Mohon tunggu...
Rokhman
Rokhman Mohon Tunggu... Guru - Menulis, menulis, dan menulis

Guru SD di Negeri Atas Awan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Idul Fitri dan Jati Diri Manusia

5 Juli 2016   10:13 Diperbarui: 5 Juli 2016   10:41 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diogenes Laertius, sewot gara-gara belum menemukan jawaban yang memuaskan atas masalahnya, yaitu apakah manusia itu. Siapakah manusia itu. Dalam pencarian jawaban atas masalah itu, ia ke sana kemari di siang bolong membawa obor. Filsuf yang hidup ribuan tahun silam itu, benar-benar mencari si manusia seperti mencari barang yang hilang.

Bayangkan seandainya hal itu terjadi sekarang. Pasti semua orang tanpa pikir panjang akan menuduh bahwa si filsuf itu tidak beres. Tapi, begitulah seorang filsuf selalu mencari kebenaran hakiki menurut caranya.

Jati diri manusia terlukis dalam kisah terciptanya Nabi Adam As. Sesuai petunjuk Alquran, dia terbuat dari tanah. Kemudian ditiupkan ruh, lalu ... kun fayakun, jadilah Adam. Tulang iga Adam bagian bawah yang bengkok itu lalu dicipta menjadi manusia perempuan bernama Hawa.

Keduanya hidup di surga dengan tenang cukup hanya mengingat satu pesan : Jangan dekat-dekat dengan pohon khuldi. Tapi kemudian datang Iblis yang berhasil memperdaya Hawa, lalu terbuai juga Adam, dan keduanya menikmati buah larangan tersebut. Akibatnya fatal : Pasangan itu diusir dari negeri yang nyaman ke atas dunia yang penuh sengketa dan fana.

Orang beriman pasti ingat bahwa Nabi Adam memang dicipta untuk menjadi penghuni dunia yang hingar bingar ini. Ingat, ketika Tuhan berfirman kepada para Malaikat, bahwa Dia akan menciptakan khalifah da atas muka bumi. Perkara Nabi Adam ditempatkan di surga sebelumnya hanyalah proses. Mungkin itu bisa dipahami dengan pendekatan bayi tabung, atau lebih dari itu : Bioteknologi.

Adam adalah manusia yang dicipta dengan bio teknologi supra canggih.  Tanah merupakan bahan bakunya. Setelah cukup usia Allah mengajarkan kepadanya tentang segala nama (QS Al Baqarah : 31). Mengapa nama? Sebab ia merupakan lambang dari pengertian-pengertian. Ia adalah latar belakang dari ilmu pengetahuan.

Ungkapan itu adalah hanya untuk mengantar bahwa kejadian asal-usul manusia adalah iradat Allah Swt. Karena itu, maka manusia hakekatnya adalah hamba Allah. Hamba Allah yang harus menjadi tauladan, yang didorong untuk tetap memelihara sifat-sifat utama dan tetap memiliki semangat tinggi sebagai umat yang terbaik.

Melalui dakwah kepada manusia disampaikan berita gembira yang menggambarkan nilai-nilai kejadiannya sendiri dan martabatnya di antara seluruh makhluk lainnya, bahwa manusia diciptakan paling sempurna dari struktur jasmaniah dan rokhaniahnya dibanding dengan makhluk yang lain. 

Manusia memiliki jasad dan roh, mempunyai panca indera yang ajaib untuk menghubungkan dengan alam sekitar, mempunyai nafsu sebagai pendorong untuk melengkapi kebutuhan hidupnya. Mempunyai akal untuk berfikir dan mempunyai hati untuk merasa. Pikir dan rasa dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Manusia mempunyai dlamir, kalbu yang dapat mendorong orang untuk menjauhi yang dilarang menuju yang diperintahkan.

Maka dengan segala unsur jasmaniah dan rokhaniah itu, manusia mempunyai potensi untuk meningkatkan ke taraf yang lebih tinggi, lebih indah dan murni. Namun dengan satu syarat bila unsur-unsur itu berkembang dan digunakan sesuai dengan undang-undang dan norma yang ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta, Allah Swt. Kalau tidak, maka sesuai dengan peringatan Allah (QS At Tin : 5), manusia akan diturunkan derajatnya ke tempat yang paling rendah.

Manusia memang memiliki kecenderungan untuk turun martabat, sampai pada martabat makhluk yang paling rendah dan hina, bahkan paling rendah dari jenis hewan. Yaitu apabila manusia mengabaikan atau tidak mau menggunakan potensi jasmaniah dan rokhaniahnya itu sesuai dengan sunnatullah. Apalagi bila nafsu sudah terlepas dari akal, sementara dlamirnya (hatinya) lagi bisu, tak mampu berkata atau memberi arahan.

Nafsu atau jiwa manusia akan menjadi warna dari akhlak seseorang, akhlak yang mahmudah (terpuji) atau madzmumah (tercela) berpangkal dari jiwanya. Imam Al-Ghazali membagi jiwa menjadi tujuh tingkatan, yakni :

  1. Nafsu Amarah, jiwa manusia yang selalu ingin memenuhi kehendak hawa nafsu dalam segala bidang kehidupan.
  2. Nafsu Lawwamah, jiwa yang masih cacat, sungguh pun menerima hidayat dari Allah. Selalu ingin berbuat baik, namun kadang-kadang masih tergelincir pada perbuatan jelek.
  3. Nafsu Mardliyyah, jiwa yang mendapat ridla, maunah, hidayah dari Allah dan mendapat keutamaan langsung dari Allah. Perbuiatan-perbuatannya karamah.
  4. Nafsu Mulhamah, jiwa yang selalu diilhami Allah. Kekaromahannya tampak pada segala tindak tanduk kesehariannya. Tak ada perasaan dengki, iri, haus harta dan sebagainya.
  5. Nafsu Muthmainnah, jiwa yang puas dengan pengabdian kepada Tuhan, sanggup menerima cahaya dari Tuhan, sanggup menolak kemewahan dunia. Senantiasa berbuat baik pada semua makhluk.
  6. Nafsu Ar-Radhliyah, jiwa yang menyerahkan diri kepada Allah dengan ikhlas dan tanpa pamrih dalam segala hal.
  7. Nafsu Kamilah, jiwa yang telah benar-benar sempurna, mendapat pancaran sinar ketuhanan (ma’rifat). Baginya kebahagiaan adalah kebahagiaan di haribaan Allah Swt.

Kemungkinan akhlak manusia meluncur menjadi akhlak yang madzmumah adalah lantaran ketidakmampuannya menggunakan potensi yang dimilikinya. Sehingga membuahkan berbagai perbuatan tercela yang biangnya adalah watak takkabur dan sombong (arogan). Momentum Idul fitri bisa merupakan tonggak pemberhentian sejenak, di mana manusia kembali kepada fitrahnya, kepada jati dirinya. Arogansi dan takkabur bukan jati diri manusia. 

Akhirnya, “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 H. Taqobbalallahu minna wa minkum, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.”

Sumber : Rindang No 7 Tahun 1996

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun