Pertamina kembali menjadi sorotan publik akhir-akhir ini. Kali ini tidak terkait dengan isu harga BBM, tapi berkaitan dengan isu holding dan subholding di perusahaan migas tersebut.
Sebagaimana diketahui, jajaran direksi baru PT Pertamina langsung tancap gas dengan membentuk lima subholding perusahaan untuk menindaklanjuti hasil rapat umum pemegang saham (RUPS) yang digelar akhir pekan lalu.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, jajarannya telah membentuk holding migas yang terdiri dari lima subholding dan satu shipping company. Diantaranya, subholding untuk bisnis hulu, pengolahan dan petrokimia, komersial dan pemasaran, serta kelistrikan dan energi baru terbarukan. Plus, bisnis perkapalan yang sudah eksis sebelumnya.
Sebagian pihak menilai, pembentukan holding dan subholding itu merupakan langkah awal untuk memprivatisasi Pertamina. Indikasinya terlihat dari rencana strategis ke depan yang akan menjual saham perdananya ke bursa (Initial Public Offering/IPO).
Tak hanya itu, pembentukan subholding ini juga ditengarai tidak sesuai dengan mandat konstitusi. Terutama dalam bab pengelolaan komoditas strategis demi kemaslahatan rakyat.
Bahkan warganet banyak yang berteriak bila pembentukan subholding Pertamina ini terkait dengan usaha menjual BUMN ke pihak asing.
Simpang siur kabar terkait holding dan subholding Pertamina ini bisa menjadi bola liar yang panas jika tak segera diluruskan.
Yang pasti, publik berhak menerima penjelasan yang logis, mengapa subholding Pertamina perlu dibentuk saat ini, sekaligus meninjaunya dari perspektif hukum dan perundang-undangan.
Mengapa Perlu Ada Holding dan Subholding?
Perubahan bentuk (transformasi) dalam dunia bisnis itu sangat wajar. Biasanya dilakukan untuk merespon dinamika usaha, sekaligus mengatasi beberapa problem di dalam bisnis itu sendiri.
Begitu pula dengan langkah perombakan lini bisnis Pertamina saat ini. Dari yang semula dipegang oleh satu induk Pertamina keseluruhan, sekarang dipecah menjadi beberapa perusahaan yang lebh spesifik.