Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Para Buruh yang Demo, Sadarkah Anda Bahwa Ada Kemungkinan Sedang Dimanfaatkan Orang Lain?

15 Mei 2016   16:52 Diperbarui: 15 Mei 2016   16:56 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sudah berkali-kali kita menyaksikan demo yang dilakukan para buruh, baik secara langsung ataupun lewat media tv atau lainnya, apalagi pada 1 Mei atau sekitar-sekitar situ...

Selama demo-demo tadi tidak dilakukan secara anarkis, tidak bikin macet berlebihan, rasanya “baik-baik saja”, ‘kan? Asal berijin, berdemo memang boleh dan bermanfaat untuk menyuarakan aspirasi dan keinginan para buruh. Jadi dalam konteks itu Om-G mah tidak mempermasalahkan kegiatan demo tadi. Tapi mari kita telaah lebih lanjut. [Maaf jangan salah sangka lho, Om-G juga karyawan biasa, yang nggak punya pabrik, perusahaan atau bisnis apapun. Ini mah hanya sedang berusaha melihat secara “agak lain”...].

Presiden Jokowi berharap agar para buruh sejahtera dan adil.

Para buruh sejahtera? Alhamdulillah... Om-G mah seneng banget... Karena jumlahnya yang banyak, para buruh yang sejahtera akan mempunyai daya beli yang tinggi, akan membeli lebih banyak, dan pada akhirnya akan menggerakan roda perekonomian secara massif. Siapa tahu Om-G akan kebagian dampak positifnya, hehehe... Misalnya dengan membuka warung bakso atau tempat pencucian kendaraan bermotor (lha kalau para buruh sudah sejahtera, mereka semuanya punya kendaraan bermotor, weekend jalan-jalan, beli bakso dan lalu setelah pulang mencuci kendaraannya ke jasa pencucian mobil/motor, wong mereka punya uang cukup banyak kok...).

Lalu, apa hubungannya antara demo dan kesejahteraan buruh? Lha ya jelas toh? Demo menuntut kenaikan upah. Kalau bisa sekalian yang tinggi prosentae kenaikannya, ‘kan kata Presiden Jokowi juga, beliau berharap agar para buruh sejahtera. Tidak ada yang salah, ‘kan?

Eh ntar dulu, selalu berhasil, gitu? Yah Om-G mah payah... Begini Om: misalnya kita menuntut kenaikan upah 60%, lah ya kalau fifty-fifty saja, yang dikabulkan kenaikan upah sebesar 30%, ‘kan lumayan tuh Om...

Iya sih, kalau seperti itu mah, “cerita” kita akan indah-indah saja... Tapi bagaimana kalau “dongeng”nya adalah seperti yang berikut ini? [Mudah-mudahan ini sih hanya pikiran lebay Om-G saja yaks...]:

Kalau tuntutan demo dipenuhi, trus upah karyawan naik. Dengan naiknya upah para karyawan, jelas ongkos produksi (yang terdiri dari ongkos bahan langsung, ongkos tenaga kerja langsung dan ongkos tak langsung pabrik) juga akan naik. Lalu setelah ditambah dengan biaya distribusi, pemasaran, dan lain lain, harga jual juga akan naik.

Trus, masalahnya apa, Om-G? Begini, harga jual yang naik biasanya akan membuat daya saing produk kita menurun. Lha, tapi harga jual dari perusahaan lain juga naik, ‘kan? Jadi tidak berpengaruh dong, wong sama-sama naik..? Iya sih, tapi itu kalau nggak ada produk impor. Lha produk impor ‘kan nggak naik harganya? Trus daya saing dia naik (~ barangnya banyak yang beli) versus barang-barang buatan kita yang daya saingnya menurun (~ barang kita tidak banyak yang beli); apa kita tidak berada dalam bahaya tuh?

Idem kalau pabrik kita mengekspor produk ke luar negeri...

Kalau tuntutan demo tidak dipenuhi, upah karyawan tidak jadi naik, trus para karyawan “ngambek”, ‘kan? Misalnya, demonya diterusin “sampai tuntutan kami dipenuhi”. Lha trus kapan kerjanya? Trus perusahaan nggak berproduksi dong... [Ini mungkin masih mendingan, lha kalau demo disertai tindakan anarkis membakar pabrik sendiri, produksi jelas akan berhenti... Makanya kalau demo itu jangan sambil berbuat anarkis ya...].

Apa akibatnya? Lha kalau produksi berhenti, pasokan kepada para distribtor atau pedagang yang memasarkan produk kita ke konsumen ‘kan jadi berhenti juga. Akibatnya perusahaan kita mungkin terkena penalty atawa denda karena dianggap wan prestasi tidak bisa memasok pada tanggal yang ditentukan sebelumnya. ‘Kan rugi dua kali tuh, perusahaan kita: pertama, tidak mendapatkan “pendapatan dari penjualan” (wong produknya juga nggak ada, apanya yang dijual?), dan kedua, kena penalty tadi...

Akibatnya, cepat atau lambat, perusahaan kita akan gulung tikar a.k.a bangkrut. Kalau ini yang terjadi, kita hanya sebentar “bersenang-senang” nya dong (selama beberapa bulan gaji kita naik), tapi setelah itu kita di-phk...

