Mohon tunggu...
Ben Wirawan
Ben Wirawan Mohon Tunggu... -

left brain and right brain hemisphere thinker -driven by guts.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalau Bukan Karena Ibuku, Mungkin Pesawat Itu Sudah....

31 Januari 2016   08:53 Diperbarui: 31 Januari 2016   09:52 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya yakin, puluhan penumpang pesawat Foker 28 itu pasti berpegangan erat pada pegangan kursi masing-masing. Pasti tidak banyak orang yang sempat berpikir jernih untuk segera mengambil posisi menunduk darurat seperti yang digambarkan di leflet penerbangan yang terselip di depan kursi masing-masing. Anak-anak kecil pasti meringis menahan tangis -membuat kusut suasana yang sebenarnya sudah kalut tanpa tangisan mereka. Dan detik-detik itu, semua orang tua di dalam pesawat pasti merasakan perasaan terburuk yang pernah ada di hati mereka : perasaan tidak berdaya untuk menyelamatkan nyawa anak-anaknya.

Kecelakaan seperti ini memang tidak terduga. Cuaca saat itu cukup terang. Pesawat melayang gentle menuju runway. Ban menyentuh aspal tanpa hentakan yang berlebihan. Dalam skala 1:10, mungkin pendaratan itu layak diberi nilai 8. Penumpang-penumpang yang muslim, mungkin sudah melafalakan hamdalah di ujung lidahnya. Tapi beberapa detik kemudian terjadi bunyi patahan yang luar biasa keras yang diiringi dengan getaran hebat pada badan badan pesawat. Hamdallah di ujung lidah mungkin dengan cepat berubah menjadi seruan takbir.

Tidak ada orang yang bakal menyangka bahwa ban pesawat yang baru saja menyentuh bandar udara Hasanudin Ujung Pandang itu bakal patah. Bukan meletus. Patah! Ban kanan pesawat buatan Belanda ini patah pada batang penyangganya. Yang membuat keadaan lebih buruk adalah -patahan ban yang ukurannya hampir sebesar mobil kecil ini kemudian mencelat ke belakang -merusak mesin kanan pesawat dan kembali memantul ke depan dan merusak ‘flaps‘ kanan pesawat (bagian sayap pesawat yang bisa bergerak naik turun). Dengan rusaknya mesin kanan dan flaps kanan pesawat, maka kemampuan pengereman pesawat bisa dikatakan tinggal separuhnya.

Tapi cerita mereka belum berakhir. Nyawa mereka masih menggantung di lengan takdir Allah SWT -dan usaha dua orang yang duduk di kursi paling depan : Sang Pilot dan Co-Pilot. Kedua orang ini tahu sekali tanggung jawab yang disandarkan di bahu setiap penerbang. Mereka tahu, hanya mereka yang bisa membuat perbedaan pada akhir cerita ini.

This is the moment. Ratusan kredit yang dilahap di dalam sekolah penerbang, puluhan jam simulator yang melelahkan, dan pengalaman yang terkumpul dari ratusan jam terbang di dalam kokpit -akhirnya akan menentukan putus tidaknya nyawa puluhan orang yang duduk tidak berdaya di belakang. Are they good enough? I don’t know.

What I do know is : Tuhan Maha Pemurah. Hari itu, semua penumpang dititipkan pada dua orang terbaik-Nya. Sang Pilot dan Co-Pilot, dengan koordinasi yang mengagumkan, melakukan all the things ‘humanly possible’ untuk menyelamatkan jiwa semua manusia yang berada di pesawatnya. Mereka memutar balik arah putaran mesin yang tersisa, mengalihkan daya dorong mesin ke arah belakang. Sambil bersama-sama mengembangkan flaps untuk menambah daya henti pesawat. Dua orang ini memang layak duduk di kursi depan pesawat.

