Demo angkot di Bandung (01).
[Terjemahan tulisan pada "banner": 1. Gara-gara on-line saya menjadi duda. 2. Jalan dibikin bagus, kalau rakyat dibunuh...].
Bila kepada para pengemudi angkot, serta ojek dan taksi "konvensional" ditanyakan tentang mana yang akan mereka pilih: makan di warung nasi kaki lima dengan tarif 40 ribu rupiah sekali makan ataukah di warung nasi dengan tarif 15 ribu rupiah? Pasti deh mereka semua akan memilih makan di warung nasi dengan tarif 15 ribu rupiah. Pasti! Iya, 'kan?
Apalagi bila pada alternatif ke dua di atas, makanannya lebih enak, bersih, dihidangkan panas-panas, diberi kerupuk dan kadang diberi bonus es teh manis... Bahkan pada alternatif ke dua, mereka tidak perlu mendatangi warung tersebut, karena petugas warung lah yang akan membawakan makanannya kepada konsumen.
Pasti semuanya setuju.
Nah kalau sekarang kepada masyarakat pengguna transportasi umum ditanyakan mana yang akan mereka pilih: angkot, taksi dan ojek konvensional yang bertarif mahal ataukah taksi dan ojek "on-line" yang bertarif jauh lebih murah?
Tidak wajarkah dan tidak bolehkah kalau masyarakat akan memilih alternatif ke dua yang berarif lebih murah? Apalagi pada alternatif ke dua, kebanyakan kendaraannya lebih baru (dan mestinya lebih laik jalan), lebih nyaman, para pengemudinya (hampir) pasti memiliki SIM, dan banyak dari para pengemudinya ganteng ganteng... [Hehe, yang ini mah belum tentu juga sih... Tapi yang jelas, paling tidak yang Om-G ketahui di Bandung, sebagian dari mereka berstatus mahasiswa atau sarjana, selain sebagai driver...). Juga, bisa lebih tepat waktu (ini terutama dikontraskan dengan angkot yang sering ngetem berlama-lama, tidak memperdulikan konsumennya yang ingin cepat sampai).
Selain itu, pada alternatif ke dua konsumen tidak perlu datang ke pangkalan atau ke tempat ngetem karena mereka lah yang didatangi oleh taksi dan ojek "on-line"nya...
Jadi dengan segala aspek plus tadi, jelas ya kenapa konsumen lebih memilih kendaraan umum on-line daripada yang konvensional? Berdosakan para konsumen karena pilihannya seperti itu?
Makanya Om-G heran bahwa ketika ada mogok masal para pengemudi angkot, serta taksi dan ojek konvensional di Bandung yang "menuntut keadilan" (yang tadinya direncanakan bahwa mogoknya itu adalah pada hari Selasa sampai Jumat minggu lalu, yang pada saat dibatalkan, ternyata sebagian masih ada yang mogok tuh...), Pemerintah Jawa Barat "sepakat" melarang (sementara) beroperasinya angkutan on-line, yaitu taksi dan ojeg on-line, "... sebelum peraturan baru yang mengatur angkutan berbasis aplikasi itu diterbitkan...".
Konon hal tersebut sesuai dengan kesepakatan Dinas Perhubungan Jawa Barat dengan "Wadah Aliansi Aspirasi Transportasi" (WAAT) Jawa Barat [Ngemeng-ngemeng, ada yang kenal nggak sih dengan WAAT ini dan siapa-siapa saja yang menjadi anggotanya? Jangan-jangan di WAAT tidak ada satupun "perwakilan" dari pelaku angkutan transportasi on-line... Atau jangan-jangan (yang agaknya demikian), tidak ada satupun perwakilan dari pelaku angkutan transportasi on-line yang hadir dalam diskusi dengan Dishub Jabar tadi. Lha seandainya benar demikian, dalam kesepakatan tadi bagusnya (atau mestinya) harus melibatkan pula para perwakilan dari pelaku angkutan transportasi on-line dong ya..? Ye kalau ndak gitu mah aneh dong, 'kan kesepakatan di antara dua kubu yang bertikai mah harus melibatkan keduabelah pihak atuh... masa' cuma satu pihak saja yang diakomodir kepentingannya...).
Dan ternyata larangan angkutan on-line beroperasi di Jawa Barat ini pun memancing reaksi dari warganet. Sebuah petisi digalang oleh warganet, agar pelarangan tadi dicabut, "karena keputusan Pemerintah itu bakal merugikan masyarakat...". [Sumber: Tempo.co].
"...Kebijakan itu justru merugikan masyarakat yang sebagian haknya dirampas, hak kebebasan untuk memilih transportasi umum direnggut paksa. Masyarakat dipaksa untuk memilih angkutan umum yang penuh ketidakpastian", kata warganet dengan ID Surili Percusion dalam pengantar petisi, Selasa 10 Oktober 2017. [Sumber: Tempo.co].
Selain itu, juga ada ajakan dari "Bandung Transport Volunteer" kepada masyarakat untuk membantu masyarakat yang memerlukan transportasi, dengan membawa masyarakat yang memerlukan untuk naik kendaraan para relawan.
Ada juga yang bersifat lebih "lunak", yaitu ajakan agar masyarakat menyiapkan diri untuk "hari-hari tanpa angkot", yaitu dengan naik bis kota, bersepeda, dengan "nebeng" orang lain yang punya kendaraan, atau pun dengan berjalan kaki.
Nah tuh, masyarakat juga bereaksi, 'kan..?
Weleh weleh... kalau dibilang bahwa adanya alat transportasi berbasis aplikasi merugikan (dalam arti menurunkan pendapatan) para pelaku alat transportasi konvensional, memang iya sih. Ini juga yang menjadi alasan mereka berdemo, bahwa "akan ada 10 ribu lebih sopir taksi dan angkot yang akan kelaparan...".
Tapi kok rasanya mereka memakai standar ganda deh... Memang pendapatan mereka yang menjadi pelaku alat transportasi konvensional turun dengan hadirnya alat transportasi on-line, tapi mereka merasa nggak sih bahwa dulu pada jamannya, kehadiran angkot, ojeg dan taksi (konvensional) mendesak dan secara sangat signifikan menurunkan pendapatan para pengemudi becak dan kusir delman! Malahan barangkali dengan alasan "demi modernisasi dan azas kepantasan", di wilayah perkotaan sih becak dan delman nyaris "punah" ditelan jaman.
Dan mereka, para pengemudi delman, becak dan becak motor, pun pernah kok berdemo di berbagai kota di Indonesia, ketika mereka dilarang beroperasi dengan alasan tadi. Kok pada saat itu mereka, para pelaku alat transportasi konvensional itu, tidak ikut demo membela para kusir delman, dan sopir becak? Apakah karena dalam hal ini mereka diuntungkan? Agaknya sih iya, karena mereka lah yang merebut lahannya becak dan delman...
Memang betul, siapa sih yang untuk 10 atau 20 kilo meter mau naik becak atau delman? Mungkin sampai sih sampai, tapi nganu lho, kalau untuk jarak segitu sih agaknya pegelnya itu ndak ketulungan! Iya opo iya? Hehehe... (Ada yang tahu nggak, di becak dan delman, shockbreaker-nya merk apa ya?). Dan yang jelas, tarifnya pasti lebih mahal daripada kalau dibandingkan dengan tarif angkot atau ojek atau bahkan taksi sekalipun.
Nah tuh, pada saat angkot, taksi dan ojek dengan gagah perkasa menggusurkeberadaan delman dan becak, apakah mereka memikirkan nasib para tukang becak dan kusir delman? Jelas bahwa para tukang becak dan kusir delman kehilangan pekerjaan. Jelas bahwa para tukang becak dan kusir delman kehilangan sumber uang yang mereka perlukan untuk menafkahi keluarganya, untuk memberi makan keluarganya.
Kok ndak, sih? Bukankah mereka itu pun, maaf, sama-sama kaum tidak berpunya? Mana dong solidaritas sampeyan-sampeyan? Kok yang dibela hanya kepentingan diri sendiri, tanpa peduli nasib orang lain yang sama-sama kaum tidak berpunya? (Mereka 'kan ngakunya begitu, tapi ternyata, mohon maaf, dari kaca mata orang lain, mereka itu bisa dipandang sebagai orang-orang yang egois, hanya ingin kepentingannya doang yang dipenuhi...).
Mau "bukti"yang lain, bahwa mereka tidak pedulu pada "orang senasib"? Niih...
Pertama, mereka berdemo agar bus sekolah yang disediakan Pemerintah Kota Bandung dihentikan. Bis sekolah yang mestinya sangat bermanfaat untuk menekan pengeluaran ongkos transportasi anak sekolah (yang artinya bisa sangat membantu bagi para orang tua yang hidupnya pas-pasan). Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena anak-anak dari keluarga pas-pasan tadi jadi tidak memakai angkot, dan menurunkan pendapatan para sopir angkot. Keterlaluan pisan yaks...
Ke dua, mereka pun bahkan menolak keberadaan Trans Metro Bandung (TMB), bis kota yang beroperasi di Bandung, padahal kalau tidak salah dulu mereka diajak untuk menjadi "pemilik patungan" bis TMB dengan menjual angkotnya dan dari 3 angkot menjadi 1 bus kota TMB; hal yang diharapkan sedikit-banyaknya akan berkontribusi pada pengurangan kepadatan lalu lintas di Bandung. Alasannya yang sama seperti yang tadi: keberadaan TMB jadi menurunkan jumlah penumpang yang (menurut mereka) harusnya naik angkot mereka, dan karena itu jadi menurunkan pendapatan mereka. Hadeuh... Heroik pisan!
Juga tentang para penumpang transportasi on-line yang diturunkan paksa di tengah perjalanan, karena adanya "sweeping"yang dilakukan oleh para pengemudi transport konvensional.
Lha Om-G, sampeyan iki kok sepertinya membela banget transportasi on-line sih? Opo sampeyan pengemudi taksi/ojek on-line ya? Atau pemilik kendaraan yang dijadikan taksi/ojek on-line? Hehe, bukan dua-duanya!
Apa atuh? Ye, Om-G mah hanya masyarakat kebanyakan biasa, juga sebagai konsumen transportasi publik. Yang mendambakan transportasi publik yang aman, nyaman dan terjangkau, yang mungkin juga merupakan keinginan dari anggota masyarakat lainnya. Iya ndak? Sebetulnya keinginan ini aneh ndak ya? Rasanya sih ndak aneh deh...
Juga, Om-G juga ndak membela banget transportasi on-line kok, ada hal-hal tertentu dari mereka yang harus diperbaiki dan dibenahi. Beneran! Tapi karena tulisan ini sudah panjang, ya sudah, terpaksa tulisan mengenai hal itu mudah-mudahan bisa Om-G tuliskan pada kesempatan mendatang, ok?
Sekian dulu dari Om-G ya... Mohon ampun ya kalau ada kata-kata Om-G yang kurang berkenan. Namanya juga orang. Rambut bisa sama hitam, tapi pendapat bisa berbeda-beda. [Apalagi rambut Om-G mah ubannya sudah tak terhitung, lha jadi sudah ndak hitam semuanya dong, hehehe...]. Peace ah...
Bien vous tous, et bon weekend.
Salam,
Om-G.
[Kompasiana.com/Om-G].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H