Tak banyak yang tahu, bahwa jenis sajian kekerasan di televisi bukan sekadar kekerasan fisik semata. Ada dua kelompok sajian kekerasan. Selain kekerasan fisik, ada juga kekerasan nonfisik.
Kalo kekerasam fisik barangkali sebagian besar Anda sudah tahu. Kekerasan fisik adalah kekerasan berupa kontak fisik yang bisa menyakiti orang lain. Apa saja prilaku yang mencerminkan kekerasan fisik? Prilaku seperti meninju, menoyor, memukul, menendang, mendorong, menampar, menarik telinga, menjambak rambut, menusuk, membuat tersedak lawan main, menyetrum, dan tentu membunuh.
Pasti Anda pernah -bahkan penggemar komedi situasi sering- melihat prilaku-prilaku yang saya sudah sebutkan di atas. Saat Opera van Java (OvJ) masih nge-hits, acara ini banyak menampilkan prilaku kekerasan yang dilakukan para pemainnya. Tujuannya tak lain untuk membuat kelucuan. Ironisnya, kelucuan yang sebetulnya merupakan prilaku kekerasan tersebut dianggap wajar. Walhasil, sebagian penonton penggemar OvJ meniru prilaku kekerasan dan (sekali lagi) itu dianggap wajar.
OvJ cuma satu dari sekian sitkom yang sering mendapatkan teguran KPI. Selain OvJ, Pesbukers juga kerap ditegur.
Bagaimana kekerasan nonfisik? Kekerasan nonfisik dibagi menjadi dua, yakni (1) kekerasan verbal dan (2) kekerasan visual. Pembagian tersebut berlandaskan pada Standar Pedoman Siaran (SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pasal 1 Ayat (25) Tahun 2012, "Gambar atau rangkaian gambar dan/ atau suara yg menampilkan tindakan verbal dan/ atau nonverbal yang menimbulkan rasa sakit secara fisik, psikis, dan/ atau sosial bagi korban kekerasan".
Saya akan menjelaskan kekerasan verbal terlebih dahulu. Kekerasan verbal atau dalam bahasa Inggris verbal violence adalah bentuk ‘halus’ dari kekerasan. Contoh kekerasan verbal adalah mengeluarkan kata-kata kotor, jorok, menghina fisik orang, menghina agama atau Tuhan. Di Indonesia kekerasan verbal sering terjadi pada sinetron series, FTV, maupun reality show.
Belakangan, kekerasan verbal juga terjadi di stand up comedy. Stand up comedy yang seharusnya dianggap menjadi komedi cerdas -untuk membedakan dengan komedi slapstik-, nyatanya juga banyak menampilkan comic yang membawakan materi beraroma kekerasan verbal.
Nah,sekarang tibalah saya menjelaskan tentang kekerasan visual. Belakangan, kekerasan visual dalam sebuah tayangan, banyak ditemukan.Yang masih hangat adalah kasus visual penanyangan korban bom Sarinah.
Pada 14 Januari 2015 lalu, KPI Pusat menegur program breaking news stasiun televisi iNews, tvOne, Trans7, dan NetTV. Di program breaking news, televisi-televisi tersebut menampilkan visualisasi mayat yang tergeletak di dekat Pos Polisi Sarinah yang merupakan lokasi peristiwa ledakan. Gambar tersebut ditayangkan tanpa disamarkan (blur) sehingga terlihat secara jelas atau eksplisit. KPI menilai penayangan tersebut tidak layak dan tidak sesuai dengan etika jurnalistik, serta mengakibatkan ketidaknyamanan terhadap masyarakat yang menyaksikan program tersebut. Penayangan program tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 9, Pasal 22 Ayat (2) dan (3), dan Pasal 25 huruf a dan c, serta Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 9 Ayat (2), Pasal 40 huruf a dan b, serta Pasal 50 huruf d.
Perlu diketahui, menyamarkan korban bukan cuma korban bom saja, tetapi korban gempa, bencana alam, tabrakan, maupun kasus kriminal ‘biasa’ yang ada penemuan mayat maupun potongan tubuh. Teguran KPI Pusat bukan baru saat bom Sarinah saja. Pada 2011, SCTV pernah ditegur gara-gara menayangkan korban bom Solo, dimana korbannya masih berdarah-darah serta isi perut keluar, tanpa di-blur.
Di Amrik yang jelas-jelas dikenal sebagai negara liberal, justru menjaga penonton agar tidak terkena dampak kekerasan di televisi. Federal Communication Comission (FCC) –lembaga semacam KPI di Amrik- dengan tegas melarang televisi maupun radio menyiarkan 7 kata kasar dan jorok (the seven dirty words). Padahal kita tahu, stand up comedy berasal dari Negara Paman Sam ini. Namun anehnya, blue materials (istilah dalam stand up comedy) banyak ditampilkan oleh comic tanah air.
Sekadar info, tujuh kata kasar dan jorok yang dilarang oleh FCC antara lain: sh**, fu**, cocks*****, motherf*****, pi**, cu** & ti*. Maaf saya harus mem-‘blur’ sebagian kata-kata kasar dan jorok tersebut. Namun saya yakin sebagian dari Anda sudah tahu kata-kata yang dimaksud.
Beda di Amrik, beda pula di Kanada. Di Kanada, segala tayangan kekerasan –baik fisik maupun verbal- masih tetap diizinkan, asal penayangan program-programnya di atas pukul 9 malam. Lucunya di Indonesia, baik di waktu pagi maupun malam, penonton tetap disuguhkan kekerasan fisik maupun verbal. Tak percaya?
Di pagi hari, Anda pasti pernah menyaksikan Host acara musik yang selalu ditonton oleh para alay. Sebut saja acara Dahsyat maupun Inbox. Nah, Host-Host tersebut kerap melakukan kekerasan fisik maupun verbal. Niat mereka hanya becanda, agar penonton di lokasi syuting maupun pemirsa televisi bisa tertawa. Namun, prilaku canda mereka sesungguhnya memperlihatkan kekerasan fisik atau verbal.
Salah satu kekerasan verbal yang pernah dilakukan Dahsyat adalah saat episode yang tayang pada 24 Desember 2012. Salah seorang bintang tamu menyinggung salah satu agama. Hal tersebut melanggar untuk kategori pelanggaran atas penghormatan terhadap nilai-nilai agama. Sementara Inbox pernah mendapat teguran setelah dianggap memperolok-olok wanita berusia lanjut di hadapan umum pada tayangan episode 7 Januari 2013.
Kalo Dahsyat dan Inbox melakukan kekerasan fisik dan verbal di pagi hari, giliran di malam, bentuk kekerasan terjadi di program sinetron maupun sitkom. Sinetron Kawin Gantung (SCTV), misalnya. Pada 31 Oktober 2014 sinetron tersebut sempat ditegur KPI lantaran menampilkan kekerasan visual, yakni dalam adegan pria remaja menyetrum tangan seorang perempuan dengan menggunakan alat setrum pada episode 1 Oktober 2014. Lalu sinetron Diam-Diam Suka (SCTV) pada 18 April 2014 menampilkan kekerasan verbal di adegan murid berseragam sekolah tengah menghina temannya dengan kalimat, "bokap lo itu miskin dan gembel". Masih banyak lagi kekerasan-kekerasan yang ditampilkan di televisi.
Kalo kita perhatikan, baik televisi hiburan maupun televisi berita, sama-sama kerap menyuguhkan kekerasan di layar kaca. Kalo televisi hiburan lebih banyak kekerasan fisik dan verbal. Sementara televisi berita menayangkan kekerasan visual. Dengan alasan visual eksklusif, stasiun televisi berita seolah lupa akan Kode Etik Jurnalistik maupun peraturan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Pedoman Siaran (SPS) KPI. Lagi-lagi, semua mereka lakukan tak lain demi “Tuhan” bernama share dan rating.
Salam Etika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H