Tapi ada satu hal lain yang juga membuat kisah ini lebih ngilu untuk dikenang. Pangkal batangan ban di sayap kanan yang menghujam aspal, memaksa pesawat membelok ke arah kanan -keluar dari runway. Di satu sisi, sisa patahan ini secara langsung membantu pesawat mengurangi kecepatannya, di sisi lain justru mengarahkan pesawat langsung ke arah menara komunikasi airport. Gawat! “Pesawat dengan ban patah menabrak menara komunikasi di Ujung Pandang.” begitu mungkin headline terburuk yang bisa saja diterbitkan esok harinya.

Anyway, saya tidak ingat cerita selanjutnya. Kejadian ini terjadi belasan tahun yang lalu. Sudah agak lupa saya dengan detailnya. Yang jelas, headline ‘Pesawat menabrak tower’ itu tidak pernah dicetak. Yang ada adalah berita di RCTI tentang pesawat yang keluar dari runway dan berhenti beberapa puluh meter di depan menara bandara. “Wogh”, komentar saya malam itu. “Serem banget.” Anehnya pada pagi harinya, berita ini tidak muncul lagi di stasiun TV manapun. Begitu juga di berita siang dan sore. Aneh. Ada apa?

Cerita ini menjadi lebih jelas ketika Si Co-Pilot pulang ke rumah ibunya dua hari kemudian.. Kebetulan saya juga sedang menginap di sana. Kaget juga saya, ketika kakak saya pulang ke rumah dengan tatapan mata yang agak kosong. Dia berkata dengan nada lurus, “Pesawat Arry hampir nabrak menara …..” Lalu dia masuk kamar mandi, ganti baju, kemudian makan malam sambil bercerita sepotong-sepotong tentang kecelakaan di Ujung Pandang. Dengkul saya ikut lemas. Ternyata pesawat yang saya lihat di TV kemarin adalah pesawat kakak saya.

Saya masih sempat menemani kakak saya selama beberapa hari sesudah kecelakaan. Dia cerita bahwa semua kru pesawat tersebut di-grouded beberapa bulan kedepan. Semua kru juga harus bolak-balik ke psikolog perusahaan. Harus dipastikan bahwa tidak ada trauma menetap sebelum mereka semua mulai boleh terbang kembali.

Saya bahkan sempat bertanya ”Lu yakin mau terbang lagi?” Dia jawab .”Iya lah. Tapi nanti. Kalau udah diijinkan lagi. Sekarang sih istirahat dulu aja.” Kemudian saya berubah wujud menjadi tong sampah sementara untuk dia. Segala macam cerita menyeramkan dan istilah penerbangan dia guyurkan ke saya. Waduhh … epic … scary. Menariknya, semakin sering saya mendengarkan dia, semakin saya yakin bahwa kakak saya adalah pilot yang luar biasa. Untung pesawat di Ujung Pandang itu dia yang bawa. Di tangan orang lain, mungkin menara di Ujung Pandang itu harus dibangun ulang. Well … selamat-tidak-selamat sih di tangan Allah. Tapi jalan keselamatan kadang-kadang dilewatkan Allah lewat manusia-manusia macam kakak saya ini.

Tahu tidak? Seumur hidupnya, kakak saya ini cuman pernah punya satu cita-cita. Sejak dia dibelikan komik ‘Tanguy and Laverdure‘ oleh bapak saya (itu loh komik pilot militer perancis yang ganteng tea), dia sudah menentukan karirnya : kalau gede mau jadi pilot. Sejak itu pula Ibu saya tidak pernah mengijinkan dia makan permen terlalu banyak. Tidak seperti saya yang gerahamnya bolong-bolong -gigi dia mulus kayak menara gading. Kalau dia malas sikat gigi, Ibu saya selalu ngancam dengan kalimat “masih mau jadi pilot?”

Dan emang dia kelihatan berbakat urusan terbang-terbangan ini. Saya adalah saksi bakat terpendamnya. Saya pernah melihat dia mendaratkan sebuah pesawat stealth dari Rusia sampai ke Balkan, dengan mesin yang rusak parah -tentu saja ini terjadi di dalam game simulasi komputer F117A. Jauh banget lah sama saya. Saya sih pakai mesin bagus aja ‘stall‘ melulu. Gak bakat.

