Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mempertahankan Rentak Seni Tradisi Budaya Selangor di Derasnya Serbuan Budaya Asing

8 April 2018   10:14 Diperbarui: 8 April 2018   10:22 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga anggota kelompok kesenian Kompang Jawa dan Hadaro yang sudah sepuh namun tetap bersemangat (dok. koleksi pribadi)

Lantunan suara sekelompok lelaki melagukan syair -- syair Islami nyaris melenakan pada siang yang terik di beranda depan Homestay Haji Dorani. Punggung - punggung tangan yang sudah kisut tampak bersemangat memukul kompang, alat musik pengiring syair yang didudukkan di pangkuan. Tak ada nada dasar sebagai nada penentu untuk mengambil nada awal syair. Mereka melagukannya mengikuti kata dari hati. Biramanya mengikuti kecepatan hentakan tapak tangan pada kompang dan taluan pukulan pada gendang.

"Dahulu, syair dilagukan dengan suara lirih, nyaris tak terdengar. Resapannya lebih terasa karena pendengarnya pun senyap. Kini, suara harus sedikit lebih keras, ada larangan bersenandung dengan suara lirih. Takut serupa memanggil hal yang lain."

Muhammad Asmuri (55th) menjelaskan perihal kehadiran dan permainan kesenian kompang dalam masyarakat keturunan etnis Jawa yang mendiami tanah Melayu di pantai barat Malaysia siang itu. Kompang (serupa rebana) diwariskan dari pendahulu mereka, dari buyut yang berasal dari Jawa Tengah dan menginjak tanah Melayu pada abad 19. 

Asmuri salah satu anggota Kelompok Kompang Jawa Terontong dan Hadaro pimpinan H. Badrun bin H. Omar (65th). Kelompok kesenian beranggotakan masyarakat keturunan Jawa di Sebak Bernam, Selangor yang dibentuk pada 1930. 

Anggotanya semua lelaki yang sudah sepuh. Sebagian besar dari anggotanya telah bermain kompang sejak 1945 seperti Wak Kibut (95th), H. Parman (95th), dan Slamet (88th). 

Dari kampungnya di Parit Baru, mereka menempuh jarak 60 km ke Kampung Haji Dorani untuk menunjukkan seni tradisi yang masih mereka jaga baik - baik. Usia senja bukanlah penghalang bagi mereka untuk tetap menyimpan semangat mengenalkan seni dan budaya yang diwariskan leluhurnya.

Permainan kompang tak dibatasi usia. Yang menjadi kekhawatiran Asmuri dan kawan -- kawan saat ini; generasi muda sekarang konsenterasinya lebih tertuju pada budaya asing dan tak lepas bermain dengan gawai. Hanya satu dua yang masih memiliki minat belajar seni tradisional. 

Kekhawatiran serupa dialami kelompok kesenian Gamelan dan Wayang Kulit dari Pasir Panjang, Sekinchan. Meski atraksi budaya yang ditampilkan malam itu menarik perhatian, namun cerita pewayangan yang dituturkan Wak Dalang dalam bahasa Jawa, hanya bisa ditebak -- tebak penonton dari gerakan tokoh yang muncul di layar karena tak ada yang menjelaskan kisah apa yang sedang disajikan.

Tiga anggota kelompok kesenian Kompang Jawa dan Hadaro yang sudah sepuh namun tetap bersemangat (dok. koleksi pribadi)
Tiga anggota kelompok kesenian Kompang Jawa dan Hadaro yang sudah sepuh namun tetap bersemangat (dok. koleksi pribadi)
Chinna Rasa Urumee Melum Masana Kali yang dimotori Vicky Jii dan kawan - kawan sedikit lebih beruntung. Walau menekuni seni musik tradisional urumee, kegiatan mereka lebih mudah memikat hati anak muda. Bisa jadi karena mereka pun masih muda. Dan akulturasi seni musik India yang bisa mereka kolaborasikan dengan aransemen musik pop dalam permainan perkusi tradisional Tamil Nadu yang mereka mainkan dengan harmonisasi yang menghentak di pelataran Batu Cave; mengajak anggota tubuh ikut bergoyang, tentulah lebih menarik perhatian. Tak hanya orang muda juga generasi yang jauh di atasnya.

Hal yang sama pun bisa dilihat dari sekelompok penari tradisional Bugis, perempuan belia yang tergabung dalam kelompok kesenian Citra Ugik saat membawakan Tari Pooja. 

Tari Pojaa adalah tari pujian untuk memuja para dewa sebelum akhirnya menjadi tarian persembahan puja - puji yang dipersembahkan di hadapan sultan di kesultanan Bugis. Jika kemudian tarian ini dan beberapa tarian tradisional Bugis berkembang di Malaysia, itu tak lepas dari lahirnya Persatuan Melayu Bugis Selangor untuk melestarikan sejarah dan budaya akar mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun