Betapa tidak, analisis sederhana penulis menilai kondisi Net TV sebelum isu tersebut bergulir, bagai peribahasa: "Besar Pasak daripada Tiang".

Peribahasa ini mengumpamakan dua benda, yakni "tiang" dan "pasak". "Tiang" biasanya berukuran besar. Sementara "pasak" (paku yang terbuat dari kayu atau bambu dan biasa digunakan untuk menyambung) berukuran lebih kecil. Dalam konteks kondisi Net TV, "tiang" menganalogikan sebagai revenue, yakni pendapatan dari iklan di tiap program Net TV yang menghasilkan profit. Setelah dikurangi dari pendapatan (revenue) dan biaya lain, misalnya modal atau operasional, sehingga menghasilkan profit.

Sementara "pasak" menganalogikan cost, yakni seluruh biaya yang dikeluarkan manajemen Net TV, termasuk production cost program-programnya, operasional, dan gaji karyawan yang tiap bulan dikeluarkan.

Jika tak ada profit, maka "tiang" sebagai struktur sebuah bangunan bisnis, pasti ambruk. Profit jelas menguatkan "tiang" bisnis agar tetap kokoh. Semakin besar profit, semakin kuat "tiang" dan menancapkan "tiang-tiang" lain. Sehingga, ketika diterpa angin, "tiang" tetap berdiri. Kalau pun ada satu "tiang" patah, masih ada "tiang-tiang" lain yang bisa menyangga.

Namun di Net TV, penulis melihat justru "pasak"-nya yang besar. Secara terang benderang, bukan cuma penulis, Anda pun sebetulnya bisa menilai, bahwa cost program Net TV sangat besar. Selain cost untuk membuat program, tentu manajemen Net TV juga harus mengeluarkan cost untuk menggaji karyawan.

Di tulisan Kompasiana sebelumnya, penulis sudah paparkan, bahwa "Karyawan televisi swasta itu digaji dari pemasukan iklan. Jika ada televisi swasta yang programnya keren, look on air-nya ciamik banget, para pemain atau host acaranya kelas satu dan mahal, tetapi di tiap commercial break tidak ada iklan, yang stres pasti si pemilik. 

Televisi yang iklannya nggak ada atau sedikit atau nggak sebanding dengan biaya produksi, pasti bleeding. "Berdarah-darah". Duit investasi si pemilik terkuras habis. Jika terkuras, resikonya pasti televisi tersebut mencari dana dari investor lain, supaya siaran mereka survive.

Tak ada pemilik televisi yang nggak mau untung dalam persaingan bisnis televisi. Coba tanya mayoritas pemilik televisi swasta, mereka senang jika televisi miliknya profit. Margin profitnya besar. Sales-nya keren abis. 

Lihat ulasan lebih lanjutnya di sini.

Jadi, kondisi Net TV yang penulis analogikan seperti peribahasa "Besar Pasak daripada Tiang", itu karena pengeluaran lebih besar (cost) daripada pendapatan (profit). Program-program Net TV yang enak untuk dinikmati, faktanya berbiaya produksi besar.

Dengan bintang-bintang ternama yang "dibajak" dari Trans TV ke Net TV dan dikontrak sampai ratusan juta, membuat "pasak" membengkak. Mengundang artis-artis ternama, bahkan dari luar negeri, itu adalah cost, "pasak".

Sementara "tiang"-nya tidak kokoh. Sepanjang 6 tahun, kabarnya Net TV belum memiliki profit, karena sales dari tiap program-program jeblok. Boro-boro profit, revenue-nya belum bisa mencapai titik break event point (BEP). Masih ngos-ngosan.

***

Sebetulnya konsep Net TV dalam menghadapi era digital ini sangat bagus. Target pasar Net TV cukup pun jelas, menengah ke atas. "Saat NET lahir, kami sudah canangkan bahwa (Net TV) bukan saluran televisi biasa, tetapi juga saluran TV yang agresif di digital," tutur Dirut PT Net Mediatama Indonesia Wisnutama Kusubandio (SWA, 6 Juli 2017).

Aktivitas digital Net TV, tambah Tama (begitu panggilan pria mantan karyawan Trans Corp ini), paling "berisik" di media sosial, dibanding dengan televisi lain. Kualitas followers Net TV juga bukan cuma sekadar "berisik", melainkan target potensial. Mereka pengambil keputusan, punya daya beli, dan punya pengaruh. 