Pada dasarnya dia itu pintar, tapi juga nakal. Dia pernah di-skors tiga kali selama masa SMA. Satu -karena lempar-lempar makanan di dalam ruang kelas, dua -karena menyikut guru di lapangan basket (kata dia sih gak sengaja, *tau’ deh) dan yang ketiga karena pakai payung ketika upacara bendera (menurut saya sih ide jenius, tapi ternyata gak boleh menurut aturan sekolah). Dasar katro, eweuh gawe mun ceuk urang sunda mah. Tapi rekor skorsing dia yg luar biasa itu juga yang membuat saya dianggap sebagai anak yang lebih bageur dalam keluarga (saya cuman pernah di-skors dua kali jaman SMA -masih lebih baik). Ibu saya sabar sekali ya :)

Ketika lulus SMA, tentu dia langsung melamar ke sekolah penerbang ternama milik pemerintah Indonesia. Dan benar saja, semua tes dia lewati dengan sukses. Singkat kata, dia akhirnya dapat surat penerimaan dari sekolah idamannya.

Tapi bukan Indonesia kalau semua berjalan mulus -tanpa bumbu. Tiba-tiba dia dihubungi sekolahnya, lalu diminta untuk ikut satu tes lain. Tentu dia protes, kan dia sudah dapat surat penerimaan sekolah -kenapa juga harus dites lagi? Dengan mengkel, kakak saya datang ke tes ‘tambahan’ itu. Tes-nya culun : dia disuruh jalan lurus mengikuti garis di lantai. Sesudah itu disuruh pulang. Dia langsung punya firasat buruk, mana mungkin tes terakhir justru paling mudah. Pasti ada apa-apa.

Benar saja. Beberapa hari kemudian dia diberi kabar bahwa dia tidak jadi diterima di sekolah sana tanpa alasan yang jelas. Kakak saya sangat terpukul. Dia memang tidak pernah mengakuinya, tapi saya bisa lihat dari cahaya di matanya. Berulang kali dia menelepon ke pejabat di departemen perhubungan untuk menanyakan alasan kenapa dia dicoret dari calon siswa penerbang. Semua menolak menjawab. Intinya keputusan sudah dibuat oleh negara. Kamu terima saja, boy! Begitulah kehidupan di jaman pak Harto. Piye kabare, Pa?

Melihat anaknya hancur pelan-pelan, Ibu saya tidak bisa tinggal diam. Dia membuat surat pengaduan yang dialamatkan pada menteri perhubungan. Dia minta dibuatkan endorsement dari uwak saya yang sebenarnya pejabat pemerintah juga. Orang main kayu harus dilawan pakai kayu juga, -khas Orde Baru. Kali ini giliran ibu saya yang datang menghubungi pejabat departemen perhubungan. Dia mengancam, kalau dephub tidak bisa menjelaskan alasan mengapa anaknya ditolak, maka surat komplain ini akan langsung dikirimkan ke pak menteri. Karena diancam, akhirnya orang departemen perhubungan itu membuka alasan sebenarnya kenapa tiba-tiba muncul tes susulan dan perihal beberapa siswa yang tiba-tiba digugurkan dari penerimaan di sekolah penerbang itu.

Alasannya adalah karena kakak saya tidak punya ‘backing’!Kemudian dia memperlihatkan buku yang berisi list calon siswa yang diterima, ada beberapa ‘tanda bintang’ pada beberapa nama di sana. Tanda bahwa nama itu titipan pejabat! Ohhh …. ini dia yang menyebabkan tiba-tiba kakak saya (dan beberapa calon siswa lain) ditendang keluar. Dia malah berkata begini ke ibu saya,”Aduuh … ibu kalau ibu punya backing begini (sambil menunjuk surat dari uwak saya), kenapa ibu tidak bilang dari awal.”

