Minggu pagi (01/06/14) lalu, kaki kembali mengayuh Prince Red mengitari Jakarta bersama tim Gowes Heritage. Gowes kali ini menyusuri jejak petualangan seorang tokoh komik dunia yang pernah mendarat di Jakarta, Tintin.
Ketika sebagian besar warga Jakarta lebih senang menyesakkan diri di seputar Sudirman – Thamrin, berduabelas kami justru menghindari pusat keramain. Mengayuh dari titik pertemuan sejuta umat di bundaran Hotel Indonesia (HI) menyusuri Menteng, Kwitang, Senen hingga Kemayoran. Mencoba menghirup udara pagi Jakarta, meski harus berpacu dengan kendaraan bermotor yang membuang gas kotornya ke udara. Resiko hidup di hutan beton yang sebagian besar warganya tak peduli dengan lingkungannya.
Landasan Parkir dan Terminal Bandara Kemayoran Jakarta kini (dok. koleksi pribadi)
Kemayoran. Apa yang terlintas dalam benak ketika mendengar kata ini? Pameran? Pekan Raya Jakarta (PRJ), festival musik? Sebagian besar dari kita mungkin saat ini hanya mengenal Halim Perdana Kusumah dan Soekarno Hatta sebagai bandara udara (bandara) sipil di Jakarta. Bagaimana dengan Bandara Kemayoran?
Bandara Udara Internasional Kemayoran dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda, diresmikan pengoperasiannya pada 6 Juli 1940 yang awalnya diperuntukkan bagi penerbangan militer. Dikelola oleh Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) yang pertama kali mendaratkan pesawatnya di landasan Kemayoran.
Berdiri di bekas pelataran parkir pesawat sembari memutar mundur memori, mengembara ke masa tujuh puluh tahun silam. Membayangkan beragam jenis pesawat yang parkir pada saat pameran kedirgantaraan berlangsung di tempat ini. Membayangkan riuhnya segerombolan calon penumpang maupun lambaian tangan pengantar yang memadati ruang tunggu maupun ruang kedatangan. Saat ini, tempat yang dahulu ramai hanya menyisakan jejak sepinya lewat tembok-tembok bisu dan ruang tak bertuan.
[caption id="attachment_6931" align="aligncenter" width="486" caption="Pilar - pilar yang membisu (dok. koleksi pribadi)"]
Keluar dari gedung terminal, kami kembali mengayuh. Melewati jalan beraspal yang sudah tak mulus, menyusuri terowongan, menerabas genangan air demi mencari menara kontrol lalu lintas udara alias Air Traffic Control (ATC) bandara mengikuti petunjuk gambar di lembaran Petualangan Tintin, Penerbangan 714 ke Sydney.
Sampai di satu persimpangan, sedikit terharu bisa mengayuh di setapak hutan kota yang terbentang di depan mata. Ahaiiiy, terpekik kegirangan Prince Red bisa off road. Namun, kerumitan birokrasi menahan kami di depan gerbang. Petugas keamanan yang bertugas pagi itu tak berani membuka lebar gerbangnya. Dirinya khawatir akan mengalami nasib serupa dengan sejawatnya yang diberhentikan karena mengijinkan pengunjung masuk ke kawasan menara kontrol. Sungguh kontras dengan pengamanan di bekas gedung terminal. Meski di sana sekelompok petugas keamanan sedang apel pagi, kami tak mendapat teguran sama sekali saat menyusuri setiap jengkal isi gedungnya.
Sebagai pejalan dan penggowes yang menghargai peraturan yang diterapkan oleh pengelola kawasan, kami memilih undur diri. Mencari tempat lain untuk menikmati penampakan menara kontrol meski hanya memandang dari kejauhan.
Ketimbang memikirkan perijinan untuk menggapai menara kontrol, mari kita bahas hutan kota di sekitanya. Jika kita merujuk pada UU No 26 Tahun 1997 tentang Penataan Ruang, di sana diatur minimal 30% dari luas wilayah satu kota diperuntukkan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) untuk menunjang perbaikan iklim. RTH atau lazim kita sebut hutan kota memiliki fungsi sebagai penurun kadar polutan, peredam kebisingan, mengurangi hujan asam, penyerap karbon monoksida/karbon diaksoda dan penghasil oksigen.
Apakah ketentuan itu sudah terpenuhi? Mari kita berkhayal, andai saja Setneg yang memegang kuasa atas bekas bandara Kemayoran mau menata kawasan ini menjadi lahan ekowisata. Bayangkan di kawasan yang menyimpan jejak bisu perjalanan bangsa ini berdiri tegak menara ATC yang telah didandani sehingga tampak megah, di seputarnya terpelihara taman-taman yang ditumbuhi rimbun hijau pepohonan dan tanaman. Sebuah lahan hijau yang sekaligus berfungsi sebagai paru-paru kota. Lalu … di salah satu sudut terpampang lembar Petualangan Tintin. Sebuah dunia petualangan yang pasti akan sangat digemari oleh genarasi muda maupun tua menanti untuk dijelajahi di taman kota yang hijau nan asri. Konsep wisata sejarah penerbangan Indonesia dikemas dalam cerita anak yang pasti juga enak dicerna otak tanpa perlu mengerutkan kening.
… satu siang di 1968 …
Roda-roda Qantas Boeing 707 mencericit mencengkeram landasan. Pesawat dengan nomor penerbangan 714 dari London, siang itu transit di Sondonesia sebelum menggapai tujuan akhir, Sydney. Di antara penumpang yang menuruni tangga pesawat tampak satu rombongan kecil asik berdebat seputar tempat mereka mendarat.
Tintin, Snowy, Profesor Calculus dan Kapten Haddock adalah bagian dari penumpang transit. Mereka berada dalam penerbangan itu untuk menghadiri undangan Kongres Austronautika International di Sydney. Di bandara mereka bertemu dengan Laszlo Carreidas seorang jutawan yang kemudian mengajak mereka untuk menumpang Carreidas 160, jet pribadinya. Tak dinyana jet pribadi tersebut dibajak dan penumpangnya dibawa ke pulau Bompa. Setelah beragam petualangan seru mereka alami, pada akhirnya Tintin dan rombongan kembali menaiki tangga pesawat dengan nomor penerbangan 714 menuju Sydney.
what we are doing to the forests of the world is but a mirror reflection of what we are doing to ourselves and one another – [Mahatma Gandhi]
Sembari mengayuh pulang ke selatan, dalam hati bertanya pernahkah kita bertanya pada nurani,”apa sumbangsimu pada tanah yang kau pijak? pada bumi yang rela diinjak-injak?” Semua kembali pada diri masing-masing, bagaimana memandang keberadaan hutan kota kita? Bagaimana generasi ini akan dikenang oleh generasi di masa datang? Saleum [oli3ve].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H