Dengan memperhatikan tren positif tersebut, kita tentunya patut optimis bahwa Pertamina akan mencetak laba di akhir tahun.
Periode Februari-April 2020 lalu, bisa dikatakan memang masa terburuk bagi Pertamina. Dengan berbagai kondisi yang disebutkan di atas, perusahaan minyak ini mengalami kerugian rata-rata hingga 500 juta USD tiap bulannya.
Menghadapi itu, manajemen Pertamina segera sigap dengan mengambil langkah efisiensi di berbagai lini. Diantaranya dengan melakukan kebijakan efisiensi belanja operasional (opex), pemotongan belanja modal (capex), melakukan skala prioritas untuk proyek-proyek strategis, dan juga refinancing.
Strategi ini pun cukup berhasil, sehingga bisa menghindari kerugian berlanjut dan mulai mencetak laba hingga 350 juta dollar AS per Mei 2020.
Langkah yang diambil Pertamina itu pun mendapatkan apresiasi dari beberapa pihak. Salah satunya dari peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra P G Talattov.
Ia menilai, kebijakan manajemen Pertamina terbukti efektif menjaga BUMN energi tersebut tetap bertahan dalam situasi sangat sulit.
Sebab, saat pandemi hampir seluruh perusahaan minyak dan gas dunia mengalami kerugian besar, bahkan nilainya tersebut jauh di atas Pertamina yang sebesar Rp11 triliun.
Misalnya, perusahaan migas Total merugi US$8,4 miliar atau sekitar Rp123 triliun, Shell US$18,4 miliar atau sekitar Rp270,4 triliun. Kemudian Exxon Mobil merugi hingga US$1,03 miliar, BP rugi US$6,7 miliar.
Yang cukup membanggakan, di tengah badai ekonomi seperti itu, Pertamina tetap bisa menjalankan penugasan dalam distribusi BBM dan LPG ke seluruh pelosok negeri, serta menuntaskan proyek strategis nasional seperti pembangunan kilang.
Ditambah dengan tidak adanya PHK karyawan besar-besaran. Dua hal itu sudah cukup untuk menunjukan Pertamina tidak seburuk yang dipikirkan sebagian orang.
Diakui atau tidak, dengan kerja keras seluruh manajemen dan karyawan, kinerja Pertamina kini mulai pulih kembali. Ini merupakan kabar gembira yang patut untuk segera disebarluaskan.