I
Beku dan menusuk
Bekal dan dingin mengeram sampai rusuk
Kuraih ransel berisi remukan hati dan kenangan yang hampir membusuk
Dari tadi mereka berisik minta dipeluk
II
Sembari kulukis romansa di kaca jendela, Balaikota dan taman-taman warisan surga
Kau hadir dalam rupa tinta, suara, dan cerita
Kelebatmu belum binasa—masih semayam dalam ketidakwarasan
Menjelma jadi ingatan—dan cacian
III
Aku sudah menghitung jarak dari subuh hingga senja
Tak juga kutemukan kau di antaranya
Demi apa, ingin kutuntaskan rindu itu sampai habis perkara
Kuaduk-aduk kota yang menyimpan jutaan kenangan kita
Menguak terowongan dari Asia hingga Afrika
Menjajah alun-alun, menggeledah gedung-gedung, menyusuri kali-kali
MengorekPasundan hingga perut bumi
Tiba-tiba kurasakan ranselku sudah menganga
Ternyata bayanganmu sudah kabur—ketinggalan di gerbong kereta
IV
Harina sudah hengkang 5 menit lalu
Ditelan subuh dan kelokan rel satu bersatu
Merampasmu – meniadakanmu – mencurimu
Kau dibawanya lari ke lorong waktu
V
Sendi-sendiku rapuh sudah minta disepuh
Kemana ini mau kutambal jantung-paru-paru-liver-ku yang bentuknya tak lagi utuh
Denyutnya masih bisa kurengkuh
Lututku hampir jatuh
Tapi jalanan masih jauh
Untuk menemukanmu di antara puing-puing rindu
Menyisakan aku, kau, stasiun, Bandung, dan purnama ketujuh
Semarang, tengah tahun 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H