Di media sosial, dibanding stasiun televisi yang sudah lama berdiri seperti RCTI, Net TV sudah cukup baik. Salah satu indikatornya bisa kita lihat dari akun media sosial. Youtube, misalnya.

Akun Youtube milik RCTI baru 1,3 juta subscribers, sementara Net TV sudah melambung di angka 3,7 subscribers. Itu baru soal subscribers, viewers video-video Net TV pun ditonton rata-rata ratusan ribu, sementara RCTI belum mencapai angka segitu. Di Instagram, followers RCTI dan Net TV bersaing, di angka hampir 1,5 juta. 

Bukan cuma di program hiburan, media sosial Net TV juga "menguasai" netizen milenial yang haus akan news. Untuk televisi yang bukan bergerak di segmen berita, Net TV bersaing dengan tvOne. Subscribers akun Youtube tvOne adalah 1,7 juta. Sementara Net TV 1,4 juta. Cuma beda 300 ribu subscribers. Angka tersebut sama dengan subscribers Youtube milik televisi berita milik Surya Paloh, Metro TV yang juga baru 1,4 juta. 

Net TV juga membuat akun-akun medsos lain, yang jumlah subscribers dan followers-nya cukup baik grafiknya. Dari sejumlah akun tersebut, tercatat video-video Net TV sudah ditonton lebih dari 2 miliar. Tentu jika dimonetisasi, penghasilan dari medsos tersebut luar biasa.

Nah, fakta tersebut memberikan gambaran, bahwa sebetulnya jika ada yang menganalisis Net TV salah membidik target market, rasanya kurang tepat. Bagi penulis, Net TV sudah benar dalam membidik target. Yakni, penggila hiburan, kreatif, milenial, pengguna media sosial, dan gemar berbelanja. Net TV juga sudah siap berkompetisi dalam era digital ini. 

Lalu apa masalahnya? Ya seperti analisis penulis di atas tadi. Monetisasi dari medsos belum bisa menutup cost membiayai program dan gaji SDM yang sangat besar. "Pasak" masih besar dari "tiang". Net TV masih menggunakan metode high cost, tapi low profit. Dan ini memang butuh segera membuat strategi-strategi baru, di mana menang di semua lini: on air, off air, tentu juga di platform digital.

***

Barangkali kita sama-sama bisa belajar dari Chairul Tanjung (CT), pemilik CT Crop, holding company Trans TV dan Trans 7. Sebagai pemilik Trans Corp, CT sudah mengalkulasi dengan sangat jitu, cost dan profit.

Berapa cost yang dikeluarkan, dan berapa profit yang dihasilkan. Penulis yakin, CT tak sekadar memikirkan program yang ditonton banyak orang, melainkan juga program yang menghasilkan big income. Oleh karena itu, CT menjaga sekali "pasak" agar tidak lebih besar daripada "tiang". Sebelum menggeluarkan duit untuk produksi (mengekseskusi), CT sudah mengetahui profit yang diperoleh.

Penulis pernah diceritakan salah seorang mantan karyawan Trans TV, betapa profit menjadi ukuran CT melihat keberhasilan program. Baginya, ukuran keberhasilan program adalah jika iklan di program tersebut membludak, melebihi production cost (baca: untung).

Tak perlu juga penghargaan program terbaik atau piala dari festival di ajang pertelevisian. Baik penghargaan, maupun piala, tak menghasilkan profit. Padahal, televisi adalah bisnis. Bisnis ya tetap bisnis. Kita bisa belajar dari CT dalam hal ini.

Makanya, jangan harap ada program bertahan tayang selama sebulan, atau berepisode-episode bisa tayang di Trans TV, jika tak punya profit. Sebab, CT pasti akan drop.

Penulis pernah dikabarkan, ada program baru tayang 1 atau 2 episode tidak untung, tidak ada rating, langsung di-drop alias tak ditayangkan lagi.

Wajarkah kebijakan yang dilakukan CT seperti itu? Jelas wajar! Jika saya pemilik TV pun pasti akan melakukan hal yang sama seperti CT. Sebab, balik ke "hukum asal", di mana hidup-mati televisi swasta dari iklan. Buat apa buang-buang uang, tapi tidak ada hasil?

Intinya, sebelum dieksekusi, "bertempur" terlebih dahulu di meja rapat dengan sales marketing soal profit.

Nah, seperti apa restrategi yang akan dijalankan Net TV? Mari kita lihat bersama.

Salam Televisi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun