Dulu luas wilayah kerja migas lebih luas, misalnya 10 ribu kilometer persegi. Sekarang dibagimenjadi lebih kecil-kecil, misalnya 1000 km2. Apa akibatnya?
- Dengan luas wilayah kerja migas yang lebih kecil-kecil ini Pemerintah berkemungkinan bisa mendapatkan besaran “signature bonus” yang lebih besar (karena KKS nya bisa lebih banyak). Dalam jangka pendek hal ini mungkin lebih menguntungkan bagi Pemerintah karena segera menerima uang dari pelaku usaha bahkan sebelum minyak atau gas nya diroduksi. Pertanyaannya, bagaimana dalam jangka panjang, apakah benar bahwa Pemerintah akan lebih diuntungkan?
- Dengan luas wilayah kerja migas yang lebih kecil-kecil, pelaku usaha hulu migas sukar untuk mendapatkan gambaran pemetaan yang luas dan lengkap. Apa akibatnya? Bayangkan ini: Ibaratnya gambar keseluruhan pemetaan migas adalah kertas bergambar gajah yang besar, yang bisa terterka (bahwa itu adalah gambar gajah) bila kertasnya besar sehingga gambarnya lengkap. Karena sekarang “kertas” (wilayah kerja migas) nya dibagi menjadi lebih kecil-kecil, mungkin perusahaan A hanya memiliki gambar kuping gajah, perusahaan B hanya memiliki gambar kaki gajah, perusahaan C hanya memiliki gambar perut gajah, dst. Konon bahkan bisa saja terjadi bahwa perusahaan-perusahaan tadi tidak “menyadari” bahwa puzzle yang mereka miliki adalah bagian dari gambar gajah!]. Nah kalau “kertas” (wilayah kerja migas) nya luas/besar, puzzle-puzzle yang dimiliki sebuah perusahaan akan (lebih) lengkap merupakan gambar gajah, sehingga analisis mengenai keberadaan migas pun menjadi lebih komprehensif.
- Dulu perusahaan-perusahaan yang ikut dalam tender KKS adalah perusahaan-perusahaan besar yang niatnya memenangkan tender memang untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan kemudian bila minyak atau gas-nya ada dalam jumlah yang memadai, mereka akan melakukan kegiatan produksi/eksploitasi untuk menghasilkan migas. Sekarang konon sering muncul perusahaan-perusahaan “abal-abal” yang ikut tender, yang kalau memenangkan tender lalu menjualnya kembali kepada perusahaan lain, barangkali sebelum “sempat” melaksanakan “janji kegiatan” (tentunya komitmen ini mestinya harus dilanjutkan pelaksanaannya oleh perusahaan pembelinya; di sini lah antara lain peran pengawasan dari SKK Migas...).
2, PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).
Kontraktor KKS, sebagai pelaksana kegiatan eksplorasi migas, juga diharuskan membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk seluruh luasan wilayah kerja migas nya. Lha apa salahnya? Ya harus bayar dong, iya nggak? Tentang PBB yang harus dibayar berjumlah besar karena luas wilayahnya yang besar, itu sih konsekuensi...
Betul sekali, setuju! Lha tapi sekarang ‘kan kita sedang membedah permasalahan yang terjadi untuk mendorong peningkatan lifting migas, dan ini merupakan salah satu “curhatan” mereka, para perusahaan hulu migas tersebut. Kita dengarkan yuk, curcol mereka...
PBB ini merupakan ketentuan dari Pemerintah, yang tentunya bertujuan baik, yaitu untuk menambah pendapatan negara. Tetapi PBB ini selain bergantung dari tarif satuannya, besaran PBB ini juga bergantung dari luas tanah dan luas bangunan. Lha, kebayang nggak, dengan luasan ribuan kilometer persegi, berapa PBB nya? Kalau diusut-usut, sebenarnya mereka bukan mau “ngemplang” agar tidak membayar pajak PBB tersebut, tetapi ingin “dipahami”...
Begini, mereka mengatakan tidak apa-apa sama sekali dan wajar bahwa mereka membayar PBB untuk luasan wilayah eksploitasi mereka (yaitu wilayah sumur/ladang migas, gathering station, pipeline, dsb), tetapi kita bisa dibayangkan besarnya PBB yang harus dibayarkan selama belasan tahun sebelum berproduksi tersebut untuk keseluruhan wilayah kerja migas yang ribuan kilometer persegi (artinya: jutaan meter persegi!), padahal nantinya pun bila migas nya ditemukan, wilayah eksploitasinya barangkali tidak akan sampai 10% dari luas wilayah kerja migas tersebut. Berlainan dengan perkebunan misalnya, yang walaupun luasnya bisa saja ribuan kilometer persegi pula, tetapi hampir semuanya memang termanfaatkan untuk kegiatan produksi.
Untuk wilayahnya sendiri, juga kadang-kadang ada tumpang tindih antara wilayah kerja migas dengan wilayah untuk peruntukan yang lain. Misalnya bisa saja di suatu wilayah yang sama terjadi bahwa di layer paling atas dipakai untuk perkebunan atau hutan industri, di layerke dua adalah daerah eksplorasi tambang batubara, dan di layer terbawah adalah wilayah eksplorasi KKS migas. Nah jangan-jangan sebetulnya untuk wilayah yang sama, yang bayar PBB nya ada tiga perusahaan yang mempunyai konsesi di wilayah yang sama itu...
Nah bila diumpamakan, mohon maaf, Pemerintah ini ibarat petani yang ingin cepat-cepat memetik hasil, yaitu dengan menjual pucuk-pucuk daun yang baru tumbuh, padahal dengan demikian hasil berupa buah yang diharapkan dari penanaman pohonnya menjadi tidak ada atau menjadi sedikit (karena pohonnya tidak tumbuh subur karena pucuk daunnya dipetik sebelumpohonnya berbuah...). Atau mungkin bisa dianalogikan dengan nelayan yang menangkap ikan, udang atau kepiting yang masih kecil-kecil untuk dijual, padahal kalau ditunggu besar dulu, maka uang yang didapat akan lebih besar.
Nah, perumpamaan-perumpamaan di atas agaknya mirip dengan konteks upaya menaikkan liftingdi sektor hulu migas tadi. Belum lagi migasnya diperoleh (dan menghasilkan uang), tetapi perusahaan-perusahaan tadi sudah kena berbagai macam beban yang berat. Lha, ‘kan semua biaya tadi akan diganti oleh Pemerintah dalam bentuk “cost recovery”? Betul sekali, tetapi cost recoveryini hanya akan dibayarkan oleh Pemerintah bila migasnya sudah diproduksi. Artinya, kalau pada akhirnya migasnya tidak diketemukan, melayang deh uang ratusan milyar yang sudah dikeluarkan untuk kegiatan eksplorasi tadi. Ini tentu menjadi salah satu hal penting yang menyebabkan keengganan perusahaan-perusahaan hulu migas untuk berinvestasi, yang ujung-ujungnya adalah bahwa Pemerintah kesulitan mendapatkan investor dalam lelang wilayah kerja migas, sehingga mengakibatkan tersendatnya “penemuan” ladang migas baru, sehingga lifting migasnya pun menjadi menurun (karena bila tanpa adanya ladang yang baru, maka produksi dari ladang-ladang migas yang lama memang akan menurun).
3. Masalah Perijinan.
Sebetulnya masalah perijinan yang bermacam-macam, menyulitkan dan memerlukan waktu yang lama ini bukan melulu dihadapi di sektor hulu migas saja. Belum lagi dengan bertambah besarnya kewenangan daerah, maka agaknya tidak dapat dipungkiri bahwa mereka pun ingin turut mengaturpula.