pendidikan, termasuk di antaranya pemberlakuan lagi Ujian Nasional atau UN. Â Â
Ujian Nasional (UN) yang beberapa tahun terakhir sudah jarang dibicarakan semenjak dilantiknya Mendikdasmen dalam Kabinet Merah Putih mulai hangat dibahas di ruang publik. Pak Mendikdasmen, Prof Abdul Mu'ti, M.Ed  yang baru saja dilantik sudah disuguhi segudang problemaTuntutan pemberlakuan UN kembali muncul dari sebagian masyarakat. Tuntutan tersebut juga muncul dari sebagian guru yang memperhatikan perubahan anak didiknya sehari-hari. Mereka beranggapan pasca penghapusan UN, terlihat perubahan drastis anak didik dalam proses pembelajaran. Kriteria kelulusan yang begitu longgar pada ujungnya membuat mereka santai dan cenderung menganggap enteng kegiatan belajar. Hal yang logis, untuk apa belajar jika tidak belajar pun lulus.
Di sisi lain, para pengamat pendidikan berpendapat penghapusan UN dipandang sebagai langkah maju. Berbagai teori mereka sampaikan yang intinya UN tidak baik bagi anak-anak. UN sebagai wadah untuk merusak integritas kepsek, guru dan siswa. UN menumbuhsuburkan lembaga-lembaga bimbingan belajar. UN wadah untuk memunculkan jasa joki. UN akan meninggikan angka stres dan kematian pada siswa. Dan, masih banyak lagi pendapat yang intinya UN tidak baik bagi anak.
Tentu pendapat mereka tidak salah, namun juga tidak seluruhnya benar. Mereka tidak tahu kondisi lapangan yang sebenarnya. Ketika mereka tahu motivasi belajar anak turun, mereka akan menyuguhkan teori, guru seharusnya begini, guru seharusnya begitu, dan seterusnya. Pokoknya teori-teori yang jos gandos khususnya di ruang-ruang seminar. Â Â
Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya guru sudah tidak kurang cara dalam membangun motivasi anak didiknya. Namun apa pun yang dilakukan guru ketika si anak tidak punya motivasi dari dalam dirinya (intrinsik), motivasi tinggal motivasi. Ibarat bertepuk sebelah tangan.
Jadi, tidak salah jika sebagian guru ada yang menginginkan UN atau apalah namanya untuk diberlakukan kembali. Mereka berpandangan UN masih dianggap sebagai alat yang dapat memaksa anak untuk memotivasi diri dalam belajar.
Maka, pro dan kontra tentang UN tidak perlu diperdebatkan tetapi yang lebih penting bagaimana dan dengan media apa agar motivasi belajar tumbuh kuat pada diri anak.
Antara Belajar dan Main Game
Bayangkan seandainya motivasi belajar anak sama kuatnya seperti ketika main game. Sebagian besar anak betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar untuk main game sementara ketika belajar dalam hitungan menit mereka sudah merasa jenuh. Mengapa bisa demikian?
Ada beberapa hal yang menyebabkan main game itu mengasyikkan, diantaranya adalah: ada target yang jelas agar naik level, mereka menikmati prosesnya, dan kalau gagal selalu ada kesempatan untuk mengulang. Tiga hal itulah yang menyebabkan main game menjadi pengalaman yang seru dan membuat anak ketagihan.
Pertama, target yang jelas. Setiap anak yang main game pasti mempunyai target. Targetnya, menang dan naik level. Demikian juga dalam hidup apa yang ingin kita capai harus jelas. Permasalahannya, anak didik kita sebagian tidak punya target dalam belajarnya. Suatu hari ketika saya bertanya tentang cita-cita kepada siswa kelas 6 mereka bingung. Belum ada gambaran akan menjadi apa kelak ketika dewasa. Dari 30 anak rata-rata menjawab ingin menjadi youtuber. Mereka menganggap youtuber cara mudah menghasilkan uang saat ini. Ketidakjelasan target mengakibatkan hidup mengambang. Akhirnya, hidup tidak terarah, hanya mengalir saja tanpa tujuan.