Pada wawancara yang dilakukan jurnalis PBSI setelah pertandingan Gregoria yang menjawab pertanyaan sambil menangis menuturkan, bahwa kunci pertandingannya ada pada game pertama, pada game pertama ia tegang merasa semua tekanan itu ada dipundaknya, hingga ia tidak mampu mengembangkan permainan dan lawan dengan leluasa mengontrol jalannya pertandingan.
Dari tiga wakil yang tersisa di quarter final secara ranking berada diatas lawan, secara H2H pun unggul. Tetapi pada pertandingan ini ranking dan H2H tidak berbicara banyak, mental pemain yang sudah terbebani dan tidak percaya diri akhirnya mengalahkan ranking dan H2H yang dimiliki.
Sejarah baru telah diukir oleh kepungurusan PBSI saat ini. Sejarah yang memilukan dan memalukan bagi Bangsa Indonesia.
Lantas sampai kapan federasi badminton Indonesia ini terus menutup mata dan telinga?
Jika sebelum-sebelumnya kebobrokan federasi masih bisa tertutup oleh prestasi para atlet, kali ini tidak. Kebobrokan itu sudah terlihat adanya dengan rentetan kegagalan juga sederet masalah lainnya yang sudah terbuka ke publik.
Atlet yang berkualitas juga harus didukung oleh kepengurusan federasi yang juga berkualitas. Federasi perlu pengurus yang benar-benar mau bekerja tidak hanya sekedar numpang nama jabatan.
Lekas "sembuh" badminton Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H