Ketika pejabat di pusat sibuk dengan silang sengketa tentang impor bahan pangan (beras), pemuda di Desa Wanayasa, Bajarnegara justru mempunyai cara sendiri untuk menjadikan singkong sebagai alternatif bahan pangan. Ya, singkong. Siapa yang tak mengenal singkong?
Singkong adalah tanaman khas nusantara yang banyak tumbuh di lahan pertanian warga. Di beberapa daerah orang menyebut tanaman umbi-umbian ini dengan nama yang berbeda. Di wilayah Banyumas Raya ada yang menyebut pohung, budin, atau boled Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan ketela pohon atau ubikayu. Sedangkan dalam bahasa Inggris tanaman ini disebut cassava.
Hingga kini masih banyak petani yang mempertahankan tanaman pangan yang satu ini. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan antara lain, singkong mudah beradaptasi dengan berbagai kondisi tanah dan cuaca. Di lahan tandus yang tak ramah bagi tanaman lain, singkong mampu bertahan bahkan bisa tumbuh subur.
Di samping itu cara menanamnya juga sangat mudah. Cukup tancapkan potongan batang singkong (stek batang), maka tanaman ini akan tumbuh dengan sendirinya. Tidak dibutuhkan perawatan ekstra seperti tanaman lainnya. Mungkin hal ini yang mengilhami grup musik legendaris Koes Plus mengabadikan dalam salah satu syair lagunya. " ... orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman ..."
Alasan lainnya, singkong dapat diolah sebagai makanan pokok seperti tiwul atau gaplek. Bahan baku ini juga dapat diolah menjadi bermacam jenis makanan tradisional misalnya getuk, keripik, lanting, tape dan sebagainya. Di Banjarnegara singkong banyak diolah menjadi ondol, makanan yang menjadi ciri khas daerah ini. Â
Ondol adalah cemilan berbentuk bulat seperti bakso dengan  rasa gurih yang kental. Di Kecamatan Wanayasa, ondol mempunyai kedudukan tersendiri sebagai bagian dari kebudayaan lokal. Warga tak segan mengekpresikan ondol sebagai ikon kearifan lokal dalam sebuah festival bertajuk "Kuduran Budaya."
Pesta rakyat Kuduran Budaya sudah menjadi agenda rutin warga Wanayasa. Acara ini merupakan buah dari kreatifitas pemuda yang tergabung dalam wadah Seniman Muda Wanayasa (Sendawa). Menurut Mas Neono  - si penggagas acara - kata kuduran diambil dari kosakata setempat yang bermakna semangat gotong-royong. Sebab kegiatan diselenggarakan secara gotong-ronyong dari, oleh dan untuk warga masyarakat.
Festival  Kuduran Budaya X tahun ini. berlangsung selama tiga hari sejak Jumat (21/9) dengan agenda acara sebagai berikut:
Hari pertama, 21 September 2018, pukul 13.00 Aksi Donor Darah dan pentas kesenian rakyat kuda kepang. Kemudian, malamnya pukul 19.30 disuguhkan musik rebana dalam "Gema Rebana." Acara ini menghadirkan grup-grup rebana yang ada di Desa Wanayasa dan sekitarnya.
Pada hari kedua, 22 September 2018, ada beberapa mata acara yang digelar, diawali pukul 08.30 Mbedhul Singkong dan Mlampah Samparan, Â 13.00 Wedding Vaganza dan Pacuan Kuda Kepang, 19.30 Sedekah Nada dan 23.00 Pemulukan Lampion Impian.