Saya mendekap jaket erat-erat. Hujan Jogja sore-sore adalah satu momen yang sempurna bagi saya. Wangi tanah basah setelah diguyur hujan deras sore kali ini sungguh menggoda. Dan sungguh sebenarnya ada satu tatapan mata di seberang sana yang jauh lebih menggoda. Tatapan mata yang selalu saya dapati setiap kali saya mematung menonton hujan turun di kampus seperti sore ini.
Saya tahu sepasang mata itu, pemiliknya adalah seorang mahasiswa tingkat atas, senior saya. Saya tidak mengenalnya, tapi saya tau namanya, mereka sering memanggilnya; Banyu.
Banyu. Air. Lucu ya, nama saya sendiri adalah Amarta, yang artinya air kehidupan dalam bahasa Sansekerta.
Mata kami sering bertatap, tanpa kata, tanpa sapa. Hanya terkoneksi lewat suara rintikan hujan dan aroma tanah basah. Mungkin otak kami sedang bertelepati. Tapi sayang hati saya sedang tidak dapat bersinkronisasi dengan otak. Maaf, saya tidak bisa merasakan telepatinya.
Sore ini studio desain cukup melelahkan, tapi rupanya Tuhan tau apa yang bisa menghibur saya, ya ini; hujan. Air kehidupan, amarta bagi sejuta umat manusia. Dan di sanalah Banyu berada, di sisi lain teras gedung seberang. Duduk, sendiri, asap rokok mengepul. Duduk, sendiri, diam menatap hujan.
Sama seperti yang sedang saya lakukan, bedanya tanpa kepulan asap.
Lalu saya melihat jiwa Banyu melepaskan diri perlahan dari raganya dan berlarian di tengah hujan deras. Menari, tertawa lepas, liar. Dan saya melihat raga Banyu di seberang sana semakin tersakiti.
Saya melihat jiwa Banyu tersenyum dan melambai kepada saya di tengah rinai hujan halaman tengah kampus. Tapi raganya di seberang sana hanya diam terpaku.
Jiwa Banyu menghampiri saya, membisikan, "Amarta, keluar Amarta. Larilah bersama saya."
Ajakannya menggoda, terasa asing, tapi hadir. Saya membiarkan jiwa saya lepas, dan Banyu menggandeng jiwa saya berlari ke tengah rinai hujan.
Banyu, sungguh saya takut. Seandainya kamu tau.
Tapi hujan semakin deras, dan jiwa Banyu semakin larut di dalamnya. Saya bisa melihat jiwa saya menari bersama Banyu di bawah derasnya hujan. Tertawa lepas, lupa pada raganya. Ya ya, saya akan membiarkannya lagi kali ini.
Membiarkan sang jiwa Amarta dan Banyu hidup. Karena ini sudah musim kemarau. Dan jiwa kami hanya akan hidup jika ada hujan.
Lalu hujan mulai berhenti perlahan. Jiwa Banyu memeluk erat jiwa saya, mengecup bibirnya, dan membisikkan 'terima kasih' ke telinga.
Hujan berhenti. Jiwa kami telah pulang ke raganya masing-masing.
Ini yang terkahir kalinya. Tidak akan ada lagi telepati, tidak ada lagi imajinasi, tidak ada lagi ilusi dan mimpi semu.
Saya pun berdiri bersiap untuk pulang. Saya melihat Banyu sudah tidak lagi ada di seberang sana. Ah sebodo. Kenapa saya harus peduli.
Tapi ketika saya hendak berbalik, sebuah tangan menarik tangan saya.
Tangan seorang Banyu.
"Terima kasih, Amarta"
Dan akhirnya untuk yang pertama kalinya saya bisa mencium aroma raga Banyu, mendengar suara nyata Banyu, dan melihat senyum dari raga seorang Banyu. Bukan lagi ilusi.
*Catatan kecil sepulang rapat di paviliun tengah halaman gedung kampus. Dan saya baru menyadari, betapa romantisnya gedung kampus saya ha-ha-ha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H