Tuh, mengerikan, ‘kan?

Nah ini ada hubungannya dengan judul tulisan di atas. Om-G pernah mendengar kabar burung (nggak tahu benar tidaknya mah, tapi lumayan logis sih, bisa masuk akal juga...), bahwa konon sejak bertahun-tahun yang lalu, ada pihak-pihak tertentu dari luar negeri (nggak berani nyebut nama ah, takut salah, padahal ‘kan ini levelnya cuma “kabar burung”...) yang “rajin” mengundang tokoh-tokoh buruh dari berbagai level untuk datang ke negara mereka untuk jalan-jalan dan sekaligus diberi pelatihan lebih kurang tentang “bagaimana menyelenggarakan demo buruh yang efektif untuk meminta kenaikan upah”. Dijalan-jalanin ke luar negeri? Ya pasti seneng dong, apalagi sambil mendapat ilmu...

Tapi apa ya, manfaatnya bagi si penyelenggara? ‘Kan buang-buang duit, tuh? Ya nggak buang-buang duit juga atuh... Kalau memakai praduga suudzon mah kira-kira begini: Para peserta pelatihan ‘kan jadi makin pintar setelah dibekali ilmu-ilmu demo yang mutakhir, trus mereka jadi makin giat deh menyeleng­ga­ra­kan demo, apalagi bisa dengan menggunakan alasan yang sangat mulia: menyejahterakan para buruh.

Akibatnya? Ya seperti yang ditulis di atas: maju kena, mundur kena... Ujung-ujungnya produk kita jadi menurun daya saingnya (dan efek sebaliknya bagi produk bikinan di negara yang mengundang tadi), dan ekstrimnya kalau pabrik di kita bangkrut, buat mereka mah merupakan hal positif toh? Paling tidak, jadi mengurangi pesaing...

Lha jadi, jangan-jangan kita berdemo, dengan maksud untuk menyejahterakan kita sendiri, padahal mah ada pihak-pihak lain yang mengambil keuntungan dari demo kita, yang ujung-ujungnya mah bakalan merugikan kita juga. Jelas ora?

Lalu, pesan kedua dari Pak Jokowi: adil.

Mari kita pikirkan dengan kepala dingin yuk, jangan nepsong dulu...

Kalau kita lebih terampil, lebih rajin, dan lebih teliti dalam bekerja sehingga menghasilkan jumlah produk yang lebih banyak dengan jumlah produk cacat yang lebih sedikit (dibandingkan dengan rekan kerja kita yang tidak demikian), apakah kita merasa adil kalau upah yang kita terima sama dengan upah rekan kerja kita yang memble tadi? Pasti tidak, ‘kan?

Sekarang dibalik, bagaimana kalau rekan kerja kita lah yang lebih terampil, lebih rajin, dan lebih teliti dalam bekerja sehingga menghasilkan jumlah produk yang lebih banyak dengan jumlah produk cacat yang lebih sedikit (dibandingkan dengan kita sendiri), apakah kita merasa adil kalau upah yang kita terima sama dengan upah rekan kerja kita tadi (yang serba “lebih” dibandingkan dengan kita...) ? Ya adil dong,Om-G... ‘Kan waktu yang kita pergunakan untuk bekerja sama, waktu istirahat sama, jadi upah kita juga ya harus sama, dong... ‘Kan jobname nya juga sama...

Lha piye iki, sampeyan kok memakai standar ganda, sih? Oh iya ya, kok kita pakai standar ganda ya?

Trus bagaimana dong baiknya, Om-G?

Ya nggak tahu. Tapi kalau sampeyan nanya Om-G sih, menurut Om-G mah bagusnya kita juga fair deh: yang kerjanya bagus, menghasilkan jumlah produk yang lebih banyak, ya wajar kalau dia mendapat upah yang lebih besar. Kita juga ‘kan ingin upah yang gede, sama seperti dia, Om-G? Gampang: berprestasilah seperti teman kita yang prestasinya bagus tadi.

Perusahaan juga mestinya tidak berkeberatan memberi upah yang lebih besar kalau produktivitas kita tinggi (~sepadan) mah... Nah ‘kan “indah” tuh: para karyawan bahagia (karena upah kerja yang tinggi), perusahaan senang (karena produktivitas tinggi, yang berimbas pada daya saing yang tinggi, yang ujung-ujungnya keuntungan pun jadi lebih tinggi), dan Pemerintah pun happy (karena kalau keuntungan perusahaan tinggi, pajaknya pun akan lebih besar; dan happy karena lebih banyak penduduk Indonesia yang makin sejahtera...).

Kalau sudah begini, nggak perlu lagi demo-demo lagi, ‘kan? Wong semua pihak sudah happy kok... Iya opo ora?

Salam sejahtera.

Bien à vous tous. Bon weekend.

Om-G.

Artikel penunjang:

  1. Upah Buruh, Haruskah Selalu Naik? Seberapa Besar Naiknya?
  2. Alternatif Solusi Konflik Buruh Versus Pengusaha Mengenai Upah Minimum [].

[Kompasiana.com/Om-G, Rekayasa Sistem Kerja, Produktivitas, 15 Mei 2016].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun