Apa akibatnya? Lha kalau produksi berhenti, pasokan kepada para distribtor atau pedagang yang memasarkan produk kita ke konsumen ‘kan jadi berhenti juga. Akibatnya perusahaan kita mungkin terkena penalty atawa denda karena dianggap wan prestasi tidak bisa memasok pada tanggal yang ditentukan sebelumnya. ‘Kan rugi dua kali tuh, perusahaan kita: pertama, tidak mendapatkan “pendapatan dari penjualan” (wong produknya juga nggak ada, apanya yang dijual?), dan kedua, kena penalty tadi...
Akibatnya, cepat atau lambat, perusahaan kita akan gulung tikar a.k.a bangkrut. Kalau ini yang terjadi, kita hanya sebentar “bersenang-senang” nya dong (selama beberapa bulan gaji kita naik), tapi setelah itu kita di-phk...
Tuh, mengerikan, ‘kan?
Nah ini ada hubungannya dengan judul tulisan di atas. Om-G pernah mendengar kabar burung (nggak tahu benar tidaknya mah, tapi lumayan logis sih, bisa masuk akal juga...), bahwa konon sejak bertahun-tahun yang lalu, ada pihak-pihak tertentu dari luar negeri (nggak berani nyebut nama ah, takut salah, padahal ‘kan ini levelnya cuma “kabar burung”...) yang “rajin” mengundang tokoh-tokoh buruh dari berbagai level untuk datang ke negara mereka untuk jalan-jalan dan sekaligus diberi pelatihan lebih kurang tentang “bagaimana menyelenggarakan demo buruh yang efektif untuk meminta kenaikan upah”. Dijalan-jalanin ke luar negeri? Ya pasti seneng dong, apalagi sambil mendapat ilmu...
Tapi apa ya, manfaatnya bagi si penyelenggara? ‘Kan buang-buang duit, tuh? Ya nggak buang-buang duit juga atuh... Kalau memakai praduga suudzon mah kira-kira begini: Para peserta pelatihan ‘kan jadi makin pintar setelah dibekali ilmu-ilmu demo yang mutakhir, trus mereka jadi makin giat deh menyelenggarakan demo, apalagi bisa dengan menggunakan alasan yang sangat mulia: menyejahterakan para buruh.
Akibatnya? Ya seperti yang ditulis di atas: maju kena, mundur kena... Ujung-ujungnya produk kita jadi menurun daya saingnya (dan efek sebaliknya bagi produk bikinan di negara yang mengundang tadi), dan ekstrimnya kalau pabrik di kita bangkrut, buat mereka mah merupakan hal positif toh? Paling tidak, jadi mengurangi pesaing...
Lha jadi, jangan-jangan kita berdemo, dengan maksud untuk menyejahterakan kita sendiri, padahal mah ada pihak-pihak lain yang mengambil keuntungan dari demo kita, yang ujung-ujungnya mah bakalan merugikan kita juga. Jelas ora?
Lalu, pesan kedua dari Pak Jokowi: adil.
Mari kita pikirkan dengan kepala dingin yuk, jangan nepsong dulu...
Kalau kita lebih terampil, lebih rajin, dan lebih teliti dalam bekerja sehingga menghasilkan jumlah produk yang lebih banyak dengan jumlah produk cacat yang lebih sedikit (dibandingkan dengan rekan kerja kita yang tidak demikian), apakah kita merasa adil kalau upah yang kita terima sama dengan upah rekan kerja kita yang memble tadi? Pasti tidak, ‘kan?
Sekarang dibalik, bagaimana kalau rekan kerja kita lah yang lebih terampil, lebih rajin, dan lebih teliti dalam bekerja sehingga menghasilkan jumlah produk yang lebih banyak dengan jumlah produk cacat yang lebih sedikit (dibandingkan dengan kita sendiri), apakah kita merasa adil kalau upah yang kita terima sama dengan upah rekan kerja kita tadi (yang serba “lebih” dibandingkan dengan kita...) ? Ya adil dong,Om-G... ‘Kan waktu yang kita pergunakan untuk bekerja sama, waktu istirahat sama, jadi upah kita juga ya harus sama, dong... ‘Kan jobname nya juga sama...