Mohon tunggu...
ninisshohibah
ninisshohibah Mohon Tunggu... Guru - Universitas pamulang

saya merupakan seorang yang senang sekali bercerita dengan itu saya akan membagikan pengalaman dan kisah yang memukau disini

Selanjutnya

Tutup

Healthy

" Apakah Skincare Benar - benar Menyehatkan Kulit, atau Hanya Tren Konsumtif yang Dimanfaatkan Pasar?"

9 Januari 2025   21:24 Diperbarui: 9 Januari 2025   21:23 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

"Apakah Skincare Benar-Benar Menyehatkan Kulit, atau Hanya Tren Konsumtif yang Dimanfaatkan Pasar?"

Apakah skincare benar-benar rahasia kulit sehat, atau sekadar strategi pasar yang memanfaatkan obsesi terhadap tren kecantikan? Di tengah gempuran promosi di media sosial, banyak konsumen terjebak dalam siklus membeli produk tanpa memahami kebutuhan kulit mereka. Para influencer sering kali menjadi penggerak utama tren ini, mendorong perilaku konsumtif yang tidak selalu berdampak positif. Sementara itu, kesehatan kulit justru sering kali membutuhkan pendekatan yang sederhana dan tepat sasaran. Jadi, apakah kita benar-benar peduli pada kesehatan kulit, atau hanya ikut-ikutan demi memenuhi standar sosial?

 

Pandemi Covid-19 mengubah banyak aspek kehidupan masyarakat, termasuk kebiasaan merawat kulit. Pemakaian masker yang intens selama pandemi memicu munculnya maskne atau jerawat akibat masker, sehingga kebutuhan akan produk anti-jerawat meningkat. Selain itu, kebiasaan bekerja dari rumah (WFH) memberi banyak orang kesempatan untuk lebih memperhatikan perawatan diri.

 

Menurut dr. Fitria Eka, seorang dermatolog yang aktif dalam berbagai edukasi kesehatan kulit, “Pasca pandemi, kebutuhan perawatan kulit tidak lagi hanya fokus pada estetika, tetapi juga pada pemulihan dan pencegahan masalah kulit.” Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kini melihat skincare sebagai bagian penting dari menjaga kesehatan secara menyeluruh.

 

Namun, kebutuhan ini kemudian berkembang menjadi tren. Meski terlihat menjanjikan, tren skincare ini membawa konsekuensi baru. Banyak masyarakat yang terbawa arus konsumsi tanpa benar-benar memahami kebutuhan kulit mereka. Tidak sedikit dari mereka yang menghabiskan uang untuk produk mahal yang ternyata tidak memberikan hasil signifikan atau bahkan memperburuk kondisi kulit. Fenomena ini menunjukkan pentingnya edukasi tentang perawatan kulit yang benar, yang sayangnya sering kali kalah pamor dibandingkan rekomendasi influencer. Media sosial memainkan peran besar dalam transformasi tersebut. Berdasarkan survei We Are Social (2023), 75% pengguna media sosial di Indonesia mengaku mendapatkan rekomendasi skincare dari platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube. Konten seperti “morning routine” atau “skincare hacks” yang viral mendorong masyarakat untuk mencoba produk tertentu, meski sering kali tanpa pertimbangan yang matang tentang kecocokan dengan jenis kulit mereka.

 

Pertumbuhan industri skincare di Indonesia juga memberikan dampak positif yang signifikan. Data Kementerian Perindustrian pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sektor kosmetik, termasuk skincare, tumbuh sebesar 9,3%. Pertumbuhan ini banyak didorong oleh keberhasilan merek lokal seperti Somethinc, Avoskin, dan Scarlett, yang tidak hanya menarik perhatian pasar dalam negeri, tetapi juga berhasil bersaing di pasar internasional.

 

"Ketika memilih skincare, penting untuk memahami kebutuhan kulit Anda sendiri daripada hanya mengikuti tren. Tren bisa menjadi bumerang yang mendorong perilaku konsumtif tanpa manfaat nyata bagi kesehatan kulit." (Dr. Sarah Wijaya, Psikolog dan Konsultan Gaya Hidup Sehat)

 

Namun, di balik prestasi ini, terdapat ancaman yang perlu diwaspadai. Masalah lainnya adalah meningkatnya ekspektasi masyarakat terhadap standar kecantikan yang ditampilkan di media sosial. Kulit mulus tanpa cela sering kali menjadi gambaran ideal yang tidak realistis bagi sebagian besar orang. Standar ini tidak hanya meningkatkan tekanan sosial, tetapi juga berpotensi memicu insekuritas, khususnya di kalangan generasi muda. Dampaknya, banyak yang merasa perlu membeli produk dalam jumlah berlebihan, meskipun tidak benar-benar dibutuhkan. Salah satu tantangan terbesar adalah peredaran produk ilegal. BPOM mencatat lebih dari 1.200 kasus kosmetik ilegal selama tahun 2023, dengan sebagian besar produk berasal dari kategori skincare. Produk-produk ini sering kali mengandung bahan berbahaya seperti merkuri atau hidrokuinon dalam dosis tinggi yang dapat menyebabkan kerusakan kulit permanen, bahkan risiko kesehatan jangka panjang.

 

Media sosial telah menjadi platform utama untuk memasarkan produk skincare. Banyak merek menggandeng influencer untuk mempromosikan produk mereka, sering kali melalui ulasan atau tutorial yang dikemas menarik. Hal ini memang efektif untuk meningkatkan penjualan, tetapi juga memunculkan sisi gelap berupa perilaku konsumtif di kalangan masyarakat.

 

Menurut survei Jakpat (2022), 68% konsumen membeli produk skincare berdasarkan rekomendasi influencer, bukan atas rekomendasi dokter atau ahli dermatologi. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih terpengaruh oleh tren daripada kebutuhan medis yang sebenarnya.

 

Tidak sedikit orang yang merasa tertekan untuk mengikuti standar kecantikan tertentu, seperti memiliki kulit glowing atau glass skin, yang sering kali ditampilkan oleh influencer di media sosial. Tekanan sosial ini dapat memicu perilaku konsumtif, di mana seseorang membeli rangkaian produk skincare yang sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan kulitnya, hanya demi memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis.

 

Sebagai masyarakat modern, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa tren ini berkembang secara positif, baik untuk kesehatan individu maupun pertumbuhan industri secara keseluruhan. Dengan begitu, maraknya skincare bukan hanya sekadar tren sesaat, tetapi menjadi langkah nyata menuju kesadaran akan pentingnya perawatan diri yang berkelanjutan. Pada akhirnya, tren skincare pasca pandemi harus diarahkan ke tujuan yang lebih besar, yaitu keseimbangan antara estetika dan kesehatan. Selain itu, dukungan pada produk lokal harus diiringi dengan pengawasan ketat terhadap kualitas dan keamanan produk. Sebagai konsumen, kita juga perlu lebih bijak dan kritis dalam memilih produk, memastikan bahwa tren ini tidak hanya menjadi dorongan konsumtif, tetapi juga bagian dari gaya hidup sehat yang berkelanjutan.

 

Dalam menghadapi tren skincare yang terus berkembang, penting bagi kita untuk bijak dalam memilih produk yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan kulit, bukan sekadar mengikuti tren yang digerakkan oleh pasar. Tren ini seharusnya menjadi kesempatan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan kulit, bukan hanya mengejar estetika semata. Dengan pendekatan yang lebih sadar dan terinformasi, kita dapat menjaga integritas pasar skincare, sekaligus melindungi diri dari perilaku konsumtif yang berlebihan.

 

Opini ini lahir dari pandangan seorang mahasiswa Ninis Shohibah adalah mahasiswa semester 7 Prodi Matematika di Universitas Pamulang yang memiliki minat mendalam dalam analisis tren sosial dan industri. Dengan latar belakang di bidang matematika, Ninis tertarik untuk mengkaji pola konsumtif masyarakat, termasuk dalam fenomena tren skincare yang marak di era digital. Ia percaya bahwa analisis yang mendalam dapat membantu masyarakat memahami dampak sosial dan ekonomi dari perilaku konsumtif, serta mendorong keputusan yang lebih bijak dalam konsumsi produk. Artikel ini ditulis sebagai bagian dari tugas mata kuliah Kewirausahaan di bawah bimbingan Ibu Alfi Maulani, S.Si., M.Si."v

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun