Tahu tidak? Seumur hidupnya, kakak saya ini cuman pernah punya satu cita-cita. Sejak dia dibelikan komik ‘Tanguy and Laverdure‘ oleh bapak saya (itu loh komik pilot militer perancis yang ganteng tea), dia sudah menentukan karirnya : kalau gede mau jadi pilot. Sejak itu pula Ibu saya tidak pernah mengijinkan dia makan permen terlalu banyak. Tidak seperti saya yang gerahamnya bolong-bolong -gigi dia mulus kayak menara gading. Kalau dia malas sikat gigi, Ibu saya selalu ngancam dengan kalimat “masih mau jadi pilot?”
Dan emang dia kelihatan berbakat urusan terbang-terbangan ini. Saya adalah saksi bakat terpendamnya. Saya pernah melihat dia mendaratkan sebuah pesawat stealth dari Rusia sampai ke Balkan, dengan mesin yang rusak parah -tentu saja ini terjadi di dalam game simulasi komputer F117A. Jauh banget lah sama saya. Saya sih pakai mesin bagus aja ‘stall‘ melulu. Gak bakat.
Pada dasarnya dia itu pintar, tapi juga nakal. Dia pernah di-skors tiga kali selama masa SMA. Satu -karena lempar-lempar makanan di dalam ruang kelas, dua -karena menyikut guru di lapangan basket (kata dia sih gak sengaja, *tau’ deh) dan yang ketiga karena pakai payung ketika upacara bendera (menurut saya sih ide jenius, tapi ternyata gak boleh menurut aturan sekolah). Dasar katro, eweuh gawe mun ceuk urang sunda mah. Tapi rekor skorsing dia yg luar biasa itu juga yang membuat saya dianggap sebagai anak yang lebih bageur dalam keluarga (saya cuman pernah di-skors dua kali jaman SMA -masih lebih baik). Ibu saya sabar sekali ya :)
Ketika lulus SMA, tentu dia langsung melamar ke sekolah penerbang ternama milik pemerintah Indonesia. Dan benar saja, semua tes dia lewati dengan sukses. Singkat kata, dia akhirnya dapat surat penerimaan dari sekolah idamannya.
Tapi bukan Indonesia kalau semua berjalan mulus -tanpa bumbu. Tiba-tiba dia dihubungi sekolahnya, lalu diminta untuk ikut satu tes lain. Tentu dia protes, kan dia sudah dapat surat penerimaan sekolah -kenapa juga harus dites lagi? Dengan mengkel, kakak saya datang ke tes ‘tambahan’ itu. Tes-nya culun : dia disuruh jalan lurus mengikuti garis di lantai. Sesudah itu disuruh pulang. Dia langsung punya firasat buruk, mana mungkin tes terakhir justru paling mudah. Pasti ada apa-apa.
Benar saja. Beberapa hari kemudian dia diberi kabar bahwa dia tidak jadi diterima di sekolah sana tanpa alasan yang jelas. Kakak saya sangat terpukul. Dia memang tidak pernah mengakuinya, tapi saya bisa lihat dari cahaya di matanya. Berulang kali dia menelepon ke pejabat di departemen perhubungan untuk menanyakan alasan kenapa dia dicoret dari calon siswa penerbang. Semua menolak menjawab. Intinya keputusan sudah dibuat oleh negara. Kamu terima saja, boy! Begitulah kehidupan di jaman pak Harto. Piye kabare, Pa?
Melihat anaknya hancur pelan-pelan, Ibu saya tidak bisa tinggal diam. Dia membuat surat pengaduan yang dialamatkan pada menteri perhubungan. Dia minta dibuatkan endorsement dari uwak saya yang sebenarnya pejabat pemerintah juga. Orang main kayu harus dilawan pakai kayu juga, -khas Orde Baru. Kali ini giliran ibu saya yang datang menghubungi pejabat departemen perhubungan. Dia mengancam, kalau dephub tidak bisa menjelaskan alasan mengapa anaknya ditolak, maka surat komplain ini akan langsung dikirimkan ke pak menteri. Karena diancam, akhirnya orang departemen perhubungan itu membuka alasan sebenarnya kenapa tiba-tiba muncul tes susulan dan perihal beberapa siswa yang tiba-tiba digugurkan dari penerimaan di sekolah penerbang itu.
Alasannya adalah karena kakak saya tidak punya ‘backing’!Kemudian dia memperlihatkan buku yang berisi list calon siswa yang diterima, ada beberapa ‘tanda bintang’ pada beberapa nama di sana. Tanda bahwa nama itu titipan pejabat! Ohhh …. ini dia yang menyebabkan tiba-tiba kakak saya (dan beberapa calon siswa lain) ditendang keluar. Dia malah berkata begini ke ibu saya,”Aduuh … ibu kalau ibu punya backing begini (sambil menunjuk surat dari uwak saya), kenapa ibu tidak bilang dari awal.”
Ibu saya yang sabar itu akhirnya naik pitam. Bapak Dephub itu diberi kuliah. “Keterlaluan. Saya kecewa pada Dephub. Anak-anak yang melamar di sekolah bapak itu adalah orang-orang yang suatu saat bertanggung jawab terhadap nyawa ribuan orang yang akan mereka terbangkan. Lalu bapak di sini memilih mereka berdasarkan berapa banyak bintang yang mem-backing anak tersebut? Bukan berdasarkan kemampuan dan kepantasan setiap siswa? Apa bapak tidak merasa bertanggung jawab juga terhadap nyawa penumpang pesawat di Indonesia? Keterlaluan!” Karena tidak puas atas jawaban Dephub, Ibu saya justru meyakinkan pada pejabat dephub tersebut bahwa surat kepada menteri justru harus diberikan, karena alasan dephub justru sangat tidak bisa diterima akal.
Jelas saat itu, praktek backing membacking ini adalah sesuatu yang jamak terjadi di sana. Ancaman ibu saya membuat ‘si oknum’ kalang kabut. Dia memohon-mohon agar surat tersebut tidak perlu sampai ke tangan menteri. Dia mencoba memberikan solusi bagi kakak saya. Kakak saya akan dicarikan cara agar dapat untuk ikut test sekolah penerbang di tempat lain. Tapi berarti kakak saya harus mengikuti tes penerbang dari tahap awal lagi : tes bahasa inggris dan sebagainya. Ibu saya akhirnya memilih opsi kedua. Sebagai seorang ibu, dia merasa berkewajiban memberikan peluang yang adil bagi anaknya. Kebetulan ternyata ada tes penerbang lain di bawah sebuah perusahaan nasional. Mungkin ini akan lebih memberikan peluang yang adil untuk kakak saya.
Benar saja, seperti karakter favoritnya -Tanguy, dia lewati semua tes penerbang tanpa tanpa masalah berarti. Dia kemudian berhak mendapatkan beasiswa puluhan ribu dolar untuk bersekolah di sebuah penerbang bergengsi di New Zealand. Dia lulus tepat waktu di sana. Mantan anak SMA yang terlalu sering di-skors itu menjelma menjadi murid teladan di bidangnya. Dia meraih predikat ‘Top Academic‘ and ‘2nd Best Flyers‘ di angkatannya. Pulang ke Indonesia dia langsung terikat kontrak 5 tahun dengan maskapai yang membiayainya sekolah ke NZ.