Di tahun 2014 tepatnya pada tanggal 18 sampai 20 Juni, saya beserta rombongan pelatihan tentang pendidikan berkesempatan berkunjung ke SLB Negeri Semarang pimpinan Pak Ciptono. Kunjungan tersebut sebagai puncak acara sekaligus studi banding tentang salah satu dari sekian rangkaian topik pelatihan, yaitu topik tentang konsep sekolah inklusi.
Sebagai gambaran singkat dan sederhana, sekolah inklusi adalah sekolah biasa (siswa yang bukan untuk siswa berkebutuhan khusus) yang mengakomodir atau menerima siswa yang berkebutuhan khusus untuk bersekolah bersama-sama dengan siswa yang biasa. Tidak banyak sekolah yang mampu menerapkannya. Sekolah inklusi memerlukan perhatian, persepsi, konsep, persiapan, serta SDM yang matang.
Dalam rangkaian kunjungan ke SLB Negeri Semarang tersebut, ada satu momen yang sangat menarik perhatian saya, juga peserta lain. Yaitu, ketika seorang remaja berkebutuhan khusus (tunawicara dan tunarungu) mendemonstrasikan kemampuannya, dengan segala kesederhanaan dan kemurahan senyumnya, kepada kami. Ia seorang remaja laki-laki. Usianya waktu itu sekitar 16 atau 17 tahun, masih usia SMA.
Sebetulnya, secara keseluruhan, apa yang kami saksikan di SLB Negeri Semarang yang waktu itu dipimpin oleh Pak Ciptono, sangat-sangat luar biasa. Para siswa berkebutuhan khusus di sana betul-betul digali potensinya sehingga mereka dapat berkarya dengan sangat luar biasa dibalik keterbatasan fisik yang dimiliki. Sehingga tujuan utama siswa belajar di sana agar kelak memiliki kemandirian dan kompetensi atau keterampilan sesuai dengan bakat yang dimiliki.
Misalnya, ada siswa yang sangat piawai memainkan gendang dengan lagu apapun, ada yang mahir bermain piano, ada yang mahir melukis, ada yang memiliki kemampuan bernyanyi luar biasa, dan banyak lagi. Bahkan sekolah tersebut memiliki karya khas dan bernilai ekonomi tinggi dan menjadi icon sekolah tersebut yaitu batik ciprat. Banyak dari kami membeli karya anak-anak luar biasa tersebut sebagai tanda mata.
Di sana mata kami benar-benar terbuka menyaksikan pemandangan luar biasa tentang kehebatan anak-anak berkebutuhan khusus dengan berbagai macam karya dan keahliannya masing-masing. Bahkan jauh melebihi siswa yang biasa (bukan berkebutuhan khusus). Sehingga kami para peserta yang sebagian besar guru dan kepala sekolah, dan sebagian kecil ketua yayasan atau direktur sekolah, dan ada juga seorang yang telah mendirikan yayasan dan akan mendirikan sekolah, tak henti-hentinya berdecak kagum. Bahkan para peserta perempuan, sampai meneteskan air mata haru menyaksikan pemandangan yang luar biasa tersebut.Â
Salah satu momen yang menarik dan masih teringat di benak saya adalah ketika seorang remaja laki-laki tunawicara dan tunarungu, melukis semua peserta pelatihan waktu itu dengan sangat cepat (tidak sampai 5 menit untuk setiap lukisan), keren, dan memiliki unsur "kebatinan". Sangat luar biasa.
Bagaimana ia melukis dan kami dilukis? Sebagai gambaran singkat, kami peserta pelatihan berjumlah lebih dari 50 orang. Semuanya dilukis satu persatu oleh beliau.
Jadi, cara melukisnya adalah, kami semua mengantre untuk difoto satu persatu oleh beliau menggunakan kamera digital. Fotonya hanya wajah saja atau sampai pinggang (saya sedikit lupa) dengan berpose biasa saja (formal tanpa gaya). Lalu setiap foto disimpan sesuai namanya masing-masing. Selesai difoto kami dipersilahkan menunggu, sementara beliau melukis kami menggunakan spidol di atas kertas dengan cara melihat wajah kami di dalam kameranya.
Alih-alih menunggu dengan sabar, kami semua berebut mengerumuni beliau yang sedang khusuk melukis satu persatu wajah kami yang sudah ada di kamera digital beliau.
Yang sangat menarik adalah beliau melukis setiap lukisannya itu tak sampai 5 menit sudah jadi. Contoh lukisan seperti gambar di atas. Dan, yang paling menarik lagi adalah ia memberikan "oleh-oleh" dalam setiap lukisannya sebagai buah dari pandangan mata batin beliau.
Kami memang cukup berdebar waktu menunggu beliau melukis. Sebab mentor kami sebelum mempersilahkan kami difoto dan dilukis menerangkan bahwa beliau itu memiliki kelebihan pandangan batin sehingga hasil lukisannya tidak seperti yang terjepret oleh kamera berupa pose wajah kita saja, melainkan boleh jadi nanti hasil lukisannya tiba-tiba kita sedang ngapain gitu. Terserah pandangan mata batin beliau dan gerak tangan beliau selama melukis.Â
Takut-takut kalau hal atau kebiasaan negatif dari kami yang terlihat oleh mata batin beliau. Kami menunggu dengan rasa penasaran.
Nah, diantara oleh-oleh yang diterima oleh saya dan beberapa teman yang masih saya ingat adalah: gambar saya sendiri, seperti gambar di atas, hasilnya tiba-tiba saya seperti sedang berlari menggunakan kemeja dengan bagian tangan baju dilipat, menggunakan dasi, dan sedang membawa buku. Padahal, sekali lagi, jepretan kamera wajah kami adalah wajah dengan tampilan normal dan tidak menjinjing atau membawa apapun. Apalagi bergaya.
Diantara hasil lukisan beberapa teman yang masih saya ingat adalah: ada teman saya yang hasil lukisannya sedang memakai baju olahraga dengan pose salah satu kakinya menginjak bola dan dengan peluit menggantung di leher. Sekali lagi, hasil jepretan kamera hanya memotret wajah. Dan kami semua waktu itu mengenakan pakaian formal, bahkan mengenakan jas almamater pelatihan.
Ada lagi yang hasilnya tiba-tiba tergambar sedang duduk bersila mengenakan sarung, baju muslim, kopiah, sorban, dan sedang berzikir memegang tasbih. Ada juga hasilnya sedang memakai mukena (pakaian shalat perempuan) sedang duduk membaca Alquran. Ada juga seorang perempuan hasilnya sedang berdiri memakai baju lengan pendek memakai kerudung sambil menenteng tas seperti sedang shopping. Dan masih banyak lagi.
Kami para peserta saling berbisik dan berisik melihat gambar lukisan kami secara bergantian sambil senyum dan tertawa dengan menghubungkan dan  menafsirkan hasil lukisan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan atau hal-hal yang melekat dengan keseharian kita. Tapi melihat hasilnya, sebagian besar kami semua lega dan bahagia, sebab hasil lukisan menggambarkan hal-hal positif. Tadinya kami takut kalau-kalau gambar yg dihasilkan, misalnya kita sedang marah-marah ke siswa, atau kecenderungan negatif lainnya, hehe.
Pandangan Batin yang Sangat Nyata
Jika melihat hasil lukisan yang memuat gambar semua peserta, meskipun saya tidak bisa melihat semuanya, menunjukkan dengan jelas pengaruh pandangan batin beliau saat melukis. Sebab, kami tak satupun kenal dengan beliau, bahkan kami baru bertemu sekali, hari itu juga. Kemudian, kami juga tak berkenalan ataupun berbincang-bincang secara pribadi dengan beliau. Intinya kami tidak saling kenal nama apalagi kebiasaan atau hobi kami.
Yang terjadi hanya momen resmi tapi santai saat beliau mengenalkan dirinya di hadapan kami semua sebagai seorang pembicara, ditemani oleh bapak dan, adik atau kakaknya perempuan, saya lupa. Beliau menceritakan tentang kehidupannya dengan menggunakan bahasa isyarat. Kemudian adik atau kakak perempuannya menerjemahkan kepada kami. Hanya itu saja, lalu setelah itu mulailah acara melukis kepada setiap peserta pelatihan.
Dua teman saya, yang hasil lukisannya sedang berdiri memakai pakaian olahraga dan satu kakinya menginjak bola, adalah seorang guru olahraga dan satu lagi ketua yayasan yang hobi bola. Ia penggemar Timnas Italia.
Maka dengan hasil lukisan seperti itu, sungguh sangat mencerminkan kebiasaan dan hobi kedua rekan pelatihan saya tersebut. Dimana yang satu sebagai guru olahraga, dan satu lagi, hobi bola.
Begitu pun gambar rekan saya yang sedang berzikir dan membaca Alquran, keduanya memang paling religius dibandingkan kami. Kalau giliran doa, shalat berjamaah, maka teman kami tersebut yang dipersilahkan memimpin.
Sungguh pas apa  yang menjadi pandangan batin beliau yang dituangkan dalam lukisan.
Melihat fenomena luar biasa ini, kami semua terkagum, tak percaya, tapi itulah adanya. Saya sendiri hanya mencoba mengatakan kepada diri saya: "ini semua kehendak Tuhan.Â
Di balik keterbatasan ada kelebihan." Pun dengan siswa atau ABK yang lainnya di sana. Semua digali oleh dewan guru untuk ditemukan bakatnya kemudian dikembangkan.Â
Sehingga begitulah hasilnya, banyak siswa atau ABK di sana yang mahir bernyanyi, bermain piano, main gendang, membuat batik ciprat, melukis, dan lain-lain.
Refleksi diri
Tiga hari di SLB Negeri Semarang, 18-20 Juni 2014, betul-betul merupakan sebagai refleksi baik sebagai pribadi maupun sebagai seorang guru. Selama ini kita terkadang atau sering melihat keburukan-keburukan atau ketidakmampuan anak dan lupa untuk menggali potensi mereka. Sehingga kita sibuk untuk mencap si A nakal, atau si B lambat dalam belajar, dan seterusnya.
Padahal setiap anak, sekalipun ia ABK, pasti telah diberikan oleh Tuhan kelebihan. Sebagai orang tua dan guru, maka tugas kita adalah menggali dan mengembangkan potensi tersebut.Â
Menggali dan mengembangkan potensi diri anak atau siswa dapat dijadikan sebagai pintu masuk transformasi dirinya. Misalnya jika ada siswa laki-laki yang dilabeli "nakal" namun ia piawai main voli, maka masuklah ke dunianya dengan mengembangkan potensinya tersebut.
Sehingga boleh jadi dengam prestasi voli dan apresiasi sekolah kepada anak tersebut, akan membuat si anak merasa berharga dan memiliki kemampuan sebagimana siswa lain. Dan merubahnya ke arah yang lebih baik.
Mungkin itulah catatan pribadi saya ketika berkunjung ke sebuah SLB yang luar biasa, semoga bermanfaat bagi kita semua, dan membuat kita semakin peduli terhadap anak-anak, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. Amin.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H