Ibu saya yang sabar itu akhirnya naik pitam. Bapak Dephub itu diberi kuliah. “Keterlaluan. Saya kecewa pada Dephub. Anak-anak yang melamar di sekolah bapak itu adalah orang-orang yang suatu saat bertanggung jawab terhadap nyawa ribuan orang yang akan mereka terbangkan. Lalu bapak di sini memilih mereka berdasarkan berapa banyak bintang yang mem-backing anak tersebut? Bukan berdasarkan kemampuan dan kepantasan setiap siswa? Apa bapak tidak merasa bertanggung jawab juga terhadap nyawa penumpang pesawat di Indonesia? Keterlaluan!” Karena tidak puas atas jawaban Dephub, Ibu saya justru meyakinkan pada pejabat dephub tersebut bahwa surat kepada menteri justru harus diberikan, karena alasan dephub justru sangat tidak bisa diterima akal.

Jelas saat itu, praktek backing membacking ini adalah sesuatu yang jamak terjadi di sana. Ancaman ibu saya membuat ‘si oknum’ kalang kabut. Dia memohon-mohon agar surat tersebut tidak perlu sampai ke tangan menteri. Dia mencoba memberikan solusi bagi kakak saya. Kakak saya akan dicarikan cara agar dapat untuk ikut test sekolah penerbang di tempat lain. Tapi berarti kakak saya harus mengikuti tes penerbang dari tahap awal lagi : tes bahasa inggris dan sebagainya. Ibu saya akhirnya memilih opsi kedua. Sebagai seorang ibu, dia merasa berkewajiban memberikan peluang yang adil bagi anaknya. Kebetulan ternyata ada tes penerbang lain di bawah sebuah perusahaan nasional. Mungkin ini akan lebih memberikan peluang yang adil untuk kakak saya.

Benar saja, seperti karakter favoritnya -Tanguy, dia lewati semua tes penerbang tanpa tanpa masalah berarti. Dia kemudian berhak mendapatkan beasiswa puluhan ribu dolar untuk bersekolah di sebuah penerbang bergengsi di New Zealand. Dia lulus tepat waktu di sana. Mantan anak SMA yang terlalu sering di-skors itu menjelma menjadi murid teladan di bidangnya. Dia meraih predikat ‘Top Academic‘ and ‘2nd Best Flyers‘ di angkatannya. Pulang ke Indonesia dia langsung terikat kontrak 5 tahun dengan maskapai yang membiayainya sekolah ke NZ.

Beberapa tahun kemudian dia duduk di kursi paling depan pesawat Fokker 28 menuju Ujung Pandang. Tuhan memilih dua orang terbaiknya untuk menghadapi takdir pahit hari itu. Dibutuhkan dua orang dengan kemampuan di atas rata-rata untuk menyelamatkan puluhan orang di kursi penumpang. Dibutuhkan orang yang mencintai pekerjaannya untuk dapat mengubah akhir cerita penerbangan itu. Bukan soerang anak pejabat teras atau orang dengan sebuah tanda bintang membacking namanya. Alhamdulillah, terima kasih Ibuku sayang. Kalau bukan karena kekerasan hati dirimu, mungkin … pagi itu headline berita koran-koran di Indonesia akan jauh lebih memilukan hati.

—————

ditulis untuk keluarga saya yang fabulous: bapak saya yang tenang tapi menghanyutkan, ibu saya : pegawai negeri yang benci korupsi -dan kakak saya yang mengajari saya cara untuk berkeras kepala: suatu hal yang dulu sulit saya lakukan.

PS :

*) hasil investigasi resmi menyebutkan batang ban pesawat naas tersebut patah diakibatkan ‘metal fatique’ / kelelahan metal. Kesalahan ada pada ground maintenance yang lalai mengganti batangan yang sudah lemah.

*) berita kecelakaan ini hanya sempat masuk RCTI malam harinya. Semua kantor berita lain berhasil ditutup mulutnya oleh pemerintahan saat itu. Hal yang tidak mungkin terjadi di era sekarang. Bersyukurlah!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun