Sejarah telah ditulis, orde baru tumbang dengan stigma buruk dan gagal. Dimotori oleh salah satu tokohnya Prof. Dr. H. Amin Rais, zaman reformasi pun dimulai. Harapan publik, hadirnya era keemasan bangsa Indonesia seakan-akan tinggal selangkah lagi.
Reformasi bukanlah revolusi. Falsafah reformasi adalah memperbaiki. Setelah swasembada pangan tercapai dan memasuki era tinggal landas yang dicanangkan di ulang tahun emas Republik Indonesia, seharusnya harapan publik Indonesia negeri yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur, gemah ripah loh jinawi dapat terwujud nyata.
Namun, setelah sekian tahun berlalu, muncul fenomena sticker bergambar the smiling general dengan senyum khasnya sedang melambaikan tangan bertuliskan “Piye Kabare, Penak Jamanku to?”.
Sticker itu menempel di angkot-angkot, bus, truck serta mobil angkutan bak terbuka. Sarana transportasi yang identik dengan aktifitas kehidupan rakyat jelata. Artinya, ada sesuatu hal positif yang berkesan dan dirasakan masyarakat kelas bawah saat itu. Dan, sesuatu itu tidak mereka dapatkan di era reformasi.
Apakah berati orde baru lebih baik? Tentu saja tidak. Terhadap fenomena sticker “penak jamanku”, semestinya kita menyikapi realita itu dengan obyektif dan adil. Bahwa ternyata tidak semua yang lahir di era reformasi itu baik dan yang berbau orde baru itu buruk. Plus minus di setiap rezim pasti ada.
Banyak hal baik berikut dampak negatifnya yang lahir di era reformasi, yaitu “Demokratisasi, Kebebasan berekspresi dan Desentralisasi”.
- Demokratisasi
Demokratisasi melahirkan kepala-kepala daerah berprestasi. Disaat yang sama atas nama demokrasi, tidak sedikit keluarga-keluarga darah biru yang berusaha membangun kekuasaan dinasti.
- Kebebasan berekspresi
Soeharto sangat jarang bicara. Sekali waktu, Soeharto berkata dengan nada tinggi “TAK GEBUG!”. Kata-kata yang seakan-akan menjadi instruksi. Bagi siapa saja yang menentang pemerintah harus dihabisi. Masyarakat merasa terintimidasi, menjadi mimpi buruk yang menakutkan.
Di era reformasi, masyarakat dan media tak perlu was-was dan takut berekspresi. Belakangan, euforia kebebasan malah kebablasan, maka perlu diberi rambu-rambu dengan peraturan ujaran kebencian.
- Desentralisasi
Otonomi daerah dan desentralisasi anggaran, masing-masing daerah berhak mengurus dan menentukan keinginannya sendiri. Ekses buruknya tidak sedikit kepala daerah yang masuk bui karena tersandung kasus korupsi.
Sesuai dengan falsafah reformasi, desentralisasi mestinya dilakukan bertahap tidak ujug-ujug. Anggaran pembangunan yang sentralistik seperti era orde baru, ternyata ada sisi positifnya. Daerah dan masyarakat menerima barang dan manfaat sesuai dengan kebutuhannya. Tidak berbelanja sendiri sesuka hati, hingga USB katanya berfungsi UPS pun dibeli. ^_^
Pergeseran politik anggaran dari sentralistik ke desentralisasi yang tiba-tiba, seperti banjir bandang. Menerjang, meluluh lantakkan moral dan mental di segala lini jabatan. Mulai dari politisi, pejabat, birokrasi, akademisi tidak peduli bergelar master, doktor, phd hingga profesor.
Para ahli dan pemerintahan reformasi yang mendesain desentralisasi, demokratisasi dan kebebasan berekspresi dilaksanakan pada waktu yang bersamaan, bingung dan gagap. Pada kenyataannya hasilnya jauh dari ideal, dampak buruknya justru yang dominan. Mereka lupa sebaik apapun sistim, seharusnya yang perlu dipersiapkan terlebih dulu adalah mental manusianya.
Oknum-oknum politisi dan pejabat hasil pemilihan era reformasi menganggap saatnya giliran mereka, bancakan anggaran sebagai bentuk balas dendam terhadap rezim orba. Uang yang begitu besar digelontorkan ke daerah seperti air bah akhirnya mubah karena dikelola orang-orang serakah dengan cara yang salah.
Kondisi tersebut membuat pemerintah dan para ahli kemudian membidani lahirnya lembaga adhoc KPK untuk mencokok pejabat dan politisi yang hobi mencuri.
Akumulasi ekses negatif yang timbul di era reformasi dan tidak terlihat kapan berakhir, membuat publik sangat kecewa bahkan hopeless. Pemerintah, pejabat, aparat, partai politik dan politisi tidak ada lagi yang bisa dipercaya.
Era extraordinary crime, extraordinary people
Disaat krisis kepercayaan hampir mencapai puncaknya, Tuhan YME mengasihani bangsa Indonesia. Atas Kehendak-Nya, munculah sosok Joko Widodo & Basuki Tjahaja Purnama. Politisi, Pejabat pemerintah yang dapat dipercaya.
Mereka berdua extraordinary people yang memiliki kesamaan bawaan lahir, dikaruniai “gift” oleh Tuhan YME. Selain bersih dan memiliki etos kerja yang tinggi, leadership ala mereka tidak bisa dipelajari diperguruan tinggi sehebat apapun. Jokowi & Basuki Tjahaja Purnama bukan saja memiliki ketegasan, keberanian dan tidak takut mati. Lebih dari itu, mereka TIDAK PUNYA RASA KHAWATIR keselamatan dirinya dan keluarganya. Siap menjadi martir demi menegakkan keadilan. Menurutnya mati adalah keuntungan.
Setelah orde baru dan orde reformasi, kiprah dan kisah fenomenal mereka, menjadi tanda bergantinya era dari reformasi ke extraordinary people, yaitu era Jokowi dan Basuki.
Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama satu visi, yang membedakan mereka hanya cara memenej emosi. Mereka berdua meyakini, pangkal masalah terbesar bangsa ini adalah KORUPSI YANG DIFASILITASI OKNUM-OKNUM BIROKRASI.
Korupsi tidak akan pernah bisa terjadi kalau tidak ada oknum yang memfasilitasi. Dan yang memiliki kewenangan mengeksekusi anggaran adalah birokrasi.
Begitu sulitnya lulus seleksi pegawai negeri. Pegawai Negeri adalah manusia-manusia terpilih yang memegang kendali, tugas dan fungsi birokrasi. Mereka memiliki kepandaian diatas rata-rata kebanyakan masyarakat Indonesia, bahkan kepala daerahnya. Seandainya mereka tidak takut Tuhan, dengan ilmu, pengalaman dan kewenangannya, mereka akan menjadi mahluk yang sangat berbahaya.
Sangat tidak mudah memenej birokrasi dan masyarakat sipil Jakarta walaupun kajian dan teori para ahli telah tersedia. Gubernur DKI berganti-ganti dari jenderal ke jenderal hingga doktor ahli tata kota lulusan manca negara. Mereka tak berdaya menyelesaikan masalah-masalah klasik dan ganasnya ibu kota. Mereka tak mampu mengatasi culas dan liciknya aksi oknum-oknum birokrasi yang santun-santun tapi bermental pencuri. Mengelola DKI, dibutuhkan manusia tidak sekedar pandai dan berani mati, tapi manusia yang memiliki kualifikasi extraordinary.
Jokowi telah meletakkan pondasi. Estafet mandat mengelola ibu kota menjadi tanggungjawab Basuki. Daftar panjang keberanian dan ketegasan tanpa ragu mengeksekusi kebijakan, merevolusi birokrasi, meningkatkan pelayanan demi Jakarta baru telah dibuktikan. Dengan jurus pecat, pecat, pecat-nya, komitmen Basuki perang melawan korupsi di birokrasi telah teruji dan terbukti.
Pilgub DKI Jakarta adalah saatnya warga mengevaluasi kinerja Basuki. Bukan ajang menilai agama dan suku gubernurnya. Merupakan momentum warga Jakarta menentukan, apakah mandat itu akan dilanjutkan.
Seandainya warga menginginkan yang baru coba-coba atau yang ahli bicara dan Basuki tak lagi di balikota, maka birokrat bermental penjahat yang tidak pernah peduli rakyat akan kembali berpesta pora.
Dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, fenomena Soeharto kembali berulang. Bertebaran sticker bergambar Basuki Tjahaja Purnama bertuliskan “Gimana Kabar Bro? enakan Jaman gue kan?"^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H