Lantunan suara sekelompok lelaki melagukan syair -- syair Islami nyaris melenakan pada siang yang terik di beranda depan Homestay Haji Dorani. Punggung - punggung tangan yang sudah kisut tampak bersemangat memukul kompang, alat musik pengiring syair yang didudukkan di pangkuan. Tak ada nada dasar sebagai nada penentu untuk mengambil nada awal syair. Mereka melagukannya mengikuti kata dari hati. Biramanya mengikuti kecepatan hentakan tapak tangan pada kompang dan taluan pukulan pada gendang.
"Dahulu, syair dilagukan dengan suara lirih, nyaris tak terdengar. Resapannya lebih terasa karena pendengarnya pun senyap. Kini, suara harus sedikit lebih keras, ada larangan bersenandung dengan suara lirih. Takut serupa memanggil hal yang lain."
Muhammad Asmuri (55th) menjelaskan perihal kehadiran dan permainan kesenian kompang dalam masyarakat keturunan etnis Jawa yang mendiami tanah Melayu di pantai barat Malaysia siang itu. Kompang (serupa rebana) diwariskan dari pendahulu mereka, dari buyut yang berasal dari Jawa Tengah dan menginjak tanah Melayu pada abad 19.Â
Asmuri salah satu anggota Kelompok Kompang Jawa Terontong dan Hadaro pimpinan H. Badrun bin H. Omar (65th). Kelompok kesenian beranggotakan masyarakat keturunan Jawa di Sebak Bernam, Selangor yang dibentuk pada 1930.Â
Anggotanya semua lelaki yang sudah sepuh. Sebagian besar dari anggotanya telah bermain kompang sejak 1945 seperti Wak Kibut (95th), H. Parman (95th), dan Slamet (88th).Â
Dari kampungnya di Parit Baru, mereka menempuh jarak 60 km ke Kampung Haji Dorani untuk menunjukkan seni tradisi yang masih mereka jaga baik - baik. Usia senja bukanlah penghalang bagi mereka untuk tetap menyimpan semangat mengenalkan seni dan budaya yang diwariskan leluhurnya.
Permainan kompang tak dibatasi usia. Yang menjadi kekhawatiran Asmuri dan kawan -- kawan saat ini; generasi muda sekarang konsenterasinya lebih tertuju pada budaya asing dan tak lepas bermain dengan gawai. Hanya satu dua yang masih memiliki minat belajar seni tradisional.Â
Kekhawatiran serupa dialami kelompok kesenian Gamelan dan Wayang Kulit dari Pasir Panjang, Sekinchan. Meski atraksi budaya yang ditampilkan malam itu menarik perhatian, namun cerita pewayangan yang dituturkan Wak Dalang dalam bahasa Jawa, hanya bisa ditebak -- tebak penonton dari gerakan tokoh yang muncul di layar karena tak ada yang menjelaskan kisah apa yang sedang disajikan.
Hal yang sama pun bisa dilihat dari sekelompok penari tradisional Bugis, perempuan belia yang tergabung dalam kelompok kesenian Citra Ugik saat membawakan Tari Pooja.Â
Tari Pojaa adalah tari pujian untuk memuja para dewa sebelum akhirnya menjadi tarian persembahan puja - puji yang dipersembahkan di hadapan sultan di kesultanan Bugis. Jika kemudian tarian ini dan beberapa tarian tradisional Bugis berkembang di Malaysia, itu tak lepas dari lahirnya Persatuan Melayu Bugis Selangor untuk melestarikan sejarah dan budaya akar mereka.Â
Di pelataran belakang Istana Bandar Jugra, Kuala Langat siang itu; mereka menyambut kehadiran tamu dengan menampilkan juga Tari Zapin Cemara, Tari Pattennung, dan Tari Paduppa Bosara.
 Dengan visi dan misi untuk mempertahankan seni budaya akar, pada 2016, sebuah program wisata budaya dicanangkan oleh Jawatan Kuasa Pembangunan Generasi Muda, Olah Raga, Kebudayaan dan Pembangunan Usahawan, Selangor.Â
Di 2018 ini merupakan kali ketiga program dikemas oleh Selangor State Economic Planning Unit (UPEN Selangor) bekerja sama dengan Gaya Travel Magazine dan PUSAKA; mengajak 25 orang perwakilan media konvensional, online serta praktisi sosial media dari Jepang, Korea, Indonesia, dan Malaysia; mengunjungi dan menikmati sejarah dan seni budaya serta berinteraksi dengan warga di beberapa kampung di Selangor, Malaysia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H