Pasca kasus di vonis incracht dan terdakwa menjadi narapidana yang ingin dicapai adalah efek jera. Disini, KPK juga perlu melakukan supervisi terhadap Kementrian Hukum dan HAM khususnya Lembaga Pemasyarakatan khusus Tipikor seperti di Suka Miskin Bandung, Kedung Pane Semarang, dll. Hal ini untuk mencegah terjadinya tahanan TPK bisa bebas kemana-mana, mendapatkan fasilitas super mewah, bebas menggunakan gadget. (Gayus Tambunan, Artalyta Suryani, dll). Dihukum kok serasa berlibur dan tidur di hotel.
- Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK
Lagi-lagi terkait poin 1 dan 2, saking banyaknya kasus yang harus ditangani, harusnya untuk penindakan yang dilakukan KPK dibatasi hanya menangani kasus-kasus besar seperti Century, Petral, SKK Migas, BLBI.
Sejak dilakukan pembenahan sistim pengadaan melalui e-procurement oleh LKPP, Tindak Pidana Korupsi di sektor pengadaan barang/jasa pemerintah sangat jauh berkurang. Walaupun masih ada potensi kongkalikong dan KKN akan tetapi dengan adanya sistim pengadaan secara elektronik dapat diminimalisir. Apabila ada kasus-kasus TPK yang berhubungan dengan pengadaan barang/jasa sebaiknya di limpahkan ke Kepolisian / Kejaksaan. Seperti kasus pengadaan yang menjadikan RJ-Lino tersangka, Ratu Atut, Adiknya Ratu Atut, dll.
Kasus-kasus tangkap tangan yang berhasil dibongkar KPK menggunakan fasilitas penyadapan, jika bukan kategori kasus kakap semestinya juga dilimpahkan ke kepolisian atau kejaksaan. Misal seperti kasus OC Kaligis.
Idealnya bukan banyaknya kasus yang ditangani untuk menunjukkan prestasi kinerja KPK akan tetapi kualitas dan efek dari kasus tersebut. Sedikit kasus yang ditangani tidak apa-apa akan tetapi signifikan baik dari besaran nilai kerugian negara maupun kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara di level nasional.
- Melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK
Anggaran KPK tahun 2015 sebesar Rp. 800 milyar. Selama tahun 2015 prestasi KPK berhasil menyelamatkan keuangan negara sebesar 198 milyar. Dari anggaran Rp. 800 milyar, 60% nya digunakan untuk untuk pos anggaran pencegahan. anggaran itu diperuntukkan berbagai kegiatan pencegahan. Kampanye roadshow di daerah, kampanye menggunakan media daring lewat website KPK, serta berbagai kampanye di jalan seperti spanduk, banner, baliho, modul serta sejumlah kendaraan. (sumber).
Jika melihat pos anggaran pencegahan yang begitu besar hampir 500 milyar untuk tahun 2015, padahal kita merasakan korupsi di Indonesia belum mengalami perubahan yang berarti, artinya selama ini tindakan pencegahan TPK yang dilakukan KPK belum efektif dan hasilnya jauh dari harapan. Perlu evaluasi, perbaikan tindakan, metode, cara dan strateginya.
Pencegahan itu mestinya dianalogikan seperti kita memelihara anjing galak untuk menjaga rumah. Jika yang dilakukan KPK dalam hal pencegahan hanya berkisar pada kegiatan kampanye, road show maka bisa disimpulkan, KPK seperti marketing yang sedang sosialisasi memasarkan barang. Bagaimana bisa efektif mengurangi tindak pidana korupsi jika yang dilakukan sekedar menghimbau.
Belajar dari penyelenggaraan pengadaan e-procurement LKPP yang berhasil meminimalisir terjadinya praktik kongkalikong dan KKN antara penyedia barang/jasa dengan pengguna anggaran maka sebaiknya hal tersebut di aplikasikan dan dikembangkan pada fokus program pencegahan KPK.
- Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara
Salah satu komponen survey Indek Persepsi Korupsi adalah persepsi publik terhadap penyelenggaraan Pemerintahan khususnya birokrasi perizinan. Monitoring/pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan negara menjadi hal mestinya dilakukan secara maksimal. Kewenangan ekstra KPK yaitu penyadapan bisa dilakukan untuk monitoring perilaku birokrasi dari pusat sampai daerah untuk mecegah terjadinya pungli perizinan mulai dari izin prinsip, Izin Lokasi, HO, IMB, izin pertambangan, dll.
APBD Provinsi dan APBD Kabupaten Kota, 20-30% digunakan untuk belanja langsung dan 70-80% digunakan untuk belanja pegawai serta belanja rutin. Belanja langsung dilaksanakan menggunakan e-procurement, artinya KPK tidak perlu fokus di pos anggaran tersebut. Yang paling rentan terjadi TPK adalah pada pos belanja rutin diluar belanja gaji pegawai. Belanja barang-barang consumable seperti kertas, tinta, snack untuk rapat, perjalanan dinas, dll. Sepertinya terlalu kecil akan tetapi apabila diakumulasi belanja rutin dari semua lembaga, kementrian, SKPD yang ada diseluruh Indonesia maka akan sangat besar. Bisa mencapai berpuluh-puluh trilyun rupiah.