Beberapa tahun kemudian dia duduk di kursi paling depan pesawat Fokker 28 menuju Ujung Pandang. Tuhan memilih dua orang terbaiknya untuk menghadapi takdir pahit hari itu. Dibutuhkan dua orang dengan kemampuan di atas rata-rata untuk menyelamatkan puluhan orang di kursi penumpang. Dibutuhkan orang yang mencintai pekerjaannya untuk dapat mengubah akhir cerita penerbangan itu. Bukan soerang anak pejabat teras atau orang dengan sebuah tanda bintang membacking namanya. Alhamdulillah, terima kasih Ibuku sayang. Kalau bukan karena kekerasan hati dirimu, mungkin … pagi itu headline berita koran-koran di Indonesia akan jauh lebih memilukan hati.
—————
ditulis untuk keluarga saya yang fabulous: bapak saya yang tenang tapi menghanyutkan, ibu saya : pegawai negeri yang benci korupsi -dan kakak saya yang mengajari saya cara untuk berkeras kepala: suatu hal yang dulu sulit saya lakukan.
PS :
*) hasil investigasi resmi menyebutkan batang ban pesawat naas tersebut patah diakibatkan ‘metal fatique’ / kelelahan metal. Kesalahan ada pada ground maintenance yang lalai mengganti batangan yang sudah lemah.
*) berita kecelakaan ini hanya sempat masuk RCTI malam harinya. Semua kantor berita lain berhasil ditutup mulutnya oleh pemerintahan saat itu. Hal yang tidak mungkin terjadi di era sekarang. Bersyukurlah!
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H